Nabi Muhammad SAW memiliki sejumlah sahabat yang memiliki berbagai macam sifat dan kisah. Dari banyaknya sahabat yang dimilikinya, Zaid bin Haritsah adalah satu-satunya yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Dalam artikel berikut ini akan diulas kisah sahabat Rasul Zaid bin Haritsah selengkapnya.
Zaid bin Haritsah merupakan seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, memainkan peran krusial dalam tahap awal perkembangan Islam. Ia termasuk di antara individu pertama yang memeluk agama Islam, setelah Siti Khadijah, Ali bin Abi Thalib, dan Abu Bakar. Loyalitas tinggi Zaid terhadap Rasulullah membuatnya mendapatkan kasih sayang yang besar dari Nabi.
Sebagai anak angkat dari Rasulullah SAW, Zaid bin Haritsah menjalin ikatan yang istimewa dengan Nabi. Selain itu, dia dikenal sebagai seorang panglima perang yang dipercayai oleh Nabi untuk memimpin pasukan dalam berbagai pertempuran, termasuk Perang Uhud dan Perang Khaibar. Zaid turut serta dalam banyak konflik bersejarah dalam perjalanan Islam.
Zaid bin Haritsah dikenal dengan kepatuhannya terhadap perintah Allah, khususnya ketika Allah menurunkan wahyu yang menegaskan bahwa anak angkat seharusnya dipanggil dengan nama ayah kandung mereka, bukan ayah angkatnya. Dengan rendah hati, Zaid mengubah namanya menjadi Zaid bin Haritsah. Kisah hidupnya memberikan inspirasi tentang kesetiaan, kepatuhan, dan pengabdian dalam menyebarkan ajaran agama Islam.
Baca juga : Peristiwa Sejarah Fathu Makkah Di Bulan Ramadhan
Orang Kedua Masuk Islam
Zaid bin Haritsah memegang peran krusial dalam sejarah awal Islam, menjadi individu kedua yang memeluk agama ini setelah Rasulullah. Dalam misi risalah, Zaid dikenal sebagai sosok yang amat dihargai oleh Nabi Muhammad, karena Rasulullah melihat kesetiaan, keagungan jiwa, dan kemurnian hati, lidah, serta tangan yang dimiliki oleh Zaid.
Bukti kasih sayang Nabi Muhammad SAW terhadap Zaid terungkap dalam narasi yang diceritakan oleh Sayyidah Aisyah. Dikemukakan bahwa Nabi Muhammad selalu menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai komandan pasukan saat mengirimnya ke medan perang. Aisyah juga menyatakan keyakinannya bahwa jika Zaid masih hidup setelah wafatnya Nabi, beliau pasti akan mengangkat Zaid sebagai khalifah.
Awalnya, Zaid bin Haritsah adalah seorang budak, namun kemudian Nabi Muhammad mengadopsinya. Ia tergolong dalam kelompok awal yang memeluk Islam bersama dengan Siti Khadijah, Ali bin Abi Thalib, dan Abu Bakar. Kesungguhan iman Zaid dan respons cepat terhadap panggilan Islam membuatnya menjadi sosok yang luar biasa.
Dilahirkan di Najd, Arab Saudi, sekitar tahun 576, Zaid merupakan anak dari Haritsah dan Su’da binti Tsalabah, yang berasal dari kabilah Kalb di utara Jazirah Arab. Kehadiran Zaid sebagai sahabat Nabi Muhammad tercatat dalam sejarah Islam. Menurut Adz-Dzahabi, dalam Siyar A‘lām al-Nubalā’ (2006), Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz mencatat bahwa Zaid adalah satu-satunya sahabat Nabi yang disebutkan secara eksplisit dalam Alquran, yakni dalam Surah al-Ahzab ayat 37.
Setelah masuk Islam, Zaid tetap setia mendampingi Nabi Muhammad dalam segala pertempuran, bersiap untuk membela agama Islam. Menurut Syamruddin Nasution dalam bukunya, Sejarah Peradaban Islam, Zaid diakui sebagai sahabat dan pelayan yang setia bagi Nabi Muhammad SAW. Ia mempersunting Ummi Ayman dan mempunyai seorang anak yang bernama Usamah bin Zaid bin Haritsah. Zaid turut serta dalam hijrah ke Madinah dan aktif berpartisipasi dalam setiap pertempuran untuk membela Islam.
Meskipun begitu, nasib tragis menimpa Zaid ketika ia terlibat dalam Pertempuran Mu’tah. Dalam pertempuran tersebut, Zaid terpilih sebagai salah satu panglima perang dan akhirnya gugur. Meski begitu, dedikasi dan keberaniannya tetap terpatri dalam sejarah melalui partisipasinya dalam Perang Uhud dan Perang Khaibar, serta kepemimpinannya dalam tujuh ekspedisi militer lainnya.
Zaid bin Haritsah adalah individu yang menunjukkan dedikasi yang sangat tinggi terhadap Islam dan Nabi Muhammad. Ia menjadi contoh dalam hal kesetiaan, keberanian, dan semangat perjuangan untuk membela agama. Meskipun kepergiannya sebagai syahid terjadi dalam pertempuran, warisannya sebagai sahabat dan pahlawan Islam terus bersinar abadi dalam sejarah perjuangan umat Islam.
Dikisahkan Dalam Surat Al Qur’an
Allah SWT mengingatkan Nabi Muhammad tentang nasihat yang diberikannya kepada Zaid bin Haritsah dalam ayat yang membahasnya. Nabi diinstruksikan untuk mempertahankan istrinya, Zainab, dan menunjukkan takwa kepada Allah. Meskipun Nabi menyembunyikan kegelisahan dalam hatinya dan merasa takut kepada manusia, Allah adalah Yang lebih berhak untuk ditakuti.
Saat Zaid menceraikan istrinya, Zainab, Allah menyusun pernikahan antara Nabi Muhammad dan Zainab. Pernikahan ini bertujuan untuk menghilangkan stigma sosial terkait perkawinan anak angkat dan istri-istri mereka pada saat itu. Melalui pernikahan ini, Allah memastikan bahwa keputusan-Nya akan terlaksana dengan pasti.
Ayat yang membicarakan Zaid bin Haritsah menggambarkan partisipasinya dalam peristiwa pernikahan yang memiliki dampak yang penting dalam konteks sosial dan agama pada masa tersebut. Keterlibatan Zaid dalam pernikahan tersebut mencerminkan tingginya kesetiaan dan ketaatan terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya.
Kisah pernikahan antara Zaid bin Haritsah dan Zainab binti Jahsy juga mencerminkan bahwa dalam Islam, ikatan perkawinan tidak hanya dibatasi oleh hubungan darah, melainkan juga dapat terjalin melalui ikatan persahabatan dan ikatan anak angkat. Kisah ini memberikan ilustrasi mengenai pentingnya memberikan penghargaan dan menghormati hubungan keluarga yang beragam di dalam masyarakat Muslim.
Menurut Mahmud Al-Mishri (2015) dalam Ensiklopedi Sahabat: Biografi Profil Teladan 104 Sahabat Nabi Generasi Terbaik Umat Islam Sepanjang Sejarah, pada awal periode Islam, Zaid bin Haritsah diberi nisbah nama kepada Nabi Muhammad. Oleh karena itu, dia mengidentifikasi dirinya sebagai Zaid bin Muhammad.
Namun, selanjutnya Allah menyampaikan wahyu-Nya melalui Surah al-Ahzab ayat 5, yang menegaskan bahwa anak angkat seharusnya tetap dipanggil dengan nama ayah kandung mereka, bukan ayah angkat mereka.
Usai menerima wahyu tersebut, Zaid dengan penuh kerendahan hati menyatakan, “Nama saya adalah Zaid bin Haritsah.” Langkah ini dapat dimaknai sebagai pengorbanannya untuk mentaati petunjuk Allah, meskipun tindakan ini tampaknya mengurangi derajat mulia yang sebelumnya ia miliki sebagai “bin Muhammad.”
Namun, dengan penuh kemurahan hatiNya, Allah memuliakan Zaid melalui penurunan ayat yang secara eksplisit mencantumkan namanya. Kejadian ini mencerminkan kesadaran serta ketaatan Zaid terhadap petunjuk Allah, meskipun harus merelakan status yang sebelumnya dianggap mulia. Tindakan tersebut menggambarkan karakter Zaid yang rendah hati, patuh, dan tunduk kepada kehendak Allah. Dengan penuh kasih dan kebijaksanaan, Allah memberikan penghormatan dan pengakuan yang nyata terhadap Zaid dengan menegaskan namanya dalam Al-Qur’an.
Itulah kisah sahabat Rasul Zaid Bin Haritsah secara singkat, semoga menambah wawasan dan ilmu pengetahuan.
Baca juga : Sejarah Piagam Madinah Dan Isinya