Setelah berhasil menundukkan dua kekuatan politik yang selalu menjadi ancaman dan penghalang bagi dakwah Rasulullah SAW dan umat Islam, yakni kaum Quraisy dan Yahudi, sasaran selanjutnya adalah satu kekuatan lagi, yakni bangsa Arab Badui yang tinggal di gurun-gurun. Mereka selalu menyebabkan kerusuhan, kekacauan, dan perampokan, yang mengganggu ketenteraman umat Islam. Akibatnya, Rasulullah SAW dan beberapa sahabat sepakat untuk melawan mereka dalam sebuah perang yang lebih dikenal dengan nama Perang Zaturriqa.
Perang Zaturriqa merupakan salah satu peperangan yang diabadikan dalam kitab-kitab sirah nabawiyah dan selalu dikenang sepanjang zaman adalah perang yang terjadi pada bulan Muharram, pada tahun keempat atau kelima hijriyah.
Pendapat lain mengatakan bahwa Perang Zaturriqa terjadi pada tahun ke-7 setelah Hijrah. Salah satu tanda tersebut adalah pertempuran melawan suku Ghatafan yang sebelumnya ikut dalam pengepungan Kota Madinah selama Perang Ahzab. Suku Ghatafan kemudian berniat untuk membantu suku Yahudi dalam Perang Khaibar, sambil merencanakan serangan terhadap Kota Madinah. Namun, Nabi Muhammad SAW segera merespons ancaman tersebut dengan mengirimkan pasukan untuk menghadapi mereka di Khaibar.
Latar Belakang Perang
Setelah mengalami kekalahan di Khaibar, orang-orang Ghatafan tidak merasa surut untuk menyerang Madinah. Sebaliknya, mereka lebih bertekad untuk menyerang. Namun, Nabi Muhammad SAW tidak tinggal diam dan memimpin pasukan Muslim sendiri untuk menghadapi serangan mereka.
Beliau tidak ingin memberikan kesan bahwa umat Islam takut menghadapi Ghatafan dan membiarkan moral pasukan mereka terus berkibar. Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW memilih untuk menunjukkan keberanian dan ketegasannya dengan menyerang mereka di pemukiman mereka sendiri. Tindakan ini juga bertujuan untuk menyampaikan pesan bahwa kaum Muslim tidak akan menyerah begitu saja.
Dengan tindakan ini, Nabi Muhammad SAW berhasil mematahkan semangat orang-orang Ghatafan dan menunjukkan bahwa umat Islam adalah kekuatan yang tangguh dan tak akan mundur dalam menghadapi musuh. Tindakan ini juga membuktikan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang pemimpin yang pemberani dan tegas dalam melindungi kaum Muslim dari ancaman yang datang dari luar.
Setelah mengetahui alasan di balik terjadinya konflik ini, kita dapat dengan mudah membantah tuduhan-tuduhan bahwa Rasulullah senang berperang dan memaksakan penyebaran Islam melalui kekerasan.
Perjalanan Perang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi menuju Ghatafan dengan membawa pasukan yang terhitung sedikit. Jumlahnya sekitar 400 pasukan, meskipun ada riwayat yang menyebutkan bahwa hanya 700 orang yang ikut dalam ekspedisi tersebut. Jumlah ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan pasukan yang dihadapi dalam konflik senjata pertama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Perang Badar, di mana beliau menghadapi hampir 1000 orang. Namun, seiring berjalannya waktu, jumlah pasukan yang dihadapi beliau semakin besar.
Pasukan yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ekspedisi ke Ghatafan juga hanya membawa sedikit hewan tunggangan. Enam orang bergantian naik satu tunggangan.
Mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa sedikit pasukan? Banyak yang bertanya-tanya mengapa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya membawa sedikit pasukan ketika berperang. Apakah para sahabat tidak tega membiarkan beliau dilindungi oleh sedikit orang? Namun, kita harus memahami kondisi saat itu.
Pada waktu itu perang Zaturriqa, pasukan Muslim tersebar di tempat-tempat yang berbeda. Ada pasukan yang bertugas menjaga Kota Madinah, ada yang berada di Khaibar, Wadi al-Qura, Fadak, Taima, dan tempat lainnya. Rasulullah tidak akan meninggalkan Madinah tanpa penjagaan, karena kaum Muslimin belum sepenuhnya aman dari ancaman orang-orang Mekah. Oleh karena itu, diperlukan pos-pos strategis untuk menghadang mereka jika terjadi penyerangan.
Rasulullah memimpin pasukannya menempuh perjalanan selama beberapa malam. Siang dan malam, beliau bersama para sahabatnya menembus masuk ke dalam pedalaman padang pasir. Mereka bersyukur kepada Allah karena diberikan sahabat yang setia. Meski berhari-hari berjalan kaki, mereka tidak mengeluh meskipun tertampar panas dan debu pasir serta menghadapi suhu dingin saat malam tiba. Mereka dengan sabar menemani Rasulullah hingga akhirnya mencapai perkampungan Ghatafan yang terletak di timur laut Kota Madinah. Kisah Abu Musa al-Asy’ari tentang perjalanan jauh dan beratnya menuju Ghatafan diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari.
Pada tahun ke-7 Hijriah perang Zaturriqa, terjadi peningkatan intensitas mobilisasi pasukan yang dipimpin oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terutama selama tiga bulan terakhir tahun tersebut. Mobilisasi ini dimulai dengan perjalanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabatnya menuju Mekah untuk menunaikan umrah al-qadha. Setelah itu, Perjanjian Hudaibiyah terjadi di antara mereka. Setelah menyelesaikan perjanjian tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke Madinah.
Baca juga: Kisah Perang Jamal Lengkap
Setelah tiba di Madinah, kaum Muslim segera bergerak menuju Khaibar untuk menghadapi Yahudi. Mereka terlibat dalam pertempuran sengit yang berlangsung selama lebih dari sebulan. Setelah selesai dari Khaibar, mereka kembali mempersiapkan pasukan untuk tugas selanjutnya. Tak lama kemudian, mereka kembali berangkat dan menempuh perjalanan jauh menuju Ghatafan, suku Arab yang terletak paling jauh.
Ketika benteng Khaibar diserang, Ja’far bin Abu Thalib baru saja tiba di Madinah setelah berada di Habasyah (Etiopia). Setelah mengetahui bahwa Rasulullah sedang menuju Khaibar, ia segera memutuskan untuk mengejar Nabi tanpa beristirahat. Meskipun ia merasa lelah dan letih, namun semangatnya untuk berperang bersama Rasulullah dan para sahabat tidak terbendung. Akhirnya, ia berhasil bergabung dengan pasukan di medan perang dan merasakan kebahagiaan bertemu dengan Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabat lainnya.
Abu Musa al-Asy’ari, seperti halnya generasi sahabat lainnya, tidak mengambil waktu istirahat yang lama setelah Perang Khaibar. Ia segera mempersiapkan diri untuk Perang Zaturriqa, sebuah pertempuran yang sangat berat. Mereka tidak menunda-nunda untuk melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya, terus memotivasi diri untuk terus beribadah. Hal ini menunjukkan betapa tingginya semangat mereka dalam menjalankan agama.
Peristiwa ini memperlihatkan kepada kita betapa beratnya perjuangan yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya dalam memperjuangkan agama Islam. Dalam satu tahun saja, banyak peristiwa yang berat terjadi. Namun, jika melihat sepanjang masa kerasulan, tentunya perjuangan mereka jauh lebih berat.
Perjuangan mereka memberikan pelajaran yang berharga bahwa kebenaran memerlukan perjuangan yang gigih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyebarkan agama Islam dengan menggunakan kekerasan atau adu kesaktian dalam melawan musuh-musuh agama.
Setelah tiba di perkampungan Ghatafan, pasukan kaum Muslimin dihadapi dengan ketidakberanian dari penduduk setempat, meskipun jumlah pasukan Muslimin sedikit. Para prajurit Muslimin sudah kelelahan karena perjalanan jauh dan melelahkan, dan luka-luka yang mereka alami telah melemahkan kondisi fisik mereka.
Di sisi lain, penduduk Ghatafan berada di wilayah mereka sendiri dan sangat mengenal daerahnya. Selain itu, mereka juga memiliki jumlah pasukan yang banyak dan kekuatan fisik yang cukup prima. Namun, mereka tetap tidak bergerak dari tempat tinggal mereka dan terlihat ketakutan. Meskipun sebelumnya mereka berniat untuk melawan kaum Muslimin, namun tiba-tiba mereka menjadi gentar dan tidak berani untuk menghadapi pasukan Muslimin.
Saat kembali dari Ghatafan menuju Madinah, terjadi sebuah peristiwa yang aneh. Kisah ini diabadikan oleh al-Bukhari melalui cerita yang diceritakan oleh sahabat bernama Jabir. Pada saat pasukan Islam sedang dalam perjalanan pulang menuju Madinah, mereka berhenti untuk beristirahat di bawah pepohonan yang teduh. Rasulullah juga ikut berteduh dan menggantungkan pedangnya di pohon sebelum kemudian tidur bersama yang lainnya. Namun, tiba-tiba, seseorang muncul dan mengambil pedang milik Nabi tersebut. Pria itu kemudian menodongkan pedang itu di leher Rasulullah yang langsung terjaga.
Seseorang bermaksud untuk membunuh nabi. Jika niat tersebut terlaksana, orang tersebut akan dihormati di kalangan Ghatafan. Namun, Allah melindungi Rasul-Nya dan tidak membiarkan kejadian tersebut terjadi.
Dari peristiwa ini, kita dapat menarik beberapa pelajaran.
- Pertama, kita dapat mengenal karakteristik bangsa Arab.
- Kedua, kita dapat memahami mengapa Allah memilih mereka untuk menjadi penyebar Islam.
Selain itu, kita dapat mengamati bahwa mereka yang memeluk agama Islam tidak melakukannya karena takut mati, tetapi sebagai pilihan. Bahkan, ada beberapa Badui yang menolak tawaran untuk masuk Islam meskipun nyawa mereka terancam. Mereka mempertahankan pendirian dan pilihannya, bahkan dalam situasi yang sulit dan berbahaya.
Hal ini menunjukkan betapa teguhnya prinsip dan keyakinan orang Arab. Oleh karena itu, kampanye demokrasi yang dicoba diterapkan oleh Amerika di Timur Tengah sering kali berakhir dengan perang. Orang Arab tidak mau tunduk pada tekanan dan paksaan dari pihak lain, bahkan dari negara-negara adidaya.
Kita dapat belajar dari sikap teguh orang Arab dalam mempertahankan prinsip dan keyakinan mereka, meskipun dalam situasi yang sulit. Sikap ini adalah contoh bagus bagi kita untuk tidak mudah terpengaruh oleh tekanan dari luar dan untuk selalu berpegang pada nilai-nilai dan prinsip yang benar.
Peristiwa ini memberi pelajaran bahwa Islam tidak pernah dipaksakan dengan kekerasan. Meskipun seseorang menolak dakwahnya, Nabi tidak memaksa atau membunuhnya. Selain itu, sikap rendah hati Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga patut menjadi teladan bagi kita. Meskipun beliau seorang pemimpin, panglima, dan nabi yang berkedudukan tinggi, beliau tidak membalas ancaman dengan tindakan buruk ketika beliau ditodongkan dengan pedang.
Terkadang, bahkan sebagai rakyat biasa, kita merasa tidak nyaman ketika disorot dengan tatapan sinis dan kita cenderung membalas dengan emosi yang berlebihan, padahal itu hanya sekadar pandangan.
Dalam perjalanan pulang dari Ghatafan, terdapat sebuah kisah menarik yang melibatkan dua sahabat, yaitu Ubbad bin Bisyr al-Anshari dan Ammar bin Yasir al-Muhajiri. Saat malam tiba, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti di suatu tempat untuk beristirahat. Beliau meminta Ubbad dan Ammar untuk berjaga di tempat tersebut.
Bisyr dan Ammar adalah dua orang sahabat yang saling berbagi waktu untuk menjaga selama setengah malam. Keduanya memiliki komitmen yang kuat untuk melaksanakan tugas tersebut, dan mereka berusaha agar waktu berjaga terasa singkat dengan melakukan aktivitas yang bermanfaat.
Ketika giliran Ubbad untuk berjaga, ia memiliki keinginan untuk memanfaatkan waktu tersebut dengan menenggelamkan diri dalam shalat malam. Bagi Ubbad, shalat malam adalah momen yang sangat berharga untuk beribadah kepada Allah dan memperkuat koneksi spiritualnya.
Namun, dalam tengah-tengah shalatnya, Ubbad dihadapkan dengan sebuah tantangan yang cukup berat. Seorang musyrik dari suku Ghatafan tiba-tiba datang dan melempari Ubbad dengan panahnya. Meskipun terkena panah, Ubbad tetap mempertahankan konsentrasi dan semangatnya dalam melaksanakan shalat.
Saat panah pertama mengenai tubuhnya, Ubbad tetap tenang dan cabut panah tersebut dengan hati-hati, tanpa mengganggu konsentrasi shalatnya. Namun, musyrik tersebut tidak berhenti dan melemparkan panah kedua yang menyasar betis Ubbad. Meskipun begitu, Ubbad tetap bertahan dan cabut panah tersebut dengan penuh kesabaran dan ketenangan.
Tantangan terbesar datang ketika musyrik tersebut melemparkan panah ketiga. Ubbad tetap fokus dan cabut panah tersebut dengan tekad yang kuat. Setelah itu, Ubbad melanjutkan shalatnya dengan rukuk dan sujud seperti biasa, seolah-olah tidak ada apa-apa yang terjadi.
Keberanian dan ketabahan Ubbad dalam menghadapi situasi yang sulit ini menggambarkan betapa pentingnya shalat malam sebagai sarana untuk menguatkan koneksi spiritual dan mental seseorang. Meskipun dalam keadaan yang sangat sulit, Ubbad tidak membatalkan shalatnya dan tetap mempersembahkan ibadahnya kepada Allah.
Itulah kisah perang Zaturriqa, semoga bermanfaat dan menambah wawasan.
Baca juga: Sejarah Kota Madain Saleh