Ketika membahas tentang tanah suci umat Islam, biasanya yang terlintas dalam pikiran adalah Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah. Nah, kali ini kita akan membahas sejarah kota Jeddah di Arab Saudi.
Di Makkah, Nabi Muhammad SAW dilahirkan. Di kota ini juga terdapat Ka’bah, situs suci yang menjadi arah kiblat bagi kaum Muslimin saat melaksanakan shalat. Sementara itu, di Madinah yang berjarak sekitar 440 kilometer dari tempat kelahiran Rasulullah SAW, berdiri Masjid Nabawi. Kota yang dulu dikenal sebagai Yastrib ini juga menjadi lokasi makam Nabi Muhammad SAW.
Selain kedua kota suci tersebut, terdapat kota-kota lain di Jazirah Arab yang memiliki nilai historis bagi umat Muslim. Salah satunya adalah Jeddah. Kota yang memiliki luas 1.600 kilometer persegi ini terletak di pesisir barat Arab Saudi, menghadap Laut Merah.
Letak Geografis Kota Jeddah
Secara etimologi, nama Jeddah berasal dari bahasa Arab, yaitu Jaddah atau Juddah, yang artinya ‘nenek.’ Menurut cerita yang diwariskan secara turun-temurun, nama ini berhubungan dengan legenda bahwa nenek moyang manusia, Hawa, dimakamkan di daerah tersebut. Oleh karena itu, kota ini sering dikunjungi oleh wisatawan Muslim serta jamaah haji dan umrah.
Saat ini, Jeddah merupakan salah satu daerah metropolitan di Arab Saudi. Secara geografis, kota ini terletak di pantai timur Laut Merah pada koordinat 309 derajat bujur timur dan antara 21 hingga 289 derajat lintang utara. Jeddah berjarak sekitar 80 kilometer dari Makkah dan 400 kilometer dari Madinah.
Ikhwan dan Abdul Halim dalam sebuah buku Ensiklopedi Haji dan Umrah menyatakan bahwa kota ini memiliki dua iklim, yaitu musim panas dan musim dingin. Musim panas berlangsung dari bulan Juni hingga September dengan suhu rata-rata antara 35-42 derajat Celcius. Sementara itu, musim dingin terjadi dari bulan November hingga Februari dengan suhu berkisar antara 10-25 derajat Celcius.
Baca juga : 5 Tips Menjaga Pola Makan Saat Ibadah Haji
Demografi Kota Jeddah
Secara demografis, populasi Kota Jeddah menunjukkan keberagaman yang signifikan. Kota ini menjadi tempat bagi beragam suku bangsa dari seluruh penjuru dunia, termasuk Arab, Persia, Afrika, India, dan juga Melayu-Indonesia. Pertanahan kota ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu wilayah perkotaan yang modern dan yang lebih tradisional. Wilayah metropolitan mencakup hampir seluruh area kota, termasuk pusat bisnis dan pemerintahan yang membentang hingga 47 kilometer persegi.
Kawasan kota tua yang dikenal sebagai al-Balad meliputi luas 17,92 hektar. Di sana, berdiri beragam bangunan bersejarah yang telah berdiri sejak zaman kuno dan tetap terjaga dengan baik. Sejak tahun 2014, al-Balad diakui sebagai salah satu situs warisan dunia oleh UNESCO.
Menurut buku panduan resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Jeddah, kota pesisir ini telah didiami oleh bangsa Arab selama lebih dari 25 abad. Sebelum industri minyak bumi berkembang pesat di Kerajaan Arab Saudi, Jeddah telah berfungsi sebagai tempat transit bagi para nelayan dari Suku Qudha’ah setelah mereka menangkap ikan di Laut Merah.
Secara perlahan, masyarakat ini mulai mengubahnya menjadi sebuah perkampungan. Kemudian, daerah pantai itu semakin hidup dengan kegiatan ekonomi dan budaya yang berkembang.
Sejarah Jeddah Di Masa Lalu
Sejarah Kota Jeddah Di Arab Saudi-Menurut Ahmad al-Santanawy dalam buku Dairah al-Ma’arif al-lslamiyah, sejak tahun 648 M, Jeddah telah menjadi pintu gerbang bagi mereka yang ingin menuju Makkah dan Madinah dari Laut Merah. Peranannya sebagai pelabuhan kemudian diperkuat oleh Utsman bin Affan, khalifah ketiga dari era Khulafaur Rasyidin. Sejak saat itu, kota ini terus berkembang dan memberikan kontribusi signifikan bagi bangsa Arab dan umat Islam secara keseluruhan.
Selama masa pemerintahan Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, pusat kekuasaan Islam beralih dari Madinah ke Damaskus dan Baghdad. Pertumbuhan ekonomi Jeddah juga dipengaruhi oleh era kedua kekhalifahan tersebut, namun kota ini tetap diperhatikan oleh penguasa. Beberapa penguasa Muslim membangun benteng-benteng yang kuat untuk melindunginya.
Di tahun 969 M, Dinasti Fathimiyah dari Aljazair merebut kendali Mesir dari Gubernur Ikhshidid Abbasiyah. Dinasti yang mengikuti aliran Syiah ini memperluas kekuasaannya ke wilayah timur Arab, mencakup Jeddah dan sebagian Hijaz.
Dengan metode tersebut, mereka memperluas jaringan perdagangan yang menghubungkan Mediterania dan Samudra Hindia melalui Laut Merah. Barang-barang dari Dinasti Song Cina tiba di Jeddah, begitu pula dengan rempah-rempah dari Nusantara.
Shalahuddin al-Ayyubi yang merupakan pendiri Dinasti Ayyubiyah, berhasil merebut Baitul Makdis dari tangan Salibis pada tahun 1171 M. Tak lama setelah itu, ia juga menguasai Mesir dan menjatuhkan Dinasti Fathimiyah.
Wangsa Ayyubiyah, yang mengikuti aliran Sunni, berhasil menaklukkan Hijaz dan Jeddah. Hingga awal abad ke-13 Masehi, pemerintahan keturunan al-Ayyubi membawa kemajuan yang signifikan bagi wilayah tersebut. Mereka mendirikan banyak madrasah dan meningkatkan infrastruktur pelabuhan setempat. Hal ini membuat pelabuhan tersebut semakin diminati oleh pelaut dan pedagang Muslim dari India, Asia Tenggara, dan Afrika Timur.
Sejak pertengahan abad ke-13 Masehi, Dinasti Ayyubiyah ditaklukkan oleh Kesultanan Mamluk. Berpusat di Kairo, Mesir, mereka juga mengendalikan Jeddah dan sekitarnya. Hingga abad ke-16 M, Kekaisaran Utsmaniyah muncul sebagai kekuatan baru yang berhasil menguasai tiga tanah suci: Makkah, Madinah, dan Baitul Makdis. Dalam waktu singkat, Jeddah juga menjadi bagian dari wilayah kekuasaan kekaisaran yang beribukota di Konstantinopel (Istanbul).
Vasco da Gama, penjelajah asal Portugal, sukses menemukan rute laut dari Iberia ke Tanjung Harapan di Afrika Selatan. Dari sana, dia melanjutkan perjalanan ke Zanzibar dan Laut Arab, menjadi penyebar agama Katolik.
Dengan meriam-meriamnya, ia mengintimidasi sejumlah penguasa Muslim yang berada di kota-kota pesisir di antara Tanduk Afrika dan pantai Malabar. Kapal-kapal dagang para sultan India yang hendak mencapai Laut Merah juga termasuk dalam sasarannya.
Pangeran Gujarat dan Yaman juga meminta pertolongan dari Mesir. Sultan al-Ashraf Qansuh al-Ghawri merespons dengan mengirimkan 50 kapal. Kapal-kapal tersebut kemudian ditempatkan di Jeddah di bawah pengawasan Hussein al-Kurdi atau yang dikenal sebagai Mirocem, gubernur setempat. Selain itu, dia juga memerintahkan pembangunan benteng-benteng di kota pesisir tersebut untuk melindunginya dari serangan Portugis.
Di Bawah Pemerintahan Arab Saudi
Sejarah Kota Jeddah Di Arab Saudi-Pada abad ke-20, imperialisme dan kolonialisme Barat semakin menguat, seperti yang terjadi ketika Turki Utsmaniyah pada tahun 1910 menyerahkan pemerintahan Jeddah kepada Britania Raya setelah berabad-abad mengendalikannya. Saat Jazirah Arab terpecah antara pendukung Syarif Makkah dan Ibnu Saud, Jeddah menjadi sasaran persaingan di antara kedua kelompok tersebut.
Pada tanggal 23 September 1932, Kerajaan Arab Saudi didirikan. Abdul Aziz bin Saud menjadi raja pertamanya. Negara-negara Barat seperti Inggris, Prancis, dan Belanda memberikan pengakuan resmi terhadap kepemimpinan pria yang lahir di Kota Riyadh itu.
Sebelum memperoleh dominasi atas sebagian besar Jazirah Arab, Ibnu Saud menundukkan Husain bin Ali, syarif Makkah, dalam pertempuran terbuka pada 1924. Pada tahun 1926, penganut Wahabisme berhasil mengendalikan Haramain.
Pada saat tersebut, Ibnu Saud mulai mengubah sistem administrasi haji. Dia memperbaiki pemeriksaan kesehatan bagi jamaah haji dan meningkatkan keamanan mereka. Dia juga berhasil menghilangkan praktik pungutan liar yang telah merepotkan para peziarah sejak Perang Dunia I. Ini adalah langkah-langkah penting yang dia ambil untuk membentuk dasar bagi Dinasti Saudi.
Dibawah pimpinan Dinasti Saud, Jeddah secara administratif dimasukkan ke dalam wilayah Hijaz. Ini memicu akselerasi dalam upaya renovasi dan modernisasi Kota Jeddah, terutama setelah Perang Dunia II. Pembangunan infrastruktur seperti gedung-gedung dan jalan-jalan dilakukan secara bertahap dan efisien, didukung oleh alokasi dana yang besar.
Dana tersebut berasal dari sumber kekayaan alam yang dimiliki oleh kerajaan Arab Saudi, terutama melalui penghasilan minyak bumi yang sangat melimpah. Hal ini telah mengubah wajah kota dari wilayah gersang dan tidak menarik menjadi sebuah kota yang indah dan menyegarkan. Pembangunan gedung-gedung tinggi dan jaringan jalan yang merata telah meningkatkan konektivitas, menjadikan Jeddah berkembang menjadi sebuah kota metropolitan.
Sebagai pusat perdagangan dan pelabuhan, kota ini sibuk dengan aktivitas bongkar muat barang dari luar negeri, baik untuk keperluan pembangunan maupun kebutuhan masyarakat lokal.
Barang-barang ekspor seperti minyak, gom arab, kulit binatang, mutiara, kerajinan, anyaman, tembikar, pakaian, barang-barang keagamaan, hasil perikanan, dan penambangan mutiara juga dikapalkan dari pelabuhan Jeddah.
Jadi, Jeddah memiliki potensi untuk menyumbang pendapatan yang signifikan bagi pembangunan dan kemajuan ekonomi Arab Saudi. Selain itu, kota ini berperan sebagai pusat distribusi sebagian kekayaan Kerajaan kepada negara-negara Islam, baik melalui kontrak kerja, bantuan, maupun pinjaman.
Sebelum industri minyak mengalami lonjakan di Arab Saudi, Jeddah menjadi pusat perhatian berkat lokasinya yang strategis sebagai pelabuhan kunci di sepanjang Laut Merah. Signifikannya, sejak Terusan Suez dibuka pada tahun 1869, peran Jeddah semakin vital sebagai tempat transit utama bagi kapal-kapal dagang dari berbagai negara.
Titik Kumpul Jamaah Haji
Selain sebagai pusat pelabuhan dan bisnis, Jeddah juga berperan sebagai pusat pemerintahan dan kota diplomatik bagi Kerajaan Arab Saudi. Di sini terletak istana raja, kantor Departemen Luar Negeri Arab Saudi, dan berbagai kantor perwakilan negara asing serta lembaga internasional.
Lokasi pintu masuk ke Arab Saudi sering menjadi tempat pertemuan pemimpin bangsa, terutama dari negara-negara Islam, untuk membahas berbagai masalah yang berkaitan dengan Islam. Sejumlah kantor lembaga internasional juga berada di kota ini, termasuk Organisasi Penyiaran Negara Islam, Badan Dana Ilmu, Teknologi, dan Pembangunan, Badan Solidaritas Islam, Bank Pembangunan Islam, serta Organisasi Kerjasama Islam (OKI), dan sebagainya.
Kini, Kota Jeddah telah berkembang menjadi pusat perdagangan dan hubungan internasional yang terbuka, menjadikannya pusat bisnis terkemuka di Timur Tengah. Bangunan tinggi, perkantoran, pusat perbelanjaan, supermarket, dan hotel mewah menjulang di setiap sudut, menarik pendatang dari berbagai negara Teluk yang datang untuk berbelanja.
Dalam konteks ibadah haji, Kota Jeddah berperan sebagai salah satu Miqat Makani untuk memulai ihram bagi jamaah haji. Jamaah haji Indonesia yang tiba di Kota Mekkah dengan pesawat menggunakan Kota Jeddah sebagai titik awal ihram mereka.
Sejak tahun 1980, keputusan ini telah diputuskan oleh pemerintah Indonesia berdasarkan fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kota ini menjadi tempat singgah hampir semua jamaah haji dan umrah, bukan hanya dari Indonesia, tetapi juga dari negara lain. Dicatat bahwa setiap tahunnya, hampir dua juta jamaah haji melakukan kunjungan ke Tanah Suci melalui Kota Jeddah.
Pemerintah Arab Saudi telah mendirikan pelabuhan laut dan udara khusus untuk mengangkut jamaah haji. Salah satu dari pelabuhan udara yang dibangun adalah Bandara Raja Abdul Aziz, yang terletak beberapa kilometer dari Kota Jeddah.
Bandara King Abdul Aziz adalah suatu kompleks pelabuhan udara yang mengagumkan, menawan, dan megah. Beroperasi sejak diresmikannya pada tahun 1981, Bandara ini mendapat pengakuan sebagai Miqat Makani bagi jamaah haji Indonesia melalui fatwa dari MUI pada tahun yang sama. Sejak saat itu, Bandara King Abdul Aziz menjadi tempat resmi memulai ihram bagi jamaah haji Indonesia, menggantikan Kota Jeddah dalam perannya yang terdahulu.
Jeddah memiliki setidaknya tiga julukan yang menarik. Pertama, disebut sebagai “Sang Pengantin Putri Merah” karena keelokan dan pesonanya sebagai salah satu kota pelabuhan yang berhadapan dengan Laut Merah. Kedua, dikenal sebagai “Pintu Gerbang Dua Tanah Haram” karena posisinya yang strategis sebagai gerbang utama menuju Makkah dan Madinah, terutama melalui jalur laut dan udara. Terakhir, disebut sebagai “Kota Pasar Tengah” karena peran pentingnya sebagai pusat aktivitas bisnis dan perdagangan global.
Itulah sejarah kota Jeddah di Arab Saudi, semoga menambah manfaat dalam ilmu pengetahuan.
Baca juga : 3 Amalan Bulan Zulkaidah