Di balik kemasyhuran Masjid Nabawi, Kota Madinah sebenarnya menghimpun banyak masjid dengan sejarah yang tak kalah berharga dengan Masjid Nabawi, termasuk salah satunya adalah Masjid Abu Bakar Bakar Shiddiq. Berikut ini adalah kisah dari sejarah Masjid Abu Bakar Shiddiq selengkapnya.
Masjid Abu Bakar Shiddiq adalah salah satu dari tiga masjid bersejarah di sebelah timur bagian selatan Masjid Nabawi, berdekatan dengan Masjid Ghamamah dan Masjid Ali bin Abi Thalib, terletak hanya sekitar 40 meter dari Masjid Ghamamah.
Ada dua versi sejarah yang mengisahkan latar belakang pembangunan Masjid Abu Bakar As-Shidiq ini. Versi pertama menyampaikan bahwa di lokasi di mana masjid ini berdiri, Khalifah pertama Abu Bakar As-Shidiq, bersama dengan para Muslim awal, dan di bawah imam Rasulullah SAW, pernah melaksanakan salat hari raya di tempat ini.
Versi kedua menjelaskan bahwa di tempat di mana masjid ini berdiri, dahulu kala merupakan rumah Khalifah Abu Bakar As-Shidiq r.a. Oleh karena itu, pembangunan masjid dilakukan di lokasi tersebut dengan mempertimbangkan sejarah pentingnya tempat ini bagi Rasulullah SAW dan Abu Bakar As-Shidiq. Masjid ini terletak hanya sekitar 335 meter dari Masjid Nabawi.
Masjid Abu Bakar Shidiq memiliki ukuran sekitar 19,5 x 15 meter dan awalnya dibangun oleh Khalifah Umar Bin Abdul Aziz pada tahun 50 H. Bangunan ini kemudian mengalami renovasi hingga mencapai bentuk yang kita lihat saat ini, yang dilaksanakan pada masa Sultan Mahmud Khan Al-Utsmani (Sultan Mahmud II) sekitar tahun 1240 H – 1250 H. Selanjutnya, masjid ini mengalami renovasi tambahan yang dilakukan oleh Raja Fahd pada tahun 1411 H, namun desain masjidnya tetap dipertahankan tanpa mengalami perubahan.
Baca juga : Sejarah Masjid Ghamamah Di Madinah
Arsitektur Bangunan Masjid
Masjid Abu Bakar As-Shidiq didesain dengan bentuk denah segi empat dengan panjang rusuk sekitar 8 meter, dan dibangun menggunakan bahan baku batu basal. Pembangunan masjid ini dilakukan dengan sederhana karena pada masa itu belum tersedia teknologi yang canggih. Bahkan setelah renovasi terakhir yang dilakukan oleh Sultan Mahmud II, bangunan tersebut tetap mempertahankan keasliannya, dengan hanya melakukan perawatan renovasi yang diperlukan.
Di bagian luar, struktur dibangun dengan cermat menggunakan tembok hitam yang terbuat dari batu basal yang tidak beraturan. Selanjutnya, didirikan sebuah kubah besar berwarna putih dan sebuah menara yang terhubung secara harmonis dengan bangunan utama, menggunakan bahan baku yang serupa. Puncak menara ini dihiasi dengan ujung lancip yang terbuat dari tembaga.
Di sebelah kanan dan kiri jalan masuk, terdapat dua jendela kaca berbentuk persegi panjang. Jalan masuk langsung membawa jamaah ke ruang sholat utama. Meskipun ruang sholat utama ini relatif kecil, namun tetap digunakan dan difungsikan dengan sepenuh hati, meskipun sudah ada banyak masjid megah lainnya.
Kubah di atas ruang sholat utama mencapai ketinggian 12 meter. Di bagian bawah kubah, terdapat sekitar 8 ventilasi kecil sebagai jalur masuk udara dan cahaya. Mihrabnya dibangun di tengah-tengah dengan ketinggian sekitar 2 meter, dan luas cekungannya sekitar 80 cm persegi.
Menara yang digunakan untuk mengumandangkan adzan ditempatkan pada sudut timur laut dengan pondasi berbentuk persegi empat. Di tengah-tengah menara tersebut, terdapat sebuah tiang silindris yang membentang hingga mencapai muqamas penyangga balkoni. Puncak dari tiang silinder ini dihiasi dengan sebuah logam berbentuk kerucut yang memiliki ornamen bulan sabit di bagian puncaknya.
Di sisi timur Masjid ini terdapat sebuah teras berbentuk persegi panjang yang membentang dari utara ke barat dengan ukuran 13 x 6 meter. Pintu masuk dari arah utara Masjid ini nyaris seolah-olah terletak di halaman Masjid Al-Ghamamah karena kedua lokasi ini sangat berdekatan. Sisi dinding sebelah timur terlapisi oleh berbagai macam batu hitam yang tidak teratur susunannya, dan terdapat juga kubah serta menara yang dilapisi warna putih, menciptakan kontras yang sangat harmonis.
Tidak Dibuka Untuk Umum
Sayangnya, meskipun masjid ini tetap terawat dengan baik, saat ini tidak lagi aktif digunakan untuk ibadah. Pengunjung yang datang ke sana tidak dapat memasuki bangunan dan menjalankan shalat di dalamnya. Di sekitar area eksterior masjid, terdapat papan informasi yang menceritakan sejarah Masjid Abu Bakar Shiddiq. Pengunjung dapat bermain dengan merpati yang berkumpul di sekitarnya dan menjelajahi jalanan sekitar. Bahkan ada penjual biji-bijian yang dapat digunakan pengunjung untuk memberi makan merpati tersebut.
Meskipun jarang digunakan dan berada dalam posisi tertutup, nilai sejarah dari bangunan ini sangat tinggi. Oleh karena itu, bangunan ini seharusnya tetap dipertahankan sesuai dengan Visi 2030 Kerajaan Arab Saudi, yang bertujuan untuk mencapai kemajuan di berbagai sektor tanpa tergantung pada ketersediaan minyak.
Yang mengenaskan adalah, di dinding masjid terlihat banyak coretan dengan menggunakan spidol atau tipe-x. Tidak hanya beberapa nama dan coretan yang mengandung nama orang Indonesia. Keterlaluan coretan tersebut tidak hanya disebabkan oleh kurangnya disiplin para jamaah, tetapi juga karena kurangnya pengawasan oleh pihak keamanan.
Mengunjungi Masjid dan tempat bersejarah lainnya saat berwisata memungkinkan kita untuk mengenal kisah perjuangan dan pengorbanan para sahabat terbaik Rasulullah SAW, yang juga menjadi Khalifah setelah wafatnya Rasulullah SAW.
Semoga kita mendapat kesempatan untuk menjalankan ibadah haji dan umrah serta mengunjungi masjid-masjid bersejarah di kota Madinah selain Masjid Nabawi, insya Allah. Itulah sedikit cerita tentang sejarah Masjid Abu Bakar Shiddiq di Madinah.
Baca juga : Kisah Hindun Binti Utbah Dan Hidayahnya