Ka’bah, yang juga dikenal sebagai Bait Suci, merupakan tempat ibadah pertama yang dibangun di atas bumi untuk menyembah Allah. Bangunan Ka’bah memiliki bentuk kubus dan terletak di pusat Masjidil Haram di kota Mekah. Dalam artikel berikut ini akan diulas sejarah pembangunan Ka’bah dari zaman ke zaman.
Ka’bah, sebuah monumen yang dianggap suci oleh umat Muslim (Islam), berfungsi sebagai titik rujukan untuk menentukan arah kiblat dan sebagai tempat utama untuk melaksanakan ibadah, seperti salat, bagi umat Islam di seluruh dunia. Selain itu, Ka’bah menjadi destinasi yang wajib dikunjungi atau diziarahi selama musim haji dan umrah.
Beberapa sejarawan, narator, dan sumber sejarah menyampaikan bahwa Ka’bah pertama kali dibangun oleh para malaikat. Beberapa pandangan juga menyatakan bahwa Nabi Adam ‘alaihissalam yang pertama kali membangunnya, sementara ada pula yang berpendapat bahwa Ka’bah diciptakan oleh Allah 2000 tahun sebelum penciptaan bumi, kemudian bumi diciptakan dari bawahnya.
Dibangun Oleh Malaikat
Rumah ibadah pertama yang dibangun di muka bumi adalah Ka’bah, seperti yang dijelaskan dalam ayat 96-97 Surat Ali Imran. Para ulama menjelaskan bahwa ayat ini merupakan penolakan Allah SWT terhadap klaim kaum ahli kitab yang menyatakan bahwa Baitul Maqdis atau Aqsha adalah tempat pertama ibadah yang diciptakan.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi Dzar, Rasulullah saw menyebutkan bahwa perbedaan waktu pembangunan antara Baitullah di Mekah dan Baitul Maqdis di Yerusalem adalah empat puluh tahun. Ayat ini juga menjadi dasar argumen bagi para ulama yang meyakini bahwa Ka’bah pertama kali didirikan oleh para malaikat, bukan oleh manusia.
Ayat 96-97 dari Surat Ali Imran juga menunjukkan bahwa yang pertama kali mendirikan Ka’bah adalah para malaikat. Bukti dari ayat Al-Qur’an tersebut terletak pada penggunaan kalimat “untuk (tempat ibadah) manusia” وَضَعَ لِلنَاسِ. Hal ini menunjukkan bahwa Ka’bah telah ada sebelum keberadaan manusia, karena dibangun untuk manusia.
Jelas terlihat bahwa yang pertama kali membangun Ka’bah bukanlah manusia, melainkan malaikat. Ka’bah ditempatkan sejajar dengan Baitul Makmur di ‘Arsy, di mana para malaikat melakukan tawaf. Bahkan, menurut Imam Al-Azraqi, jika Baitul Makmur di ‘Arsy runtuh, hal tersebut akan berdampak pada Baitullah di Mekah.
Imam Al-Azraqy, seorang sejarawan Mekah, menceritakan bahwa setelah melakukan tawaf, tepat di dalam Hijir Ismail, Muhammad bin Ali bin Husain menyampaikan bahwa ayahnya pernah menjelaskan kepada seorang penduduk Syam mengenai awal mula tawaf di Baitullah. Ayahnya menceritakan bahwa saat itu Allah berfirman kepada malaikat, “Aku akan menjadikan khalifah di muka bumi.” Malaikat segera protes karena Allah berencana menciptakan khalifah dari bangsa manusia, bukan dari bangsa mereka (malaikat), yang dianggap akan mengotori dan menumpahkan darah. Namun, Allah menjawab, “Aku lebih mengetahui apa yang kalian tidak ketahui!”
Dari respons tersebut, malaikat-malaikat menganggap bahwa Allah murka terhadap mereka yang melakukan protes. Akibatnya, mereka menangis dengan sangat sedih, berkumpul di ‘Arsy, merendahkan diri, dan melakukan tawaf di sekitar ‘Arsy. Sambil melaksanakan tawaf, para malaikat membaca:
“Aku memenuhi panggilan-Mu, Ya Allah, Ya Tuhan kami. Kami memohon ampunan kepada-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”
Allah melihat mereka, lalu menurunkan rahmat kepada mereka, dan menciptakan sebuah rumah yang berada tepat di bawah ‘Arsy-Nya. Allah memerintahkan malaikat untuk bertawaf di tempat ini dan meninggalkan ‘Arsy. Bagi para malaikat, tugas ini lebih mudah dibandingkan dengan bertawaf di ‘Arsy, yang merupakan Baitul Makmur.
Kemudian, Allah menyuruh malaikat-malaikat-Nya untuk membangun sebuah rumah yang serupa dan sebesar itu di bumi. Allah juga memerintahkan penduduk bumi untuk melakukan tawaf di tempat tersebut. Atiq bin Ghaits menjelaskan bahwa Malaikat Jibril memukulkan sayapnya ke bumi, dan akibatnya muncullah fondasi yang mirip dengan tempat tawaf para malaikat. Fondasi itu tertanam kuat di dalam tanah. Selanjutnya, para malaikat melemparkan batu-batu yang begitu beratnya sehingga bahkan tidak dapat diangkat oleh 30 orang sekaligus.
Bentuk dan ukuran tempat ibadah para malaikat, Baitul Makmur, serta Baitullah di Mekah yang didirikan oleh Nabi Ibrahim memiliki kesamaan yang sempurna, baik dari segi ukuran maupun bentuknya. Dalam riwayat Al-Azraqy dari Ibnu Juraij, Imam Ali bin Abi Thalib menggambarkan bahwa posisi Baitullah, yang tiang-tiangnya dibangun oleh Nabi Ibrahim, menyerupai bentuk awan yang turun seperti mendung.
Di tengah-tengah awan tersebut, terdapat kepala yang berbicara kepada Nabi Ibrahim, “Ambillah ukuranku di bumi, jangan lebih dan jangan kurang.” Ibrahim kemudian menggaris tanah sesuai petunjuk tersebut, dan itulah yang kemudian dikenal sebagai Bakkah, sementara wilayah di sekitarnya disebut Mekah (HR Al-Azraqy).
Baca juga : Peran Wali Songo Dalam Penyebaran Agama Islam Di Indonesia
Pembangunan Saat Nabi Adam AS
Sejarah Pembangunan Ka’bah Dari Zaman Ke Zaman-Menurut Abdurrazzaq, disampaikan oleh Ibnu Juraij dari Atha dan Ibnu Musayyab, Allah benar-benar menurunkan wahyu kepada Nabi Adam saat turun dari surga ke bumi. Kisah yang tercatat dalam Al-Qur’an menyebutkan bahwa Adam dan Hawa tertipu oleh tipu daya setan ketika melanggar perintah Allah untuk menjauhi sebuah pohon. Meskipun Allah telah memerintahkan agar keduanya tidak mendekati pohon tersebut, Nabi Adam melanggarnya, dan akibatnya Allah murka sehingga mengusirnya ke bumi. Kejadian ini diuraikan dalam Surat Al-Baqarah [2]: 35-37.
Ada yang menamakan pohon khuldi seperti yang dikisahkan dalam Surat Thaha ayat 120, meskipun sebenarnya itu adalah sebutan yang diberikan oleh setan. Adam dan Hawa, dengan tipu daya setan, memakan buah yang dilarang, mengakibatkan keduanya diusir dari surga oleh Allah SWT. Di sini, setan yang dimaksud adalah iblis. Beberapa ahli tafsir mengartikan beberapa kalimat dari Allah SWT yang diterima oleh Adam sebagai panggilan untuk bertaubat. Kisah pertaubatan Adam kemudian dilanjutkan dalam Surat Al-A’raf [7] ayat 22-23.
Dengan penuh ketulusan dalam bertaubat dan penyesalan yang mendalam, Adam dan Hawa mengalami penurunan ke bumi. Mereka mengakui bahwa mereka tergoda oleh setan dan dengan yakin menyadari keberuntungan mereka mendapatkan ampunan dari Allah SWT. Allah berfirman kepada Adam, “Bangunlah bagi-Ku sebuah rumah dan dirikanlah ibadah sebagaimana engkau melihat para malaikat beribadah di langit.”
Kemudian, Atha’ menceritakan bahwa setelah tiba di bumi, Adam membangun rumah tersebut menggunakan lima gunung, yakni Haro, Tursina, Libanan, Judy, dan Turzeta. Imam Mawardi menambahkan bahwa Nabi Adam, dengan bantuan Malaikat Jibril, membangun Baitullah seperti yang dilihatnya di ‘Arsy.
Mereka bersama-sama memindahkan batu-batu yang sangat berat, bahkan tidak mampu diangkat oleh 30 orang. Adam menjadi orang pertama yang melaksanakan shalat dan tawaf di tempat tersebut, dan ia melanjutkannya secara terus-menerus hingga Allah SWT mengirimkan angin topan yang mengakibatkan lenyapnya bangunan Ka’bah. Yang tersisa hanyalah fondasi dasarnya.
Menurut penjelasan dalam kitab Al-Ma’arif, Ibnu Qutaibah menyebutkan bahwa setelah wafatnya Nabi Adam, Nabi Shith, putra laki-laki Nabi Adam, menjadi tokoh yang memakmurkan dan membangun Baitullah atau Ka’bah.
Pembangunan Oleh Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS
Sejarah Pembangunan Ka’bah Dari Zaman Ke Zaman-Ketika Ismail sedang tumbuh dewasa, Ibrahim secara rutin mengunjunginya dari Palestina. Suatu hari, Nabi Ibrahim mengajak berbicara Nabi Ismail, “Allah menyuruhku melakukan suatu tugas.” Ismail menjawab, “Laksanakan perintah Allah itu.”
Nabi Ibrahim bertanya, “Apakah kamu akan membantu?” Ismail menyatakan, “Saya siap membantu.” Ibrahim menjelaskan, “Allah memerintahkan saya untuk membangun rumah di sini,” sambil menunjuk bukit yang kini menjadi Masjidil Haram.
Diceritakan oleh Imam Thabari, Nabi Ibrahim mendapat bantuan dari malaikat Jibril. Dalam percakapan mereka, Ibrahim bertanya kepada Jibril, “Apakah di tempat ini aku diperintahkan membangun rumah Allah itu?” Jibril dengan tegas menjawab, “Ya, di tempat ini!”
Kemudian, fondasi yang awalnya dibangun oleh Nabi Adam, yang merupakan petunjuk Allah melalui malaikat-Nya, ditemukan kembali oleh Nabi Ibrahim setelah berabad-abad tanpa pemeliharaan sejak masa Nabi Shith, anak laki-laki Nabi Adam. Fondasi itu telah menjadi tandus dan kehilangan jejak kehidupan. Akhirnya, Nabi Ibrahim dan Ismail memutuskan untuk membangun sebuah rumah di atas fondasi tersebut.
Ismail melaksanakan tugas membawa batu, sementara Ibrahim bertanggung jawab menyusunnya. Seiring tingginya tumpukan batu, Ismail membawa satu batu untuk diinjak oleh Ibrahim. Batu tersebut kemudian diabadikan sebagai “Maqam Ibrahim”. Ismail terus mengambil batu dan memberikannya kepada Ibrahim. Selanjutnya, Ibrahim menyusun batu-batu tersebut sambil berpijak pada batu yang disediakan oleh Nabi Ismail sebelumnya.
Ketika Nabi Ibrahim dan Ismail mencapai tahap akhir dalam mendirikan Baitullah, dengan hanya satu bagian yang belum tertutup, Nabi Ibrahim berkata kepada anaknya, “Hai anakku, ambillah sebuah batu yang menarik perhatian manusia.” Ismail pun memberikan sebuah batu, namun Ibrahim menjelaskan, “Bukan batu seperti ini yang aku maksud.” Ismail berusaha mencari batu-batu istimewa sesuai permintaan ayahnya.
Setelah Ismail menemukan batu yang dianggap istimewa, ternyata Nabi Ibrahim telah memasang sebuah batu di tempat tersebut tanpa sepengetahuan Ismail. Ismail heran dan bertanya, “Ayahku, siapa yang memberikan batu itu kepadamu?” Ibrahim menjawab, “Seorang Malaikat dari langit telah memberikan batu itu kepadaku.” Batu tersebut kemudian dikenal sebagai Hajar Aswad, yang ditempatkan tepat di sudut dekat pintu Ka’bah. Setelah selesai membangun Ka’bah, Allah SWT menurunkan Surat Al-Baqarah ayat 127-129.
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail membangun Baitullah dengan tinggi 9 (sembilan) hasta. Jarak dari Hajar Aswad ke Rukun Syami adalah 32 hasta, lebar dari Rukun Syami ke Rukun Gharbi 22 hasta, panjang dari Rukun Gharbi ke Rukun Yamani 31 hasta, dan lebar dari Rukun Yamani ke Hajar Aswad adalah 20 hasta. Dalam konteks ini, “Rukun” secara harfiah dapat diartikan sebagai sudut atau pojok.
Nabi Ibrahim menyusun pintu Ka’bah sejajar dengan tanah tanpa menggunakan daun pintu. Pintu Ka’bah kemudian dibuat oleh Tuba Al-Humairi, seorang penguasa dari Yaman, dan ditinggikan dari permukaan tanah. Selain struktur kubus Ka’bah, batu melingkar yang dikenal sebagai Hijir Ismail sudah ada sejak zaman Nabi Ibrahim, dan tidak memiliki rukun. Beberapa berpendapat bahwa Nabi Ibrahim membangun Baitullah ini pada usia 100 tahun. Wallahu a’lam.
Pembangunan Ka’bah Oleh Suku Arab
Setelah Nabi Ibrahim AS wafat, disampaikan bahwa Ka’bah mengalami kerusakan dan kemudian direkonstruksi oleh suku Amaliqah. Meskipun ada sedikit sumber yang mendukung kejadian tersebut, informasi yang cukup rinci mengenai struktur Ka’bah pada periode ini tidak dapat dijelaskan dengan pasti.
Imam Mawardi menjelaskan bahwa setelah didirikan oleh bangsa Amaliqah, Ka’bah kemudian mengalami dampak banjir besar dari daerah tinggi Mekah seiring berjalannya waktu. Banjir tersebut menyebabkan kerusakan pada dinding Ka’bah, meskipun struktur intinya tidak roboh. Suku Jurhum kemudian bertanggung jawab untuk merestorasi Ka’bah ke keadaan semula. Mereka memperbaiki dinding dan juga menambahkan struktur tambahan di sekitar Ka’bah sebagai langkah pencegahan untuk melindungi dari potensi banjir di masa mendatang.
Setelah masa pemerintahan Bangsa Jurhum berakhir, kepemilikan Ka’bah kemudian beralih ke tangan Qushay bin Kilab. Qushay, seorang tokoh terkemuka dari suku Quraisy, menjadi sosok yang pertama kali melibatkan diri dalam pembangunan atap Ka’bah. Ia menggunakan bahan kayu dum dan pelepah kurma untuk membangunnya. Setelah wafatnya Qushay, suku Quraisy mengambil tanggung jawab untuk merawat dan mengurus Ka’bah. Penting untuk dicatat bahwa suku Quraisy merupakan suku dan keluarga dari Nabi Muhammad SAW.
Ketika Nabi Muhammad SAW mencapai usia dewasa, sekitar 35 tahun, terjadi insiden di mana seorang wanita secara tidak sengaja menciptakan percikan api dari tungku, menyebabkan kebakaran di bangunan Ka’bah. Bangsa Quraisy kemudian merobohkan dan membangun kembali Ka’bah. Saat hendak meletakkan kembali Hajar Aswad, suku-suku kecil dari bangsa Quraisy terlibat dalam perselisihan karena masing-masing menganggap dirinya paling berhak untuk melaksanakan tugas tersebut. Karena ketidaksepakatan tidak dapat diatasi, mereka mengadakan musyawarah dan sepakat bahwa orang yang pertama kali memasuki Baitullah melalui pintu Bani Syaiba akan menjadi yang paling berhak meletakkan Hajar Aswad kembali di bangunan Ka’bah.
Pemenang sayembara tersebut adalah Muhammad (Rasulullah saw). Meskipun berhak meletakkan Hajar Aswad, beliau memilih untuk bekerja sama dengan semua suku Quraisy, sehingga setiap suku tetap merasa dihargai dan memiliki kewenangan yang sama.
Dari sini, Nabi Muhammad SAW diakui sebagai sosok yang bijaksana dan dapat diandalkan. Beliau segera menyebarkan kain yang dipegang oleh para pemimpin Suku Quraisy di semua ujungnya. Hajar Aswad ditempatkan di tengah-tengah kain dan dipindahkan bersama-sama. Setelah itu, Nabi Muhammad meletakkan Hajar Aswad kembali ke tempatnya semula.
Pada saat itu, Bangsa Quraisy mendirikan enam pilar di dalam Ka’bah dengan susunan dua baris. Atas saran Hudzaifah bin Mughirrah, pintu Ka’bah ditinggikan. Mughirrah berkeinginan agar struktur Ka’bah dilengkapi dengan tangga dan hanya diakses oleh individu yang disenangi. Jika ada seseorang yang tidak disenangi memasuki Ka’bah, masyarakat berhak melemparnya, sehingga Ka’bah tetap aman dan terjaga dari mereka yang tidak disenangi oleh Bangsa Quraisy. Sebagai hasil dari usulan ini, tinggi Ka’bah berubah dari 9 hasta menjadi 18 hasta.
Sejak zaman pembangunan oleh Suku Quraisy, struktur asli Ka’bah yang awalnya dibangun oleh Nabi Ibrahim telah mengalami penyempitan, mengubah bentuknya menjadi seperti yang dapat kita saksikan sekarang. Penyempitan ini terjadi khususnya di daerah Rukun Syami, menyebabkan Hijir Ismail tidak lagi terletak di dalam lingkaran Ka’bah, seakan-akan berada di luar bangunan utama. Informasi ini diperkuat oleh Hadits dari Nabi Muhammad SAW.
Siapa pun yang ingin menunaikan shalat di dalam Ka’bah, meskipun pintunya ditutup rapat, dapat melaksanakannya di dalam Hijir Ismail, sesuai dengan perintah Rasulullah SAW kepada Siti Aisyah.
Pasca Nabi Muhammad SAW
Pada masa Dinasti Yazid bin Mu’awiyah, Ka’bah mengalami kebakaran sekali lagi. Ketika musim haji tiba, Ka’bah belum direnovasi. Saat kaum muslimin berkumpul di sekitar Ka’bah, Abdullah bin Zubair memberikan pidato sambil meminta pendapat hadirin, “Bagaimana seharusnya kita mengatasi situasi Ka’bah ini?” Ibnu Abbas memberi gagasan supaya diruntuhkan dahulu dan dilakukan pembagunan kembali. Namun, Ibnu Zubair menentangnya dengan mengatakan, “Aku akan melakukan shalat istikharah.” Setelah melaksanakan shalat istikharah, Ka’bah akhirnya dirobohkan untuk direkonstruksi.
Ketika Ka’bah dibongkar, Ibnu Zubair melihat batu-batu merah yang asli, dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Ismail, berbentuk leher-leher unta. Selain itu, dalam proses penggalian, ditemukan sebuah kuburan yang diyakini sebagai kuburan Siti Hajar, ibunda Ismail.
Al-Azraqy juga melaporkan peristiwa luar biasa yang terjadi pada waktu tersebut. Abdullah bin Mu’thi Al-Adawi meletakkan tongkat yang dipegangnya di salah satu sudut Ka’bah, menyebabkan seluruh sudutnya bergerak dan dindingnya bergetar, meresahkan seluruh kota Mekah. Meskipun membuat masyarakat khawatir, Ibnu Zubair hanya berkata, “Perhatikanlah!” Setelah itu, ia membangun lagi Ka’bah di atas pondasi yang sudah ada sebelumnya, sambil menambah 2 pintu yang letaknya sejajar dengan permukaan tanah dan sejajar dengan pintu utama.
Ibnu Zubair akhirnya meningkatkan tinggi Ka’bah menjadi 27 hasta. Dindingnya tebal 2 hasta, dengan tiga tiang penyangga di dalamnya, tidak enam seperti yang dibuat oleh kaum Quraisy sebelumnya. Batu marmer dari Yaman diimpor oleh Ibnu Zubair, sementara ventilasi udara dan cahaya ditambahkan.
Dua pintu sepanjang 11 hasta dan sebuah tangga kayu untuk akses ke atap Ka’bah dibuat. Dindingnya diharumkan dengan za’faran dan dilapisi dengan kain (kiswah) yang dibuat oleh suku Qibthi (Mesir). Ibnu Zubair dikabarkan menghabiskan 100 unta untuk menyelesaikan proyek ini. Setelah selesai, Ibnu Zubair melakukan tawaf dan mengusap semua sudut bangunan Ka’bah yang baru. (HR Al Azraqy).
Pada sekitar tahun 1039 Hijriyah, hujan lebat melanda kota Mekah. Banjir besar di Masjidil Haram tidak dapat diatasi, bahkan menyebabkan runtuhnya dinding Rukun Syami. Atas perintah Sultan Murad Khan, Ka’bah kemudian direkonstruksi dan selesai pada tanggal 2 Dzulhijjah 1040 H. Proses pembangunan ini memakan waktu enam setengah bulan. Inilah pembangunan terakhir Ka’bah hingga mencapai bentuknya saat ini. Pintu Ka’bah dinaikkan, sementara Hijir Ismail tetap berada di luar struktur bangunan Kotak Ka’bah.
Itulah kisah dari perkembangan sejarah pembangunan Ka’bah dari zaman ke zaman, semoga bermanfaat dan menambah wawasan kita.
Baca juga : 7 Suku Besar Di Jazirah Arab Zaman Rasulullah SAW