Sejarah Singkat Perang Shiffin

Sejarah Singkat Perang Shiffin

Perang Shiffin merupakan peperangan yang pecah pada tanggal 7 bulan Safar di Shiffin antara sesama muslim. Perang ini terjadi disebabkan munculnya perbedaan selisih antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah. Berikut ini sejarah singkat perang Shiffin.

Kejadian terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan adalah sebuah kepedihan dalam sejarah Islam. Pembunuhan yang terjadi karena tidak puasnya separuh muslim ini sekalian mengidentifikasi pecahnya persatuan di antara kaum muslim yang sudah dirintis oleh Nabi Muhammad SAW. Hal tersebut ditandai dengan tidak adanya stabilitas politik sesudah meninggalnya Utsman.

Setelah wafatnya Utsman timbul sebuah perpecahan baru antara 2 pemuka kuat muslim yaitu Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Awal mula konflik tersebut karena ketidakmauan Muawiyah untuk menobatkan kepada Ali bin Abi Thalib dan hal inilah yang menjadikan meletusnya Perang Shiffin.

Latar Belakang Perang

Sesudah Perang Jamal dan Ali dilantik oleh mayoritas kelompok Anshar dan Muhajirin, Ali bin Abi Thalib menggeser kursi kekhalifannya dari kota Madinah ke Kufa. Dari Kufa dia menugaskan gubernur baru yang menyerap pemikirannya untuk menyabet alih fungsi administratif wilayah yang berkhianat. Namun salah satu dari gubernur tersebut menentang berbaiat kepadanya, mereka adalah gubernur Muawiyah bin Abu Sofyan dan Syam.

Muawiyah adalah politikus yang sangat piawai dan memiliki keinginan yang besar. Perilakunya yang sopan dan tidak segan-segan mengeluarkan hartanya, menjadikan ia politikus yang dihormati dan mempunyai banyak kolega.

Saat Ali mengirimkan utusan Jarir bin Abdullah untuk memberikan surat pada Muawiyah untuk berbaiat, Muawiyah tak langsung menerimanya. Dia malah mengumpulkan Amr bin al Ash dan pemuka negeri Syam untuk bermufakat.

Sesudah bermufakat mereka menetapkan untuk tidak menerima baiat kepada Ali sampai para pelaku pembunuhan Usman diadili atau Ali menyerahkan para pelaku tersebut. Bila dia tidak menyanggupi permohonan ini maka mereka akan melawan Ali dan tidak menerima pelantikan kepadanya sampai mereka mampu menghabisi semua pelaku pembunuh Utsman sampai ke akar-akarnya.

Sesudah itu Jarir pulang bertemu Ali dan mengisahkan kepastian Muawiyah dan warga Syam. Amirul mukminin Ali merespon gertakan Muawiyah dengan menuju Kufah bertujuan untuk menguasai Syam. Ia menyiapkan pasukan di Nukhailah dan sementara mengangkat Abu Mas’ud Uqbah bin Amru sebagai amr di Kufah.

Sebelum pergi beberapa orang menyarankan agar Khalifah tetap tinggal di Kufah dan hanya mengirim pasukannya saja, sementara yang lain menyarankan untuk ikut bersama pasukan.

Berita keberangkatan pasukan Ali tiba di depan Muawiyah, segera memicu diskusi antara Muawiyah dan Amr bin Ash. Amr memberi saran agar Muawiyah keluar bersama pasukannya. Lalu, Amr berpidato di depan penduduk Syam, menyampaikan bahwa mayoritas penduduk Kufah dan Bashrah tewas dalam perang Jamal dan hanya sedikit yang bersama Ali. Termasuk kelompok yang membunuh Khalifah Amirul Mukminin Utsman bin Affan. Amr memperingatkan penduduk untuk tidak menyia-nyiakan hak mereka dan memastikan bahwa darah Utsman tidak terbuang sia-sia.

Ia kemudian mengirim pesan ke seluruh pasukan di Syam, dan dalam waktu singkat, mereka sudah berkumpul dan membawa bendera untuk masing-masing pemimpin. Pasukan Syam siap untuk berangkat dan bergerak menuju Eufrat dari arah Shiffin. Sementara itu, Ali dan pasukannya bergerak dari Nukhlailah menuju Syam.

Baca juga : Perang Yarmuk Dan Latar Belakangnya

Meletusnya Perang Shiffin

Sejarah Singkat Perang Shiffin

Sejarah SIngkat Perang Shiffin. Pada bulan 657, kedua kubu bertemu di Shiffin, dekat hulu sungai Eufrat. Ada perselisihan soal sumber air, namun akhirnya kedua pihak sepakat damai. Mereka tidak saling berbicara saat berebut sumber air dan tidak mengganggu satu sama lain.

Ali dan Muawiyah diam selama 2 hari tanpa berkomunikasi, kemudian Ali mengirim utusan untuk bernegosiasi dengan Muawiyah. Namun, tidak ada kesepakatan yang tercapai karena Muawiyah masih meminta ganti darah untuk pembunuhan Utsman.

Ketika negosiasi terhenti, pertarungan tak dapat terelakkan antara kedua belah pihak. Ali meminta Muawiyah untuk bertanding satu lawan satu demi mengakhiri konflik mereka. Siapa yang bertahan hidup akan memenangkan pertarungan dan menjadi khalifah. Namun, Muawiyah menolak tawaran itu, hanya Amr yang setuju.

Ali dan Amr bertemu dan bertarung dengan lembing dan pedang masing-masing. Amr hampir terbunuh oleh pedang Ali, yang mengenai pinggang dan hampir memotong tali celananya. Ali memutuskan untuk tidak melanjutkan pertempuran dan berjalan pergi, membiarkan Amr menutup auratnya.

Lalu, perang besar baru dimulai. Awalnya, Muawiyah memimpin pertempuran, namun akhirnya terpaksa mundur setelah menerima serangan dari pasukan Ali. Bahkan, prajurit Ali berhasil sampai di depan tenda Muawiyah.

Pada pertempuran terakhir pada 28 Juli 657 M, pasukan Ali dipimpin oleh Malik al-Asytar hampir memenangkan pertempuran, namun Amr ibn al Ash mempergunakan siasat liciknya. Ia memerintahkan pasukan Muawiyah untuk melekatkan salinan al-Quran di ujung tombak mereka dan mengangkatnya, sebagai tanda untuk mengakhiri perang dan mengikuti keputusan al-Quran yang diterima oleh pasukan Ali.

Saat tombak pasukan Muawiyah dinaikkan, tentara Ali tidak menyerang lagi meskipun mereka hampir menang. Ali menganggap hal itu hanya trik musuh. Ia berteriak, “Wahai hamba Allah, terus dalam memerangi musuhmu, Muawiyah, Amr bin Ash, Ibnu bin Muith, Habib bin Muslimah, Ibnu Abi Sarah, dan Dhihak ibn Qais. Mereka bukanlah orang-orang religius, bukan pengamal Al-Quran. Aku lebih mengenal mereka, aku bersahabat dengan mereka sejak kecil hingga dewasa. Saat masih kecil mereka hanya anak nakal, saat dewasa mereka jahat. Mereka mengangkat Al-Quran hanya untuk memperdaya. Percayalah pada apa yang kukatakan.”

Banyak orang menjawab, “mereka tidak akan melanjutkan peperangan jika dipanggil oleh kitab Allah.”

Awalnya, Ali berencana melanjutkan perang, tetapi anggotanya tidak sepakat. Beberapa dari mereka sudah tidak ingin berperang lagi, sehingga Ali terpaksa harus menghentikan perang dengan sangat kecewa. Perang akhirnya berakhir dan konflik antara mereka dilanjutkan melalui jalur perundingan.

Perundingan Dimulai

Setelah perang berakhir, Ali mengirim Asy’ats ibnu Qaist untuk bertemu Muawiyah dan bertanya tentang alasan mengangkat Al-Quran di atas tombak. Muawiyah menjawab bahwa tujuannya adalah untuk memutuskan perkara ini sesuai dengan hukum Al-Quran. Keputusan yang dibuat oleh kedua pihak yang dikirim akan diterima. Asy’ats tidak menentang usulan Muawiyah dan kembali untuk memberitahukannya kepada Ali.

Sebelum Ali mengungkapkan pendapatnya dengan terburu-buru, banyak orang sudah menyetujuinya. Syam yang mendengar hal itu kemudian berkata bahwa perwakilan mereka adalah Amr bin Ash. Sementara pengikut Ali dari Irak menyatakan, “Kami memilih Abu Musa al-Asy’ari.”

Ali, mendengar pendapat orang, berkata: “Jangan membantah perintahku dari awal, sekarang. Aku tidak suka berbicara melalui Abu Musa.” Meskipun Abu Musa terkenal sebagai orang saleh, dia tidak setia kepada Ali.

Namun, Ali ditolak oleh mayoritas pengikutnya yang ingin menunjuk Abu Musa. Lagi-lagi, Ali terpaksa menurut. Saat itu, pengaruh Ali mulai melemah terhadap pengikutnya, sedangkan pengaruh Muawiyah semakin kuat pada pasukannya.

Juru runding Ali dan Muawiyah memegang dokumen kesepakatan yang memberikan hak penuh untuk mengambil keputusan. Keduanya memutuskan untuk menunda perundingan hingga saat Ramadhan dan menyetujui bahwa tempat perundingan akan diadakan di Daumatul Jandal, Adhruh.

Pada tahun 659 M (bulan Ramadhan), kedua kelompok berkumpul lagi di Daumatul Jandal, Adhruh, dengan membawa masing-masing 400 saksi.

Perundingan Yang Merugi

Apa yang pastinya terjadi pada permufakatan bersejarah ini sulit ditentukan. Ada banyak versi yang muncul dari sumber yang berbeda. Ada cerita yang menyebutkan kedua pihak sepakat untuk mengganti kedua pemimpin mereka, membuat jalan bagi calon baru. Namun, setelah Abu Musa berdiri dan memecat Ali dari jabatannya, Amr mengkhianatinya dan memilih Muawiyah sebagai khalifah.

Sejarah SIngkat Perang Shiffin. Sejarawan modern melakukan analisis kritis yang menunjukkan bahwa sejarah mencerminkan pandangan kelompok Irak saat masa Dinasti Abbasiyah, yang merupakan musuh Dinasti Umayyah. Kebanyakan rujukan sejarah berasal dari kelompok ini.

Kemungkinan yang sudah terjadi yaitu bahwa kedua juru bicara melengserkan kedua pimpinan mereka, sampai Ali menjadi kubu yang kalah, sebab Muawiyah tak mempunyai jabatan kekhalifahan yang musti diletakkan. Dia cuma seorang gubernur sebuah propinsi.

Hasil arbitrase membuat kedudukan sang arbiter setara dengan Ali, yang posisinya terkualifikasi menjadi pemimpin yang otoritasnya diragukan. Para arbitor memutuskan untuk mencopot Ali dari posisinya sebagai kepala negara yang sebenarnya, sedangkan Muawiyah dicopot dari jabatan kepala negara fiktif yang ia tuntut namun belum memiliki keberanian untuk menunjukkannya kepada publik.

Ali mengalami kerugian lain saat menerima tawaran arbitrase, yaitu turunnya dukungan dari sejumlah besar pendukungnya. Beberapa pendukung membelot dan membentuk sekte baru, bernama Khawarij. Kelompok ini akhirnya memusuhi Ali dan menyebabkan kematiannya saat dalam perjalanan menuju Masjid Kufah pada 24 Januari 661 M.

Demikianlah sejarah singkat Perang Shiffin, semoga bermanfaat dan menambah wawasan serta meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT.

Baca juga : Sejarah Perang Bani Nadhir

Shares
Butuh Bantuan ?