Sejarah Perkembangan Islam Di Benua Afrika

Sejarah Perkembangan Islam Di Benua AfrikaSejarah perkembangan Islam di benua Afrika berkaitan erat dengan perjalanan hijrah Rasulullah SAW pada awal periode kenabian. Pada waktu itu, Rasulullah memerintahkan para sahabatnya untuk hijrah ke Habasyah (Ethiopia). Usman bin Maz’un memimpin perjalanan hijrah ini dengan maksud menghindari persekusi dari kaum kafir dan sekaligus menyebarkan ajaran agama Islam. 

Pada tahun 640 M, Masuknya Islam ke Mesir terjadi setelah Amru bin Ash memimpin. Selanjutnya, agama Islam menyebar ke wilayah Barqah dan Tripoli pada masa kepemimpinan Khalifah Usman bin Affan. Kemudian, dakwah Islam terus berkembang pesat di bawah kepemimpinan Musa bin Nusair. 

Berdasarkan kutipan dari buku “Islam: The Key Concepts” yang ditulis oleh Oliver Leaman dan rekan-rekan, disebutkan bahwa penyebaran Islam ke benua Afrika dipengaruhi oleh ekspansi besar-besaran selama periode Kekhalifahan Rasyidin dan Dinasti Umayyah. Pertumbuhan agama Islam pada waktu itu sangat cepat, sehingga berdampak signifikan pada beberapa negara di Afrika, termasuk Mesir, Aljazair, dan Sudan. 

Sejarah perkembangan Islam di benua Afrika di beberapa negara diantaranya adalah sebagai berikut : 

1. Mesir 

Perkembangan Islam di Mesir dimulai melalui kedekatan Rasulullah SAW dengan Gubernur Mukaukis di wilayah tersebut, yang kemudian berlanjut hingga masa kepemimpinan Umar bin Khattab sebagai khalifah. 

Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, Mesir berhasil direbut oleh umat Islam dengan dukungan panglima Amru bin Ash. Amru bin Ash berhasil menaklukkan benteng Tondanisus di Ainun Syams dan mengendalikan seluruh wilayah Mesir. 

Kemudian, Amru bin Ash dan Mukaukis sepakat dalam sebuah perjanjian. Kesepakatan tersebut menetapkan bahwa Mesir akan menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Islam. Seiring berjalannya waktu, banyak penduduk Afrika yang mengakui agama Islam. 

Pada tahun 1952, Muhammad Najib mengumumkan pembentukan Republik Mesir setelah sebelumnya berstatus sebagai monarki. Ia menjabat sebagai presiden inaugural. Seiring berjalannya waktu, Jamal Abdul Nasser menggantikan Muhammad Najib dan memegang kekuasaan dari tahun 1953 hingga 1970. 

Pada tahun 1882, Mesir mengalami penjajahan oleh Inggris dan berhasil meraih kemerdekaannya pada tahun 1922. Pada tahun 1956, negara tersebut menghadapi konflik dengan tiga kekuatan, yakni Inggris, Prancis, dan Israel. Kemudian, Mesir mengumumkan kesatuannya dengan Suriah dalam periode 1958-1961 M. 

Sekarang, mayoritas penduduk di negeri ini memeluk agama Islam. Dengan jumlah total penduduk mencapai 58.630.000 orang, Mesir menempati peringkat ketujuh sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. 

Baca juga : Sejarah Perkembangan Islam Masa Dinasti Umayyah

2. Aljazair 

Selama perjalanan sejarahnya, Aljazair telah menjadi wilayah yang diperintah oleh kerajaan Islam. Dimulai dari masa Dinasti Umayah, Dinasti Abbasiyah, Khawarij, Dinasti Murabitun, hingga Dinasti al-Muwahhidun. Setelah itu, Aljazair jatuh di bawah kekuasaan Kesultanan Turki Usmani sejak tahun 1516 dan terus berlangsung hingga tahun 1830. 

Sejak masa penjajahan oleh Perancis pada sekitar tahun 1839-1847, muncul gerakan perlawanan yang dipimpin oleh seorang tokoh pejuang, yaitu Amir Abdul Qadir, dengan tujuan mengusir penjajah. Perjuangan tersebut akhirnya membuahkan hasil, dan Aljazair berhasil meraih kemerdekaannya pada tahun 1962 M, setelah mengalami penjajahan oleh Prancis selama 130 tahun. 

Ahmad bin Bella menjabat sebagai Presiden pertama sebelum digulingkan oleh Kolonel Hawari Baumidin pada periode 1965-1978. Setelah kematiannya, Syadzali bin Jadid menggantikannya dalam jabatan tersebut. 

Pada era tersebut, sebuah krisis politik terjadi, memicu penyelenggaraan pemilu pada tahun 1992. Partai FIS (Front Pembebasan Islam) berhasil meraih kemenangan dalam putaran pertama pemilu. Sayangnya, pihak militer menolak hasil pemilu, menyebabkan gejolak politik di negara tersebut. Akhirnya, pemilu ditunda dan krisis politik terus berlanjut. 

Mulai dari tahun 1980, Aljazair memasuki periode kebangkitan Islam yang dicirikan oleh peningkatan semangat kehidupan beragama. Pengakuan ini secara resmi diumumkan dalam kongres partai tunggal Aljazair, yaitu Front Pembebasan Nasional (The National Liberation Front), pada tanggal 27-31 Januari 1979. 

3. Sudan 

Kedatangan Islam ke Sudan dimulai setelah penaklukan Mesir oleh Amru bin Ash. Dia mengutus Abdullah bin Saad bin Abi Sarah untuk menyebarkan agama ini di wilayah selatan tersebut. 

Pada tahun 31 Hijriah, Abdullah bin Sa’ad sampai di Dungalah. Setelah itu, kabilah Arab ini memulai perjalanan mereka menuju Sudan sekitar tahun 750 Masehi. 

 Sebanyak 1000 individu dari kelompok Bani Umayyah melarikan diri ke Sudan ketika Bani Abbasiyah menyerang penguasa Bani Umayyah. Pada abad ke-2 Hijriyah, umat Islam berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan Nasrani di Sudan, termasuk Kesultanan az-Zarqa dan Kerajaan Fuwang yang berpusat di Sinar. 

Kerajaan Islam terbesar yang pernah berdiri di Sudan adalah Kesultanan ini. Selain itu, terdapat Kerajaan Fauri yang pusat pemerintahannya berada di Tarah. 

Setelah runtuhnya Kesultanan az-Zarqa pada masa pemerintahan Muhammad Ali Pasha, Mesir berhasil menguasai Sudan sekitar tahun 1821. Meskipun demikian, kekuasaan mereka tetap berlanjut hingga berdirinya pemerintahan Mahdiyah di bawah kepemimpinan Muhammad Ahmad al-Mahdi. 

Sejarah perkembangan Islam di Sudan dimulai sejak negara ini meraih kemerdekaannya pada tahun 1956 di bawah kepemimpinan Ismail Azhari. Setelah terjadi kudeta militer, kepemimpinan Sudan beralih kepada Fariq Ibrahim Abboud. 

Kemajuan Islam Di Afrika 

Setelah tersebarnya Islam dan perkembangannya di wilayah Afrika, penguasa Muslim di sana memutuskan untuk menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi. Bahasa Arab diadoptasi sebagai sarana komunikasi lintas suku dan bangsa, serta sebagai bahasa pengantar di institusi pendidikan. 

Penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa resmi di Afrika menjadi landasan bagi kemajuan Islam di wilayah tersebut. Sejak saat itu, perjuangan Islam tidak hanya dilakukan dengan senjata, tetapi juga melibatkan penggunaan bahasa dan pengetahuan. 

Dalam ranah administrasi, keberadaan Islam di Afrika memberikan kontribusi signifikan terhadap sistem pemerintahan. Contohnya dapat dilihat pada Dinasti Fatimiyah, di mana mereka mengadopsi istilah khalifah sebagai pemimpin dalam urusan pemerintahan dan agama. 

Dalam struktur pemerintahan, khalifah memegang peranan penting dalam menunjuk dan memberhentikan pejabat di tingkat bawahnya. Dalam lingkup jabatan pendukung khalifah, seperti di kementerian negara, terdapat dua kelompok utama, yaitu kelompok ahli militer dan ahli keilmuan. 

Pejabat yang memiliki keahlian dalam bidang militer menempati posisi keamanan dan sebagai pengawal pemerintahan khalifah. Sementara itu, pejabat yang ahli dalam bidang keilmuan menempati jabatan di berbagai sektor, termasuk hukum, pendidikan, lembaga ilmu pengetahuan, ekonomi dan perdagangan, keuangan, urusan rumah tangga istana, dan urusan agama. 

Di samping itu, terdapat elemen yang menjadi sangat signifikan dalam kemajuan peradaban Islam di Afrika, yaitu pentingnya sikap toleransi terhadap beragama. Saat menaklukkan wilayah di Afrika, pasukan Islam tidak mengimpose kepercayaan Islam kepada penguasa setempat, kecuali jika mereka secara sukarela memilihnya. 

Kemudian, mereka diberi izin untuk menjalankan pemerintahan otonom dengan tanggung jawab membayar pajak perlindungan atau Jizyah kepada khalifah. Warga Afrika yang menganut agama selain Islam juga mendapatkan jaminan perlindungan terkait hak kebebasannya dari khalifah. 

Perkembangan Ilmu Pengetahuan Setelah Masuknya Islam 

Kedatangan Islam ke Afrika tidak hanya mendorong kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, tetapi juga memberikan kontribusi gemilang dalam pembangunan peradaban. Pengaruh agama Islam juga turut mendorong perkembangan arsitektur dan bangunan di benua Afrika. 

Pertumbuhan pengetahuan di Afrika terlihat melalui perkembangan Kota Kairo di Mesir selama Dinasti Fatimiyah. Pemerintah Dinasti Fatimiyah berhasil mengubah Kota Kairo menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan kecerdasan Islam. 

 Salah satu warisan yang bertahan dari Dinasti Fatimiyah hingga saat ini adalah Universitas Al-Azhar di Kairo. Dinasti Fatimiyah, yang berkuasa di Mesir dari tahun 909 hingga 1171, menonjol sebagai pemerintahan yang sangat memprioritaskan kemajuan keilmuan. 

Pemerintah Fatimiyah bahkan mendirikan beberapa lembaga pendidikan dan memberikan subsidi besar setiap bulannya untuk mendukung pengembangan keilmuan. Selain itu, kemajuan dalam ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Fatimiyah di Afrika berhasil menciptakan beberapa ilmuwan Muslim. 

Beberapa cendekiawan tersebut mencakup Muhammad Al-Tamim (fisikawan), Al-Kindi (sejarawan), Ali bin Yunus (ahli astronomi), dan Ali Al-Hasanbin Al-Khaitani (ahli optik). Selain Dinasti Fatimiyah, kerajaan Islam di Afrika seperti Dinasti Muwahidun dan Dinasti Murabithun juga memberikan perhatian besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Meskipun demikian, kemajuan di Afrika kemudian mengalami penurunan seiring kedatangan bangsa Barat yang kemudian menjajah negara-negara di wilayah tersebut.  

Itulah sejarah perkembangan Islam di benua Afrika, semoga bermanfaat. 

Baca juga : Sejarah Islam Masa Dinasti Bani Abbasiyah

Sejarah Perkembangan Islam Masa Dinasti Umayyah

Sejarah Perkembangan Islam Masa Dinasti UmayyahDinasti Bani Umayyah adalah salah satu dari beberapa dinasti yang sangat mempengaruhi perkembangan peradaban Islam. Keberadaan kesultanan ini dimulai setelah peristiwa penyelesaian konflik dalam Perang Siffin yang melibatkan Ali bin Abi Thalib. Dalam artikel berikut ini akan diulas sejarah perkembangan Islam masa Dinasti Umayyah. 

Pemerintahan Islam setelah Khulafaurrasyidin berakhir ditandai oleh periode Bani Umayah. Di masa ini, peradaban Islam mencapai puncaknya di Damaskus, menandai sebuah zaman keemasan dalam sejarah perkembangannya. 

Pendiri Dinasti Umayyah 

Dinasti Bani Umayyah berdiri pada tahun 41 H atau 661 M, dan pendirinya adalah Muawiyyah bin Abi Sufyan, yang dikenal dengan julukan Abu Abdurrahman dan Al Quraisy Al Umawi Al Makki. 

Dia adalah seorang pria bertubuh tinggi dengan kulit yang putih, menarik, dan memiliki aura yang mengesankan. Khalifah Umar bin Khattab juga menggambarkan penampilan Muawiyyah sebagai seseorang yang memiliki gaya seperti seorang raja dan sangat memperhatikan kebersihan. Ini bisa dimengerti karena Muawiyyah berasal dari keluarga terhormat di Mekkah. 

Muawiyyah adalah anak dari Abu Sufyan dan Hindun binti Utbah. Mereka awalnya menentang ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah. Muawiyyah lahir di Khaif, Mina sekitar 15 tahun sebelum hijrah. Keluarganya baru memeluk Islam setelah peristiwa pembebasan Mekkah oleh Rasulullah pada tahun 630 M. 

Baca juga : Sejarah Islam Masa Dinasti Bani Abbasiyah

Setelah memeluk agama Islam, Rasulullah memilih Muawiyah sebagai salah satu penulis wahyu, sejalan dengan interaksi Rasulullah dengan Malaikat Jibril, meskipun sebelumnya Muawiyyah adalah lawan keras Rasulullah. 

Rasulullah begitu lembut hatinya terhadap orang-orang yang bertaubat dan berhijrah ke dalam agama Islam. Catatan sejarah mencatat bahwa Muawiyah menjadi penulis wahyu selama hidup Rasulullah SAW hingga beliau wafat pada tahun 632 M. Selain itu, ia juga dipercayai sebagai komandan militer Islam di bawah pimpinan Abu Ubaidah bin Jarrah dalam peperangan. 

Sebelum Dinasti Umayyah berdiri, Muawiyyah menjabat sebagai gubernur Syam saat pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan. Keahliannya dalam kepemimpinan memungkinkannya menyatukan semua wilayah di negeri Syam. 

Muawiyyah memperkuat kedudukannya melalui kekuatan militer yang tangguh. Dia mengalokasikan banyak sumber daya untuk mengumpulkan individu-individu berpotensi di bidang militer. Selain itu, dia mendorong Umar untuk membentuk angkatan laut, namun usulannya ditolak oleh Umar. 

Pada masa pemerintahan Khalifah Utsman, baru lah angkatan laut dibentuk mengikuti saran dari Muawiyyah. Muawiyyah diakui sebagai pemimpin yang terampil dalam pertempuran, dan keahliannya telah diakui oleh Rasulullah SAW. 

Pada tahun 680 M, Muawiyyah meninggal setelah memimpin dan memberikan kontribusi selama sekitar 20 tahun dalam dinasti Umayyah. Wafatnya disebabkan oleh penyakit yang telah lama menghampirinya saat usianya mencapai 80 tahun, dan jasadnya dikebumikan di Babus Shaghir, Damaskus. 

Masa Kejayaan Dinasti Umayyah 

Sejarah Perkembangan Islam Masa Dinasti UmayyahDinasti Umayyah telah memberikan banyak kontribusi dalam kemajuan Islam. Setelah masa pemerintahan khulafaur rasyidin berakhir pada tahun 41 H atau 661 M, Dinasti Umayyah mengambil alih kepemimpinan umat Islam. Perluasan wilayah Islam, pembangunan, serta kemajuan dalam ilmu pengetahuan menjadi bukti kejayaan dinasti ini. 

Beberapa dari khalifah dalam dinasti ini memiliki pencapaian sejarah yang mencolok. Setidaknya ada empat khalifah terkemuka yang diakui: Muawiyah bin Abu Sufyan, yang menjadi pendiri dinasti, Abdul Malik bin Marwan, Al-Walid bin Abdul Malik, dan Umar bin Abdul Aziz. Kami telah mengumpulkan berbagai kemajuan yang mereka capai dari catatan sejarah. 

  1. Muawiyah bin Abu Sufyan

Muawiyah I, sebagai pendiri dinasti Umayyah, memerintah dari tahun 41 Hingga 60 H (661-680 M). Dia terkenal atas sejumlah kebijakan penting yang diimplementasikan selama masa pemerintahannya. 

  • Ibu kota negara yang dulunya berada di Kota Kufah, Irak, dipindahkan ke Damaskus, Suriah. 
  • Mengubah sistem dari kekhalifahan Khulafaur Rasyidin, yang menetapkan khalifah melalui musyawarah umat Islam, menjadi sistem monarki yang mewariskan kepemimpinan berdasarkan garis keturunan. 
  • Membuat alat untuk melakukan pembayaran atau uang. 
  • Mendirikan layanan pos untuk mengirim barang, lengkap dengan petugas khusus di setiap pos dan kuda-kuda sebagai sarana transportasi di lokasi tertentu. 
  • Harta yang dimiliki oleh rakyat dialihkan menjadi kepemilikan Allah untuk kemudian digunakan demi kepentingan negara dan seluruh rakyat. 
  • Memberi kesempatan kepada ahli Nasrani untuk berkontribusi dalam proyek-proyek ekonomi, ilmu pengetahuan, dan farmasi adalah konsep yang sebelumnya ditolak pada masa Khalifah Umar bin Khattab karena kehati-hatian. 
  • Mendirikan lembaga intelijen militer guna mengawasi kekuatan militer negara-negara lain. 
  • Menetapkan jabatan dinas pencatatan sipil untuk mempermudah koordinasi urusan sipil negara. 
  1. Abdul Malik bin Marwan

Abdul Malik bin Marwan, sebagai khalifah kelima dari dinasti Umayyah, memegang pimpinan dari tahun 65-86 H / 684-705 M. Dia mencatat sejumlah pencapaian penting selama kepemimpinannya, antara lain: 

  • Membuat uang dengan tulisan dalam bahasa Arab sendiri adalah langkah yang diambil untuk menggantikan mata uang yang sebelumnya dicetak oleh Kekaisaran Romawi dan Kekaisaran Persia di wilayah yang telah dikuasai oleh Islam. 
  • Mendirikan fasilitas pembuatan kapal di Tunisia guna memperkuat kehadiran militer di laut. 
  • Mengatur Mahkamah Khusus untuk menangani pelanggaran yang dilakukan oleh pegawai pemerintah dan pembantu kerajaan. 
  • Meningkatkan kinerja dinas pos dengan menambah frekuensi ekspedisi pos agar sistemnya lebih terstruktur dan dapat dipercaya. 
  • Membangun struktur yang megah dan indah di dalam wilayah negara. 
  1. Al Walid bin Abdul Malik

Al Walid bin Abdul Malik, yang menjabat sebagai khalifah keenam, dikenal sebagai Al Walid I. Periode pemerintahannya dari tahun 86-96 H / 705-714 M menandai masa keemasan bagi dinasti Umayyah. Di bawah kepemimpinannya, dinasti Umayyah mencapai puncak kejayaannya. 

Dia telah melakukan inovasi yang memungkinkannya membawa dinastinya meraih kesuksesan puncak, yaitu sebagai berikut : 

  • Menghadirkan pengajar untuk anak-anak yatim. 
  • Di masa pemerintahan ini, perhatian khusus diberikan kepada orang tua yang tak memiliki teman hidup, anak yatim piatu, serta para musafir. Ini berkat upaya Al Walid I dalam mendirikan panti jompo, panti asuhan, dan rumah singgah. 
  • Panti-panti khusus telah disediakan bagi para penyandang disabilitas agar mereka dapat mengembangkan potensi mereka meskipun menghadapi keterbatasan. 
  • Telaga khusus dibangun untuk para musafir agar tidak mengalami kehausan. 
  • Subsidi tetap diberikan kepada para penghafal Al-Quran, ulama, fakir miskin, dan individu-individu yang lemah. 
  •  Memberikan pendamping kepada orang dengan kebutaan untuk mengarahkan mereka. 
  • Pada masa pemerintahan Al Walid I, seleksi pegawai kerajaan dilakukan dengan cermat. Hanya individu yang cerdas, berpengetahuan, dan memiliki integritas yang dapat diterima. 
  •  Mendirikan pabrik-pabrik dan bangunan-bangunan pemerintahan. 
  • Mendirikan fasilitas kesehatan khusus untuk pasien yang menderita penyakit kusta. 
  • Mendirikan fasilitas kesehatan, berupa rumah sakit dan klinik, yang menyediakan pelayanan gratis bagi masyarakat yang membutuhkan perawatan medis. 
  • Memperbaharui Masjid Nabi di Madinah dan Masjid Al Aqsa di Palestina. 
  • Jalan-jalan telah diperbaharui dan dilengkapi dengan marka, sehingga pengguna jalan dapat lebih mudah menggunakan jalan tersebut. 
  1. Umar bin Abdul Aziz

Khalifah Umar bin Abdul Aziz diberi gelar Umar II karena ia memiliki hubungan keluarga dengan Khalifah Umar bin Khattab melalui garis keturunannya. Secara khusus, dari pihak ibunya, Umar bin Abdul Aziz adalah cucu dari sahabat utama Nabi Muhammad SAW tersebut. 

Tidak hanya memiliki hubungan keluarga yang dekat, kesalehan Umar bin Abdul Aziz juga tidak terlalu berbeda dengan predekatornya. Dia sangat berhati-hati terhadap godaan dunia, sangat memperhatikan penyebaran dakwah Islam, menunjukkan kelembutan terhadap orang-orang yang lemah, menunjukkan ketegasan terhadap segala bentuk kecurangan, dan memiliki semangat tinggi dalam memperdalam pengetahuan agama. Karena faktor-faktor inilah, derajatnya meningkat di mata Allah, membuat namanya dikenal sebagai tokoh yang terhormat, meskipun masa kejayaan dinasti Umayyah tidak terjadi pada masa pemerintahannya. 

Sebelum diangkat sebagai khalifah, ia sudah dikenal sebagai seorang ulama dan ahli ilmu. Rakyat dan pemimpin Islam telah menyayanginya sejak sebelum ia memegang kendali pemerintahan. Oleh karena itu, ketika pengumuman tersebut tersebar ke seluruh penjuru negeri, suasana kegembiraan melanda semua, kecuali para pejabat yang terlibat dalam praktik korupsi. 

Banyak tindakan yang telah dilakukannya untuk kepentingan Islam dan keluarganya. Beberapa di antaranya : 

  • Mengembalikan aset kepada pemiliknya tidak diakui selama masa berdirinya dinasti, di mana kepemilikan harta pribadi tidak diakui. 
  • Penganut Islam meningkat dengan cepat tanpa perlu terlibat dalam banyak invasi ke negara lain, melainkan lebih banyak mengandalkan upaya diplomasi. 
  • Penegakan hukuman harus dilakukan oleh khalifah. 
  • Mengatasi kemiskinan secara instan sehingga tidak ada warga Madinah yang memenuhi syarat untuk menerima zakat. 
  • Mengirimkan pendakwah ke seluruh penjuru negeri. 

Selain mencatat lima poin yang telah disebutkan, Umar bin Abdul Aziz juga meraih berbagai prestasi lainnya. Keadaan negara saat itu benar-benar sejahtera. Sayangnya, kepemimpinannya hanya berlangsung selama tiga tahun karena Allah memanggilnya untuk kembali ke hadirat rahmat-Nya. 

Dia meninggal karena diracun oleh seorang pembantu kerajaan. Tetapi setelah tertangkap, ia memutuskan untuk membebaskan pembantu tersebut dan memberinya perintah untuk mengasingkan diri, menghindari hukuman dari negara. Meskipun meninggalkan keluarganya dengan sedikit harta, ia merasa tidak berhak mempertahankan kekayaan tersebut. 

Demikianlah sejarah perkembangan Islam masa Dinasti Umayyah, semoga menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang sejarah Islam di masa lampau. 

Baca juga : Mengenal Kota tua Al Balad Jeddah Arab Saudi

Sejarah Islam Masa Dinasti Bani Abbasiyah

Sejarah Islam Masa Dinasti Bani AbbasiyahSetelah Rasulullah dan para sahabat tiada lagi, agama Islam tumbuh di bawah pengawasan khilafah dari Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Peran vital dari kedua kekhalifahan ini masih terasa dalam peradaban Islam hingga kini. Berikut ini diulas sejarah Islam masa Dinasti Bani Abbasiyah. 

Dinasti merujuk pada garis keturunan raja-raja yang menguasai pemerintahan serta meneruskan kekuasaan kepada satu garis keturunan keluarga. Dalam konteks Dinasti Abbasiyah, ini mengacu pada kekuasaan yang dipegang dan dilanjutkan oleh keturunan raja-raja dari Bani Abbasiyah. 

Bani Abbasiyah ialah sekelompok individu yang memiliki silsilah keturunan dari Nabi Muhammad melalui jalur paman Nabi yang dikenal sebagai Al-Abbas bin Abdul Muththalib ibn Hasyim. Mereka membentuk sebuah khilafah dan mengambil alih kekuasaan setelah Dinasti Umayyah runtuh pada tahun 750 Masehi. 

Pada kepemimpinan Abu al-Abbas berakhir singkat. Lima tahun setelah naik tahta sebagai khalifah pada usia 33 tahun, ia meninggal akibat penyakitnya. Al-Mansur, saudaranya, kemudian mengambil alih kekuasaan. Keturunan al-Mansur kemudian meneruskan pemerintahan Daulah Abbasiyah selama lima abad berikutnya. 

Pada catatan sejarah Islam, dinasti ini dikenal karena melahirkan sejumlah ilmuwan cerdas yang terkenal di seluruh dunia. Era Dinasti Bani Abbasiyah menjadi awal berkembangnya ilmu pengetahuan dan pendidikan secara cepat. Oleh karena itu, dinasti ini diingat sebagai pelopor yang memainkan peran utama dalam kemajuan peradaban Islam. 

Bagaimana evolusi Dinasti Bani Abbasiyah? Untuk memahaminya lebih baik, mari kita telusuri penjelasannya. 

Perkembangan Dinasti Bani Abbasiyah 

Dinasti Bani Abbasiyah memiliki rentang kekuasaan yang cukup panjang, mulai dari tahun 750 hingga 1258 Masehi. Masa keemasan dinasti ini terjadi saat pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan kemudian putranya, al-Ma’mun (813-833 M). 

Dinasti Bani Abbasiyah merupakan salah satu dinasti utama yang memimpin kekhalifahan Islam setelah masa Khulafaur Rasyidin. Dalam mengelola pemerintahan, Daulah Abbasiyah atau Bani Abbasiyah menetapkan Baghdad sebagai pusat pemerintahan mereka. 

Menurut Edianto dalam jurnalnya yang berjudul “Bani Abbasiyah (Pembentukan, Perkembangan, dan Kemajuan),” sejarawan mengelompokkan evolusi Dinasti Bani Abbasiyah ke dalam lima fase yang berbeda. 

Baca juga : Mengenal Kota Tua Al Balad Jeddah Arab Saudi

1. Pada Masa Pengaruh Persia

Dinasti Bani Abbasiyah mengalami perkembangan pesat dan puncak kejayaannya terjadi pada periode awal. Kekuasaan dari Abu Abbas hingga Al-Watsiq pada tahun 750-847 Masehi menjadi masa gemilang bagi dinasti ini. Berbagai bidang ilmu berkembang dengan cepat, menjadi landasan penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang. 

Pada masa ini, perkembangan ilmu pengetahuan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu ilmu keislaman dengan cabangnya seperti ilmu        kalam,  fikih, tasawuf, dan hadis. Di sisi lain, ilmu umum pada periode tersebut mencakup bidang yang luas seperti astronomi, kedokteran, matematika, dan ilmu-ilmu sosial. 

Sejarawan menyatakan bahwa pada awal Daulah Abbasiyah, terutama pada masa pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid dan al-Makmun, merupakan zaman keemasan bagi dunia Islam. Periode ini dicirikan oleh perkembangan pesat ilmu pengetahuan di dalam dunia Islam, dengan munculnya pusat-pusat intelektual seperti madrasah, perpustakaan, observatorium, dan halaqah yang tersebar luas di berbagai wilayah. 

Bermunculnya karya-karya tulis dalam berbagai bidang ilmu telah mempengaruhi kemajuan peradaban Islam pada masa itu. Di saat jalanan Eropa masih gelap dan berlumpur karena gerimis, kota Baghdad dan pusat-pusat besar Islam sudah terang benderang dan teratur. Sementara para bangsawan Eropa masih belajar cara menuliskan namanya, ilmuwan Muslim telah menciptakan ribuan karya dalam beragam disiplin ilmu pengetahuan. 

Dinasti ini mengalami kemajuan karena beberapa faktor, seperti adanya asimilasi di dalam Dinasti Bani Abbasiyah. Selain itu, partisipasi aktif orang-orang non-Arab, terutama dari bangsa Persia, juga turut memengaruhi perkembangan dinasti ini. Selanjutnya, fokus dinasti pada pembangunan peradaban Islam juga menjadi salah satu faktor penting dalam kemajuannya. 

2. Pada Masa Pengaruh Turki 

Pada periode kedua, Dinasti Bani Abbasiyah mengalami kemunduran yang berbeda dengan periode pertamanya. Periode ini terjadi dari tahun 847 hingga 945 Masehi. 

Pada masa pemerintahan Al-Mutawakkil, kekhalifahan yang dipimpinnya sangat rentan dalam menjalankan tugas pemerintahan. Keadaan ini dimanfaatkan oleh orang-orang Turki pada zaman Al-Mu’tashim untuk merebut kendali kekuasaan. 

Ketidakstabilan politik yang muncul dari persaingan kekuasaan ini mengakibatkan kemunduran Dinasti Bani Abbasiyah. Akan tetapi, upaya untuk menyelesaikan kekacauan tersebut berhasil sehingga tidak ada lagi pertarungan kekuasaan di antara khalifah. 

3. Pada Masa Pengaruh Dinasti Buwaihi 

Dari tahun 945 hingga 1055 Masehi, berlangsungnya periode ketiga. Dinasti Bani Abbasiyah mengalami kemunduran signifikan selama masa ini, terutama karena dominasi Dinasti Buwaihi dalam kekhalifahan mereka. Hal ini memunculkan sejumlah masalah politik yang mengguncang stabilitas dinasti, bahkan menyebabkan pemindahan pusat pemerintahan dari Baghdad ke Syiraz, di mana Khalifah Ali bin Buwaihi memerintah. 

Walaupun suasana politik pada masa itu cenderung kacau, Dinasti Bani Abbasiyah tetap berpegang pada pengembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan peradaban Islam. Periode tersebut menjadi ladang subur bagi kelahiran banyak ilmuwan terkenal seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Maskawaih. 

4. Pada Masa Pengaruh Dinasti Seljuk 

Mulai dari tahun 1055 hingga 1199 Masehi, periode keempat ditandai oleh redupnya pengaruh Dinasti Buwaihi yang kemudian digantikan oleh dominasi Bani Seljuk. 

Pemahaman terhadap aliran Syiah yang dibawa oleh Bani Buwaihi mulai redup. Namun, dominasi Bani Seljuk dalam Dinasti Bani Abbasiyah tidak berumur panjang. Konflik internal meletus, mengakibatkan Dinasti Bani Abbasiyah merdeka dari campur tangan dinasti lainnya. 

5. Periode Terbebas dari Dinasti-dinasti lain 

Pada periode ini, kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah berakhir, berlangsung dari tahun 1199 hingga 1258 Masehi. Di fase ini, Dinasti Bani Abbasiyah akhirnya membebaskan diri dari pengaruh dinasti-dinasti lainnya. 

Meski begitu, keluarga penguasa ini terus merasakan penurunan. Kemunduran Dinasti Bani Abbasiyah semakin dipersulit oleh berhentinya perluasan wilayah dan semakin kacau kondisi politik. 

Pada tahun 1258 Masehi, dinasti ini jatuh dan memberikan dampak yang besar bagi umat Islam, seperti kehilangan ilmuwan terkemuka, pengetahuan modern, serta warisan bangunan bersejarah yang penting. 

Itulah sejarah Islam masa Dinasti Bani Abbasiyah yang mencapai masa keemasan dan masa puncaknya sebagai pelopor kemajuan ilmu pengetahuan, namun sayangnya saat ini justru saat ini kemajuan teknologi bersumber dari negara-negara barat. 

Baca juga : 11 Manfaat Wudhu Untuk Kesehatan

Mengenal Kota Tua Al Balad Jeddah Arab Saudi

Mengenal Kota Tua Al Balad Jeddah Arab SaudiJeddah tidaklah asing bagi mereka yang telah menjalani ibadah haji atau umrah, karena kota ini merupakan pintu gerbang menuju Tanah Suci. Namun, tidak banyak yang menyadari bahwa Jeddah juga memiliki sejarah yang kuat dalam perkembangan Islam. Mari kita mengenal kota tua Al Balad Jeddah Arab Saudi lebih dekat. 

Di tepi Laut Merah, Jeddah adalah kota pelabuhan dengan sejarah yang kaya. Al Balad Historical District adalah bukti nyata dari warisan kuno yang masih terpelihara dengan baik hari ini. 

Al Balad, seperti yang dilaporkan oleh Lonely Planet, tetap setia pada keasliannya di tengan perubahan yang melanda kota-kota lain. Meskipun zaman telah berlalu, wilayah ini mempertahankan jejak masa pra-Islam saat suku-suku nelayan pertama kali menetap di sini secara bertahap. 

Al Balad berarti “kota” dalam bahasa Arab. Istilah ini juga mengacu pada Kota Tua Jeddah yang dahulu menjadi simbol kejayaan perdagangan lintas negara di dunia Islam. Daerah ini dulu menjadi pusat utama Jeddah. 

Sejarah Kota Tua Al Balad 

Pada masa kekhalifahan Islam abad ke-7, kota tua ini tumbuh dan berkembang. Al Balad didirikan sebagai pelabuhan untuk menyambut peziarah ke kota suci dan sebagai jalur lintasan Samudera Hindia dari abad ke-16 hingga 20. 

Dengan posisinya yang strategis, Al Balad tumbuh menjadi jalur perdagangan ramai antara Yaman dan Eropa. Pada masa itu, Al Balad sungguh menjadi pusat aktivitas yang sibuk dan bersemangat, dihuni oleh pedagang-pedagang dari berbagai negara. Oleh karena itu, tak heran jika Al Balad dianggap sebagai pusat Kota Jeddah yang berdenyut. 

Dari zaman awal kekhalifahan Islam, Al Balad telah menjadi tempat yang ramai dikunjungi oleh jutaan peziarah yang melakukan perjalanan melintasi Samudera Hindia menuju kota suci Makkah. Mayoritas dari mereka berasal dari Afrika Utara, Asia Selatan dan Tengah. 

Baca juga : 11 Manfaat Wudhu Untuk Kesehatan

Al Balad, berjarak 75 kilometer (47 mil) dari kota suci Makkah, menjadi tempat berkumpul umat Islam dari segala penjuru dunia. Karena hal itu, Al Balad disebut sebagai pintu gerbang menuju Makkah. Selain itu, kawasan yang juga dikenal sebagai Old Jeddah ini bukan hanya sebuah gerbang sejarah, namun telah menjadi destinasi populer di Jeddah. 

Di awal abad ke-16, ketika Kesultanan Turki Utsmani mulai berkuasa, Jeddah menghadapi tekanan dari berbagai pihak, termasuk serangan yang terus menerus dilancarkan oleh penjajah Portugis. Pada tahun 1516, armada Portugis berhasil memasuki Jeddah, namun berkat keberanian pasukan Turki Utsmani di bawah pimpinan Suleiman Basha, serangan tersebut berhasil dihalau. 

Pada tahun 1517, Kekaisaran Utsmani berhasil menundukkan Dinasti Mamluk dan menguasai Makkah serta Jeddah. Pasca pengambilalihan tersebut, mereka mendirikan sebuah struktur pertahanan di Jeddah yang terdiri dari dinding kokoh. Dinding pertahanan ini dirancang untuk menghalangi serangan Portugis dan dilengkapi dengan enam menara pengawas serta enam gerbang kota. 

Di zaman lampau, tembok itu disiapkan dengan benteng, menara dan meriam untuk menolak kapal-kapal yang menyerang kawasan itu. Namun, pada abad ke-19, tembok yang sebelumnya memiliki enam gerbang itu direnovasi menjadi hanya empat gerbang besar dengan penambahan empat menara. 

Gerbang-gerbang ini berperan sebagai pintu masuk ke wilayah lain: Gerbang utara menuju Syam, gerbang timur menuju Makkah, gerbang selatan menuju Sharif dan gerbang yang menghadap laut menuju al-Magharibah. 

Setelah Kekaisaran Utsmani jatuh pada tahun 1915, sebagian dari tembok Jeddah juga diruntuhkan. Meskipun tembok tersebut hancur, sejarah Kota Jeddah yang telah berlangsung selama berabad-abad tetap tidak terhapus. Salah satu gerbang utamanya, yang disebut “Bab Makkah”, masih digunakan hingga saat ini sebagai akses menuju Makkah. 

Kawasan Al Balad Sekarang 

Di saat ini, Al Balad telah menjadi terkenal sebagai tempat di mana orang dapat mencari beragam produk, termasuk oleh-oleh haji. Pasar dan pusat perbelanjaan di Balad menjadi destinasi favorit bagi para wisatawan serta jemaah haji atau umrah. 

Di kota tua Al Balad ini terdapat sejumlah monumen, bangunan berseharah, pasar tradisional, alun-alun dan masjid yang menjadi ciri khasnya. Salah satu contohnya adalah Masjid al-Syafi’i atau dikenal sebagai Masjid Syafi’i, yang telah berdiri sejak zaman kekhalifahan Islam yang ketiga di Jeddah. Masjid ini diakui sebagai masjid tertua yang ada di Al Balad. 

Bangunan masjid ini dibuat sesuai gaya tradisional Fatmid yang berasal dari masa 970-1171 M. Di sekitarnya, terdapat kaligrafi Islam yang menghiasi dinding masjid. Di Al Balad, Souk Al-Nada juga dikenal sebagai salah satu pasar paling diminati di Jeddah. 

Lebih dari 150 tahun lalu berdirinya, pasar Souk menjadi tujuan wisata yang ramai dikunjungi saat bulan Ramadhan, dimana orang-orang membeli makanan untuk berbuka puasa. 

Sebagai daerah pelabuhan yang berdekatan dengan Laut Merah, Jeddah berada di wilayah yang dulunya merupakan bagian dari Kesultanan Turki Usmani (ditulis sebagai Ottoman). Hal ini menyebabkan orang dari berbagai tempat datang dan pergi di wilayah bekas kekuasaan Ottoman. Tidak heran, di tengah kesibukan sebagai kawasan yang ramai, Jeddah memiliki bangunan-bangunan kuno yang terus terkikis oleh waktu namun tetap memancarkan pesona khasnya. 

Bangunan-bangunan bertingkat, dengan arsitektur khas yang mengingatkan pada masa lampau di Jazirah Arab, bersama dengan pepohonan pakis yang berbeda, menciptakan atmosfer yang sangat berbeda dari kota-kota penting lainnya di Saudi seperti Mekkah dan Madinah, yang merupakan situs suci bagi umat Islam. 

Pada dua kota suci (Haramain) umat Islam, bangunan-bangunan modern terus berkambang. Hotel-hotel bergaya masa kini terus memperbarui dua kota tersebut karena permintaan jamaah haji dan umrah akan akomodasi serta fasilitas umum. 

Beberapa area banguna kurang terawat, misalnya pintu kayu yang lapuk dan tembok yang agak rusak. Namun, bagi beberapa penggemar fotografi, titik-titik tersebut justru menarik untuk difoto atau sekedar latar swafoto. 

Berkunjung ke Al Balad saat teriknya siang hari adalah keputusan yang tidak tepat. Selain suhu yang bisa mencapat 39 derajat Celsius pada bulan September, Jeddah Lama juga memiliki tingkat kelembaban tinggi karena dekat dengan Laut Merah yang basah. 

Cuaca yang panas dengan kelembaban di atas 80 persen sering kali tidak nyaman bagi sebagian orang karena kulit mereka mudah berkeringat dan terasa lengket. Namun, di Mekah atau Madinah, meskipun panasnya bisa mencapai lebih dari 40 derajat Celsius, kelembabannya rendah sehingga udara menjadi kering. Akibatnya, meskipun cuasa panas, kulit tidak mudah basah oleh keringat. 

Al Balad, yang berdekatan dengan Pasar Kurnis dan Masjid Qishas, sering dijadikan destinasi wisata bagi jamaah Indonesia. Pasar Kurnis menjadi tempat yang paling diminati untuk berbelanja parfum, perhiasan emas, barang elektronik dan kebutuhan lainnya oleh para jamaah. 

UNESCO, melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), memberikan predikat ‘Kota Tua Jeddah’ sebagai warisan budaya dunia yang harus dijaga karena keaslian arsitektur dan lingkungannya yang dapat dipertahankan. 

Al Balad, yang secara global dikenal sebagai Jeddah Historical District, telah diakui oleh UNESCO sebagai bagian dari warisan dunia melalui keputusan World Heritage Committee ke 38 di Doha, Qatar, pada tanggal 21 Februari 2014. 

Sekarang kita sudah lebih mengenal kota tua Al Balad Jeddah Arab Saudi, sebagai bekal informasi bagi jamaah haji ataupun umrah yang akan melaksanakan ibadahnya ke Tanah Suci. 

Baca juga : 12 Tempat Bersejarah Di Mekah

Sejarah Kota Al Ula Di Arab Saudi

sejarah kota Al Ula di Arab SaudiSelama ini, Arab Saudi dikenal dengan kota-kota suci yang menjadi tujuan utama umat Muslim di seluruh dunia, baik untuk melaksanakan ibadah Haji maupun Umroh. Berikut ini akan di ulas sejarah kota Al Ula di Arab Saudi yang konon sebagai kota berhantu.

Akhir-akhir ini, minat masyarakat meningkat terhadap kota Al Ula di Arab Saudi. Kota ini telah dianggap sebagai tempat yang dihindari dan dianggap terkutuk oleh Nabi Muhammad dan penduduk Arab pada masa lalu.

Al Ula merupakan kota besar yang terletak 400 km di sebelah utara Madinah. Ini adalah salah satu kota bersejarah yang dimiliki oleh Arab Saudi dan telah menjadi tempat tinggal manusia selama ribuan tahun. Suku kuno Arab, Lihyan, pernah mendiami kota ini di bawah pemerintahan dinasti Nabatean.

Sejarah Kota Al Ula

Sebuah kelompok masyarakat Nabatean membangun Kota Al Ula, yang telah ditempati oleh manusia selama ribuan tahun. Terletak di jalur Dupa, yang menghubungkan jalur perdagangan Arab, Mesir, dan India, Al Ula diyakini dihuni oleh Kaum Tsamud dari Kerajaan Dedanite pada abad ke-7 hingga ke-6 SM. Mulai abad ke-5 hingga ke-2 SM, kota ini menjadi tempat tinggal bagi Kerajaan Lihyan yang dipimpin oleh Dinasti Nabatean secara turun-temurun.

Kaum Nabatean kemudian memilih Mada’in Saleh sebagai Ibukota baru, mengukir kawasan pegunungan berbatu sebagai tempat tinggal mereka. Kabarnya, di Mada’in Saleh terdapat 114 makam kaum Nabatean.

Baca juga : Bangsa Rum Dalam Islam Di Akhir Zaman

Al Ula tidak hanya dipenuhi oleh pemukiman manusia, tetapi juga kuburan yang dibuat dengan memahat batu. Daerah pemakaman ini sekarang dikenal dengan nama Madain Saleh dan berlokasi 22 kilometer dari pemukiman penduduk yang dahulu.

Di samping itu, kota ini juga dihuni oleh kaum Tsamud dan ‘Ad. Pada sekitar abad ke-13, Al Ula mengalami transformasi menjadi kota yang ramai, terutama karena wilayahnya menjadi jalur perdagangan rempah-rempah yang signifikan.

Al Ula dijuluki sebagai kota hantu karena saat ini tidak ada satu pun penduduk yang tinggal di sana. Bahkan, tidak ada pedagang atau turis yang ramai mendatangi daerah tersebut.

Tidak seperti Petra di Yordania, Al Ula memiliki situasi yang berbeda. Sebagian warga Saudi enggan mengunjungi kota ini karena mereka meyakini bahwa Al Ula telah dikutuk. Ini terjadi karena bangsa Nabath di kota tersebut menolak untuk memeluk Islam dan tetap setia pada dewa-dewa yang mereka sembah.

Kaum Tsamud telah lenyap dari permukaan bumi, namun Allah SWT membiarkan jejak-jejak peradaban mereka berupa kota kuno yang memiliki keunikan tersendiri.

Menurut catatan sejarah, kota Al Ula pada masa lalu menjadi Ibukota Lihyanites Kuno (Dedanites) dan termasuk salah satu lokasi yang dihindari oleh Nabi Muhammad. Sebuah riwayat bahkan mengisahkan bahwa selama hidupnya, Nabi selalu berusaha untuk melewati daerah tersebut dengan cepat, bahkan tidak memperhatikan sekelilingnya.

Malahan, warga Arab sendiri merujuk Al Ula sebagai tempat tinggal jin yang sebaiknya dihindari atau kota yang dianggap ‘berhantu’ karena suku Nabatea yang tidak meninggalkan keyakinan mereka.

Al Ula, yang telah ditetapkan sebagai situs warisan dunia UNESCO sejak tahun 2008, juga dikenal sebagai Madain Saleh atau Hegra, kota yang pernah dihuni oleh kaum Tsamud. Legenda menyebutkan bahwa kaum Tsamud bersikeras tidak taat kepada Allah SWT dan menolak mengikuti petunjuk Nabi Saleh yang diutus untuk mereka. Akibatnya, mereka dihukum dan mengalami kehancuran.

Arab Saudi Mengembangkan Kota Al Ula

Antara tahun 1901 dan 1908, Kesultanan Utsmaniyah mendirikan jalur kereta api Hijaz dengan tujuan menghubungkan Damaskus dan Madinah. Jalur kereta ini tidak hanya melewati Al Ula, tetapi juga memiliki stasiun utama di Mada’in Saleh. Saat ini, mayoritas penduduk Kota Al Ula bekerja sebagai petani kurma, jeruk, anggur, dan delima.

Menurut Reuters, keputusan pemerintah Arab Saudi untuk mengubah Al Ula menjadi tujuan wisata dianggap sangat tepat. Langkah ini diyakini dapat menarik perhatian wisatawan asing, khususnya mereka yang bukan beragama Islam, untuk mengunjungi dan mengeksplorasi sejarah serta situs pra-Islam di Al Ula. Selain itu, ini juga dapat menjadi sarana untuk memperkuat identitas nasional.

Sekarang, Al Ula telah resmi diubah menjadi kawasan industri pariwisata di Arab Saudi. Bahkan, Organisasi Pariwisata Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNWTO) mengakui Al Ula sebagai desa wisata terbaik di Tanah Gurun Pasir tersebut.

Berdasarkan laporan dari Arab News pada tanggal 30 Agustus 2023, Komisi Kerajaan untuk Al Ula (RCU) telah mengumumkan rencana pembangunan perkotaan di wilayah tengah dan selatan, sebagai bagian dari inisiatif mereka untuk menjadikan Arab Saudi sebagai tujuan wisata global.

RCU merujuk pada rencana induk terbaru yang disebut “Path to Prosperity,” yang diharapkan dapat mengubah wilayah Al Ula bagian selatan dan tengah menjadi sebuah komunitas perkotaan dengan meningkatkan “kualitas hidup.”

Pengembangan proyek Al Ula juga menjadi salah satu aspek krusial dalam pencapaian Visi Arab Saudi 2030, sejalan dengan langkah-langkah Kerajaan untuk mentransformasi sektor ekonomi.

Demkianlah sejarah kota Al Ula di Arab Saudi, semoga menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Baca juga : 19 Tempat Bersejarah Di Madinah

Bangsa Rum Dalam Islam Di Akhir Zaman

Bangsa Rum Dalam Islam Di Akhir ZamanBangsa Rum merupakan salah satu kelompok masyarakat yang disebutkan dalam tulisan suci. Mereka adalah keturunan Romawi Timur yang memiliki pusat kekuasaan di Konstantinopel. Berikut ini akan diulas bangsa Rum dalam Islam di akhir zaman selengkapnya.

Amirulloh Syarbini dan Sumantri Jamhari menyatakan dalam buku “Kedahsyatan Membaca Al-Qur’an” bahwa bangsa Rum disebutkan pada awal surat Ar-Rum. Dalam ayat 2-3, Allah berfirman:

غُلِبَتِ الرُّوْمُۙ (٢) فِيْٓ اَدْنَى الْاَرْضِ وَهُمْ مِّنْۢ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُوْنَۙ

 

Kemudian timbul pertanyaan, siapakah sebenarnya bangsa Romawi dan apa makna yang terkandung dalam ayat Al-Quran yang membahas mereka? Berikut adalah informasi mengenai bangsa Romawi yang telah dikumpulkan dari berbagai sumber.

Kisah Bangsa Rum

Dalam bukunya yang berjudul “Which Nation Does Rum in The Ahadith of the Last Days Refer To?”, Musa Cerantonio menyatakan bahwa dalam Al-Quran, istilah “bangsa Rum” merujuk pada Kekaisaran Bizantium. Penamaan ini berasal dari nama ibu kota mereka, yaitu Byzantion, yang kemudian dikenal sebagai Konstantinopel.

Baca juga : 19 Tempat Bersejarah Di Madinah

Bizantium adalah kelanjutan dari Kekaisaran Romawi yang pertama kali berdiri di kota Roma dan kemudian meluas ke sebagian besar wilayah Eropa, Timur Tengah, dan Afrika Utara. Karena besarnya kekaisaran tersebut, wilayah administratifnya terbagi menjadi dua.

Ada suatu daerah yang disebut Kekaisaran Romawi Barat yang berpusat di Roma, sementara yang lainnya adalah Kekaisaran Romawi Timur yang berpusat di Konstantinopel. Pada tahun 476 M, Kekaisaran Romawi Barat mengalami keruntuhan yang disebabkan oleh invasi bangsa Jermanik. Akibatnya, Kekaisaran Romawi hanya bertahan sebagai Kekaisaran Romawi Timur.

Bangsa yang disebutkan dalam ayat 2 surat Ar-Rum Al-Quran adalah bangsa Rum, yang dalam tafsir Kementerian Agama (Kemenag), diidentifikasi sebagai Romawi Timur yang berpusat di Konstantinopel dan menganut agama Nasrani. Pada periode tersebut, bangsa Rum dipimpin oleh Flavius Heraclius Augustus atau Heraklius. Sejarah mencatat bahwa Heraklius memimpin Kekaisaran Romawi dari tahun 610 hingga 641 M.

Menurut penjelasan Dr. Abdullah dalam Tafsir Ibnu Katsir Volume 6, Al-Quran menyebut bangsa Romawi sebagai keturunan al-‘Ish bin Ishaq bin Ibrahim. Mereka termasuk Bani Ashfar, yang merupakan bagian dari keturunan Bani Israil dan menganut agama Yunani.

Bangsa Rum Di Akhir Zaman

Kehadiran bangsa Rum atau Bani Ashfar juga dipertautkan dengan peristiwa akhir zaman. Dalam karya “Isa dan al-Mahdi di Akhir Zaman,” Muslih Abdul Karim merinci bahwa munculnya al-Mahdi akan diiringi oleh pertempuran antara umat Islam dan Bani Ashfar.

Pada awalnya, umat Islam dan Bani Ashfar bersekutu untuk menghadapi ancaman bersama. Tetapi seiring berjalannya waktu, Bani Ashfar membelot dari perjanjian damai dan melawan umat Islam.

Dalam pertempuran itu, umat Islam mengalami kekalahan dan mencari perlindungan di sekitar Ka’bah. Pada saat yang bersamaan, pasukan yang dikirim dari arah Syam datang untuk mengejar mereka, tetapi Allah menjatuhkan pasukan tersebut di padang pasir yang disebut Baida’.

Pada saat tersebut, Allah memberikan bantuan dengan hadirnya seorang pemimpin yang adil, yaitu al-Mahdi, yang menjadi salah satu tanda kedatangan Hari Kiamat.

Penghianatan Bangsa Romawi

Sebelum kedatangan Dajjal pada akhir zaman, kelompok Romawi mendominasi sebagai salah satu populasi terbesar di dunia. Masyarakat Muslim dan mereka hidup bersama dengan damai.

Namun, sayangnya, bangsa Romawi akhirnya mengingkari umat Islam dengan melancarkan serangan besar-besaran menggunakan pasukan sebanyak 960.000 orang, yang memicu perang besar antara umat Islam dan bangsa Romawi. Pertempuran epik ini terjadi di wilayah Syam, yang melibatkan Suriah, Palestina, Yordania, dan Lebanon, sebelum masa kemunculan Dajjal.

Benteng pertahanan umat Islam terletak di Guthah, Damaskus. Sejauh mana intensitas konflik ini, hanya Allah Yang Maha Tahu.

Kemenangan Umat Islam

Dalam wahyu Rasulullah SAW, disampaikan bahwa umat Muslim akan meraih kemenangan dalam pertempuran dahsyat pada akhir zaman. Meski demikian, perlu dicatat bahwa berita tentang konflik ini harus diambil dengan serius karena pada waktu itu, pasukan Romawi yang terlibat akan sangat besar. Pertempuran ini diperkirakan akan berlangsung selama empat hari, namun korban jiwa dari kedua belah pihak akan sangat banyak.

Saat perang terjadi, diketahui bahwa tidak ada burung yang melintasi medan perang tanpa menemui mayat. Kemenangan diberikan oleh Allah kepada umat Muslim, tetapi karena banyaknya syuhada Muslim, harta rampasan perang menjadi tidak berguna.

Setelah berhasil mengalahkan Bangsa Romawi, pasukan Muslim kemudian dipandu oleh Allah untuk menaklukkan Konstantinopel. Allah SWT memberikan kemenangan kepada umat Islam dalam pertempuran kedua ini. Setelah penaklukan Konstantinopel, Dajjal muncul membawa fitnah yang mengerikan.

Keturunan Esau Bin Ishaq Bin Ibrahim

Dikutip dari karya “Bangsa Romawi dan Perang Akhir Zaman” yang ditulis oleh Manshur Abdul Hakim, ada indikasi bahwa bangsa Romawi dianggap sebagai keturunan Esau, yang merupakan keturunan Ishaq dan cucu Ibrahim ‘alahissalam. Dalam masyarakat Arab, Esau juga dikenal dengan sebutan Al-Aish, dan dianggap sebagai leluhur bangsa Romawi. Di sisi lain, Nabi Yakub, yang merupakan saudara seayah Esau, diyakini sebagai nenek moyang Bani Israil.

Menurut keyakinan kaum Yahudi, keturunan Esau, yang disebut juga Al-Aish, secara luas menetap di wilayah Pegunungan Seir sebagaimana tercatat dalam Kitab Taurat. Pada periode Arab Jahiliyah, banyak warga Romawi mendiami Konstantinopel (Istanbul), yang kini merupakan bagian dari negara Turki.

Ketika Sultan Muhammad Al-Fatih berhasil menaklukkan Konstantinopel, terjadi migrasi massal bangsa Romawi yang menyebabkan perubahan signifikan dalam demografi dan etnis penduduk bangsa Turki.

Itulah kisah bangsa Rum dalam Islam di akhir zaman yang akhirya berkhianat kepada umat Islam, semoga bermanfaat dan menambah ilmu pengetahuan.

Baca juga : Mengenal 10 Masjid Waqaf Di Dunia

19 Tempat Bersejarah Di Madinah

Secara historis, sebelum Islam, nama asli kota Madinah adalah Yatsrib. Setelah Baginda Nabi Muhammad SAW Hijrah, nama kota tersebut diubah menjadi Madinah, yang juga dikenal sebagai al-Madinah al-Munawwarah, yang berarti “kota yang bercahaya.” Sekarang mari kita mengenal 19 tempat bersejarah di Madinah Al Munawwarah tersebut.

Pada masa awal sejarah sekitar abad ke-9 SM, suku Yahudi berdiam di Yatsrib. Sebelum kedatangan agama Islam, kota Madinah dihuni oleh penduduk yang merupakan keturunan dari peristiwa tragis yang dialami pada zaman Nabi Nuh AS. Dikisahkan bahwa sebagian dari umat Nabi Nuh tenggelam dalam banjir besar, termasuk di antaranya adalah putra Nabi Nuh, Kan’an.

Kota Madinah ditinggali oleh dua kelompok utama, yaitu suku Arab dan suku Yahudi. Kedua kelompok ini tiba di Yatsrib setelah kelompok penduduk awal, Suku Amaliqah, punah. Di antara kelompok Yahudi yang terkemuka di sana terdapat Bani Quraizah, Bani Nadir, dan Bani Qunaiqa. Selain itu, Suku Aus dan Khazraj, dua suku Arab yang terkemuka di Yaman, telah menetap di Madinah jauh sebelum kedatangan agama Islam.

Kabilah Aus mendiami daerah dataran tinggi di selatan dan timur, sementara kabilah Khazraj tinggal di wilayah dataran rendah di utara Madinah. Mereka yang memeluk agama Nasrani ini adalah keturunan dari kabilah besar Yaman yang dikenal sebagai Bani Azd.

Bani Aus dan Bani Khajraj adalah dua kabilah yang menganut agama Nasrani, mereka datang sebagai imigran dari Yaman setelah terjadi bencana pecahnya bendungan Ma’rib. Selama lebih dari 120 tahun, kedua kabilah ini terlibat dalam konflik bersenjata satu sama lain.

Salah satu konflik paling intens adalah Perang Buats yang direkam oleh Imam al-Bukhari, terjadi pada tahun kelima sebelum peristiwa Hijrah. Dalam pertempuran ini, pemimpin dari kedua suku tersebut tewas. Pada saat itu, Bani Aus mendapat dukungan dari kelompok Yahudi Bani Quraidhah dan Bani Nadzir, sementara Bani Khajraj diberi dukungan oleh kelompok Yahudi Bani Qainuqa.

Baca juga : Mengenal 10 Masjid Waqaf Di Dunia

Setelah Nabi Muhammad SAW datang, suku-suku ini menyambut umat Islam dengan tangan terbuka, menerima Islam, dan mengakhiri perang selama satu abad. Setelah peristiwa Piagam Madinah, Bai Aus dan Bani Khazraj hampir tidak lagi disebutkan, dan Nabi Muhammad menyebut keduanya sebagai Kaum Anshar.

Selama masa pemerintahan tiga khalifah pertama, Kota Madinah terus berperan sebagai pusat pemerintahan Islam. Masjid Nabawi, yang didirikan oleh Nabi Muhammad pada tahun pertama setelah hijrah dari Makkah ke Madinah, mengalami berbagai renovasi dan perluasan oleh para khalifah, sultan, dan raja Muslim selama berjalannya sejarah.

Tempat Bersejarah Di Madinah

19 Tempat Bersejarah di Madinah-Kota Madinah menyimpan berbagai keutamaan dan memiliki banyak tempat bersejarah yang sangat pantas dikunjungi oleh umat Islam selama perjalanan umrah atau haji. Berikut beberapa lokasi bersejarah di Kota Madinah yang patut untuk diziarahi oleh umat Islam:

  1. Masjid Nabawi19 tempat bersejarah di Madinah

Masjid Nabawi di Kota Madinah adalah salah satu tempat bersejarah yang paling terkenal. Terletak di tengah kota Madinah, masjid ini dikelilingi oleh pasar dan hotel di sekitarnya. Masjid ini adalah masjid kedua yang dibangun oleh Nabi Muhammad setelah Masjid Quba. Pada awalnya, Masjid Nabawi dibangun di sebelah rumah Nabi Muhammad pada tahun 632 M, dan menjadi tempat berkumpul umat Islam serta majelis ilmu.

Masjid ini pertama kali memiliki luas sekitar 1.050 meter persegi, namun kemudian diperluas menjadi 1.452 meter persegi atas perintah Nabi Muhammad SAW setelah beliau kembali dari Perang Khaybar pada tahun 7 Hijriah. Masjid Nabawi menjadi tempat suci kedua dalam agama Islam setelah Masjidil Haram di Mekkah.

  1. Raudhah

Raudhah ialah kawasan dalam Masjid Nabawi yang dipercayai sebagai taman syurga. Kawasan ini menjadi destinasi ziarah yang signifikan bagi umat Islam dari seluruh penjuru dunia.

  1. Makam Rasulullah dan Kubah Hijau

Makam Rasulullah SAW adalah lokasi di mana Nabi Muhammad SAW dimakamkan bersama dua sahabatnya, yaitu Abu Bakar Ash-Shidiq dan Umar bin Khattab. Di dalam Masjid Nabawi, terdapat juga Kubah Hijau, sebuah bangunan penting yang terletak di sudut tenggara Masjid Nabawi di Madinah. Kubah Hijau ini memiliki warna hijau dan didirikan tepat di atas makam Nabi Muhammad SAW.

Kubah Hijau, yang juga dikenal sebagai “Kubah Nabi” atau “Kubah Masjid Nabawi,” tidak ada selama kehidupan Nabi Muhammad. Bangunan ini pertama kali dibangun dan dicat hijau pada tahun 1253 H (1837 M) oleh Sultan Abdul Hamid Al-Utsmani.

  1. Masjid Quba

19 tempat bersejarah di Madinah

Masjid Quba merupakan masjid pertama yang didirikan oleh Nabi Muhammad SAW di Kota Madinah. Terletak sekitar 3 kilometer di sebelah selatan Masjid Nabawi, masjid ini memiliki signifikansi penting sebagai tujuan ziarah bagi umat Islam.

  1. Makam Baqi

Makam Baqi’ adalah lokasi pemakaman yang berisikan makam para sahabat Nabi Muhammad SAW, keluarganya, serta para tabiin dan tabiuttabiin. Di antara mereka terdapat As’ad bin Zararah, Utsman bin Mazoun, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqas, Aisyah, Fatimah az-Zahra, dan banyak lainnya.

Keistimewaan makam Baqi adalah bahwa penghuninya, setelah Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar, akan menjadi yang pertama kali dibangkitkan dari dalam kubur.

  1. Masjid Qiblatain

Masjid Qiblatain adalah sebuah masjid yang memiliki dua arah kiblat. “Qiblatain” berarti dua arah kiblat, dengan arah pertama menghadap ke Masjidil Haram di Makkah dan arah kiblat kedua menghadap ke Masjid Al-Aqsa di Baitul Maqdis, Palestina.

Masjid ini berjarak sekitar 7 kilometer di sebelah timur laut Masjid Nabawi dan menjadi tujuan ziarah yang signifikan bagi umat Islam. Pada awalnya, tempat ibadah ini dikenal sebagai Masjid Bani Salimah karena berdiri di perkampungan Bani Salimah.

Ketika Nabi berada di Makkah, beliau melaksanakan shalat menghadap Baitul Maqdis (Masjid al-Aqsha) sambil tetap menghadap kiblat, yaitu dengan menghadap ke utara dan kiblat secara bersamaan.

  1. Jabal Uhud

Jabal Uhud merupakan sebuah bukit di luar Kota Madinah yang menjadi lokasi peperangan antara pasukan Muslim dan pasukan kafir Quraisy pada tanggal 23 Maret 625 M (7 Syawal 3 H), lebih dari setahun setelah Perang Badar. Di sini, 70 sahabat Nabi syuhada dan juga terdapat makam Hamzah, paman Nabi Muhammad SAW.

  1. Masjid Jummah

19 tempat bersejarah di Madinah selanjutnya adalah Masjid Jummah. Masjid Jummah adalah tempat di Kota Madinah di mana shalat Jumat pertama diadakan.

  1. Masjid Khamsah atau Khandaq

Khandak atau Masjid Khamsah merupakan tempat di mana Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya membentuk parit sebagai pertahanan Kota Madinah terhadap ancaman musuh. Terletak di Gunung Sila’, dekat dengan Madinah, masjid ini didirikan untuk mengabadikan jasa pejuang dan syuhada selama Perang Khandak.

  1. Masjid Abu Bakar

Masjid Abu Bakar merupakan bangunan yang didirikan di lokasi rumah Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat Nabi Muhammad SAW yang menjabat sebagai khalifah pertama umat Islam.

  1. Masjid Ghamamah19 tempat bersejarah di Madinah

19 tempat bersejarah di Madinah berikutnya adalah Masjid Ghamamah. Masjid Ghamamah adalah tempat di mana Nabi Muhammad SAW melaksanakan shalat istisqa’ atau shalat memohon hujan.

  1. Masjid Ali

Masjid Ali adalah bangunan masjid yang didirikan di atas tempat tinggal Ali bin Abi Thalib, salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang kemudian menjadi khalifah keempat umat Islam.

  1. Kota Madain Saleh

Kota Madain Saleh terletak sekitar 400 km di sebelah barat daya Kota Madinah, dan merupakan kota bersejarah yang dihuni oleh orang-orang Nabatean lebih dari 2.000 tahun yang lalu. Mada’in Saleh adalah sebuah situs arkeologi yang diakui sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO.

Menurut catatan sejarah, di masa lampau, daerah ini adalah tempat yang sangat subur dan penuh dengan kehijauan, sehingga penduduknya dapat menghasilkan panen yang berlimpah setiap tahunnya. Namun, kelimpahan alam ini mengakibatkan kaum Tsamud menjadi sombong dan kejam, seringkali mereka menyiksa serta bahkan membunuh orang-orang yang kurang beruntung.

Nabi Saleh AS diutus untuk memberi petunjuk kepada mereka. Beberapa mengikuti Nabi Nuh, sementara yang lain menolaknya. Bahkan, dua di antara mereka membunuh seekor unta yang tidak bersalah. Sebagai ganjaran atas perbuatan tersebut, Allah mengirimkan gempa bumi di tengah malam, yang menyebabkan mereka semua tewas, dan tidak ada yang kembali hidup.

  1. Kota Al Ula

Kota Al Ula, terletak sekitar 400 km di sebelah barat daya Kota Madinah, merupakan sebuah kota bersejarah yang kaya akan situs bersejarah, termasuk Al-Hijr, Madain Saleh, dan Qasr Al Farid. Al Ula dikenal sebagai ibu kota Lihyanites Kuno (Dedanites) dan berlokasi sekitar 300 km di sebelah utara Madinah.

Pada periode antara abad ke-5 hingga abad ke-2 SM, Al Ula menjadi tempat tinggal bagi Kerajaan Lihyan yang diperintah oleh Dinasti Nabatean. Dinasti Nabatean memegang kendali hingga sekitar tahun 106 M, ketika ibu kota mereka, Petra, jatuh ke tangan Romawi setelah ditaklukkan.

Pada periode antara abad ke-7 hingga abad ke-6 SM, wilayah tersebut diyakini dihuni oleh kaum Tsamud yang berasal dari Kerajaan Dedanite. Kota ini kemudian dikenal sebagai kota yang sangat dihindari oleh Baginda Nabi Muhammad SAW dan dianggap sebagai kota yang terkutuk.

  1. Wadi Al Aqeeq

Wadi Al-Aqeeq, yang didirikan pada zaman Nabi Muhammad SAW, disebut oleh Baginda Nabi SAW sebagai “lembah yang diberkahi.” Menurut catatan sejarah Islam, wilayah ini begitu subur sehingga beberapa tempat di tepi Wadi Al-Aqeeq dibangun, terutama pada masa Abbasiyah dan Umayyah. Bahkan, tidak jarang kita melihat peternakan, kebun, dan bangunan-bangunan besar tersebar di wilayah Wadi Al-Aqeeq.

Dari banyak istana yang dibangun di lembah tersebut, beberapa di antaranya diklaim sebagai milik sahabat Nabi Muhammad SAW, salah satunya adalah Urwah bin Zubair (RA). Sumur Urwah adalah sumur terkemuka yang didirikan di atas Wadi Al-Aqeeq dengan tujuan untuk mengambil air dari Jabal Eir untuk menyediakan pasokan air bagi penduduk setempat.

  1. Jalur Kereta Api Hijaz19 tempat bersejarah di Madinah

Proyek kereta api Jalur Kereta Api Hijaz ini sukses selesai pada awal abad ke-20 dengan pendanaan dari dunia Islam dan menjadi prestasi signifikan pada masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid II, Kekaisaran Ottoman. Konstruksi jalur kereta ini dimulai pada tahun 1908 dengan tujuan menghubungkan Damaskus dan Madinah, berfungsi sebagai sarana transportasi bagi jamaah haji menuju kota suci.

Jalur tersebut dibangun di seluruh wilayah Hijaz di Arab Saudi modern, termasuk jalur cabang yang menuju Haifa di Laut Mediterania. Terdapat 32 stasiun kereta api dalam jalur ini, dan sebagian besar dari stasiun-stasiun tersebut saat ini terletak di Arab Saudi.

Proyek pembangunan lintasan ini memerlukan waktu 8 tahun, melintasi medan pegunungan yang tandus, menghubungkan Damaskus dan Madinah. Total biaya proyek kereta api diperkirakan mencapai 4 juta lira Utsmani (Ottoman), setara dengan sekitar 570 kilogram emas, atau sekitar 20 persen dari total anggaran Ottoman pada saat itu.

Kereta Api Hijaz mencapai Madinah pada tahun 1908 dan diresmikan melalui sebuah upacara. Jalan kereta api ini memiliki panjang total sekitar 1.464 kilometer, dengan panjang rel mencapai 1.900 kilometer. Selama Perang Dunia Pertama (1914-1918), Kereta Api Hijaz mengalami kerusakan parah akibat tindakan Lawrence of Arabia dan Pemberontakan Arab. Meskipun demikian, sebagian dari jalur Kereta Api Hijaz masih ada, dan beberapa bagian masih berfungsi hingga saat ini.

  1. Percetakan Al Qur’an

Percetakan Al-Quran Raja Fahd terletak di kota Madinah, Arab Saudi, tepatnya di jalan utama Tabuk. Kompleks ini dilengkapi dengan mesin cetak khusus yang mampu mencetak lebih dari 10 juta eksemplar Al-Qur’an setiap tahun, dengan menggunakan teknologi dan peralatan canggih untuk menghasilkan Al-Quran berkualitas tinggi.

Seluruh proses percetakan dilakukan secara mekanis, memastikan hasil yang sangat presisi. Kompleks ini didirikan pada tahun 1985 dan hingga saat ini telah menerbitkan 55 terjemahan Al-Quran yang berbeda dalam 39 bahasa. Di dalam percetakan ini, tersedia Al-Quran dalam bahasa Arab, berbagai opsi bacaan, kemampuan pencarian teks, terjemahan, gambar manuskrip Al-Quran awal, serta komentar tafsir. Pengunjung dipersilakan untuk menjelajahi kompleks ini dan bahkan dapat mengambil salinan Al-Quran secara gratis. Dengan lebih dari 1.700 karyawan, kompleks percetakan ini merupakan salah satu dari tempat percetakan Al-Quran terbesar di dunia.

  1. Sumur Raumah

Sumur Raumah adalah sumur yang telah diwakafkan oleh Sahabat Utsman bin Affan yang terletak di Madinah. Sumur ini sebelumnya dimiliki oleh seorang Yahudi dan menjadi satu-satunya sumber air bersih di Madinah ketika terjadi kekeringan.

Kemudian, Utsman bin Affan membeli seluruh sumur tersebut dengan harga yang tinggi dan kemudian mengwakafkannya untuk umat Muslim. Setelah diwakafkan, sumur tersebut bisa digunakan oleh siapa saja, termasuk pemilik lama Yahudi, tanpa biaya.

Sumur Raumah adalah salah satu tempat bersejarah yang patut untuk dikunjungi di Madinah. Letaknya berdekatan dengan Masjid Qiblatain di Madinah, dan sering disebut juga sebagai Sumur Wakaf Utsman bin Affan yang masih aktif hingga saat ini.

  1. Museum Al Madinah

Museum Al-Madinah, yang terletak di Jalan Omar Ibnu Alkhtab, As Suqya, Al-Madinah 42315, Arab Saudi, berfokus pada pameran sejarah dan budaya Madinah, termasuk koleksi artefak bersejarah dari zaman Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Museum ini terletak tidak jauh dari Masjid Nabawi dan dekat dengan Stasiun Kereta Haramain.

Museum ini menampilkan sekitar 2.000 artefak langka yang menggambarkan warisan dan budaya Madinah serta mendokumentasikan perkembangan lanskap, masyarakatnya, dan perubahan selama beberapa dekade. Pada tahun 1983, Museum ini didirikan sebagai bagian dari proyek transformasi dari Stasiun Kereta Api Al-Hijaz yang telah berdiri sejak tahun 1908, dan kemudian diberi nama Museum Al-Madinah.

Itulah 19 tempat bersejarah di Madinah, yang dapat dikunjungi oleh jamaah haji ataupun umrah, baik saat umrah berlangsung maupun setelah beribadah umrah.

Baca juga : 10 Wisata Religi Yang Bisa Dikunjungi Saat Umrah

Mengenal 10 Masjid Waqaf Di Dunia

Mengenal 10 Masjid Waqaf Di DuniaBerapa jumlah dan jenis masjid wakaf di seluruh dunia? Meskipun masjid menjadi pusat bagi umat Muslim, di negara-negara dengan populasi Muslim yang minoritas, masjid seringkali sulit ditemukan. Meski begitu, keberadaannya tetap ada, bahkan dalam beberapa kasus, terdapat juga masjid wakaf. Mari kita mengenal 10 masjid waqaf di dunia secara singkat.

Wakaf masjid dapat menjadi sumber pahala berkelanjutan bahkan setelah si wakif meninggal dunia. Masjid berfungsi sebagai tempat ibadah bagi masyarakat luas, digunakan untuk sholat, mengaji, dan dakwah, sehingga menjadikannya sebagai ladang pahala yang terus mengalir.

10 Masjid Wakaf Di Dunia

  1. Waqaf Masjid Nabawi

Masjid Nabawi, sebuah masjid yang terkenal sebagai wakaf, telah menjadi tempat yang terhormat sejak zaman Rasulullah SAW hingga saat ini. Masjid ini pertama kali didirikan pada tahun pertama setelah Nabi hijrah dari Makkah ke Madinah bersama dengan para sahabatnya pada tahun 622 Masehi. Pada awalnya, luas masjid ini hanya sekitar 1050 meter persegi.

Bersama dengan berjalannya waktu, area masjid diperluas menjadi 305 ribu meter persegi dan kini berfungsi sebagai tempat ibadah bagi umat Muslim dari seluruh penjuru dunia, terutama selama pelaksanaan umrah atau haji. Masjid ini terletak di Al Haram, Madinah, Arab Saudi.

Masjid Nabawi merupakan salah satu masjid yang paling bersejarah di dunia Islam, dan merupakan wakaf yang sangat penting. Di dalamnya terdapat Raudhah, mimbar, serta makam Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab, serta pemakaman keluarga dan sahabat Rasulullah yang dikenal sebagai makam Baqi.

  1. Masjid Quba

Seperti halnya masjid Nabawi, masjid Quba juga memiliki sejarah yang panjang. Masjid Quba didirikan oleh Nabi Muhammad SAW dan terletak di Al Hijrah Rd, Al Khatim, Madina, Arab Saudi.

Masjid ini mempunyai arsitektur yang sangat indah, dengan halaman yang lapang. Diresmikan pada tahun satu hijriah dan merupakan tempat di mana Nabi beserta para sahabatnya pertama kali melaksanakan sholat jamaah. Di sekitar masjid terdapat banyak toko suvenir dan pedagang kurma.

Masjid Quba termasuk dalam tiga masjid yang disebutkan dalam Alquran. Masjid istimewa ini memiliki luas 13.500 meter persegi, dilengkapi dengan empat menara dan 56 kubah, serta dapat menampung hingga 20 ribu orang.

Baca juga : 10 Wisata Religi Yang Bisa Dikunjungi Saat Umrah

  1. Masjid Aisyah Al Rajhi

Masjid Aisyah Al-Rajhi adalah sebuah masjid wakaf di Makkah yang didirikan oleh Syekh Sulaiman Al-Rajhi, seorang miliarder bank, sebagai wakaf untuk ibunya yang bernama Aisyah Al-Rajhi. Masjid ini merupakan salah satu masjid terbesar setelah Masjidil Haram dan Masjid Nabawi di Madinah.

Masjid ini terletak di An Naseem, Makkah, Arab Saudi. Bangunan masjid ini memancarkan kesan megah dengan dominasi warna putih gading yang mencolok. Di dalamnya, terdapat lentera gantung yang besar dan indah, terbuat dari kuningan yang bersinar, serta lampu berwarna putih yang menambah kecantikan masjid ini.

Masjid bergaya kontemporer ini memiliki lantai berlapis marmer putih dan hitam, serta dilengkapi dengan fasilitas untuk pendidikan Alquran, perpustakaan, ruang kuliah dan seminar, serta kantor karyawan wakaf. Kapasitasnya dapat menampung hingga 47 ribu orang.

  1. Masjid Al Azhar Kairo

Kairo dikenal sebagai pusat pendidikan Islam, dan di ibukota Mesir ini juga berdiri Masjid Al-Azhar, yang merupakan masjid tertua di Kairo. Terletak di El-Darb El-Ahmar, Cairo Governorate, Mesir, masjid ini didirikan antara tahun 970-972 Masehi oleh Dinasti Fatimiyah.

Masjid ini memiliki luas yaitu 12 ribu meter persegi dan dilengkapi dengan 4 menara. Arsitekturnya mencerminkan ciri-ciri berbagai dinasti, dengan sentuhan khas Mesir. Menurut penelitian yang dipublikasikan dalam Jurnal Internasional Ilmu Konservasi tahun 2020, sebagian besar bahan konstruksi masjid ini terbuat dari batu karbonat, memberikan tampilan yang mirip dengan susunan balok batu seperti batu gamping.

Masjid Al-Azhar telah menjadi bagian yang terkenal dari pusat pendidikan Islam di Kairo. Wakaf masjid ini bertujuan untuk pengelolaan dan pemeliharaan, tidak hanya terbatas pada fungsi masjid, melainkan juga untuk mendukung pendidikan dan pembangunan rumah sakit.

  1. Masjid Wakaf Syekh Ajlin Palestina

Mengenal 10 Masjid Waqaf Di Dunia-Masjid Syekh Ajlin di Palestina berada di pesisir barat kota Gaza. Masjid ini sebelumnya mengalami kerusakan akibat agresi militer Israel di Gaza. Sebenarnya, selain masjid ini, banyak tempat ibadah lainnya juga mengalami kerusakan sehingga banyak orang kehilangan tempat ibadah.

  1. Masjid Sultan Singapura

Masjid Sultan diklaim sebagai salah satu masjid terbesar dan paling megah di Singapura. Awalnya, masjid ini didirikan pada tahun 1824 dan kemudian mengalami renovasi oleh Swan dan Maciaren pada tahun 1920. Masjid Sultan terletak di alamat 3 Muscat St, Singapura.

Wakaf diperuntukkan bagi program peningkatan masjid pada tahun 2016, yang mengeluarkan biaya konstruksi sekitar 3,65 juta dolar. Bangunan luarannya menampilkan dominasi warna putih yang ikonik dengan kubah emas, mengusung gaya arsitektur campuran Turki, Persia, Moor, dan klasik. Kapasitas masjid ini dapat menampung hingga 2000 orang.

  1. Masjid Waqaf Sri Sendayan Negeri Sembilan Malaysia

Pada tahun 2019, Masjid Sri Sendayan diresmikan dan diwakafkan oleh Tan Sri Abdul Rashid Hussain, salah seorang pendiri bank RHB. Masjid ini terletak di Persiaran Idaman Villa, Bandar Sri Sendayan, Siliau, Negeri Sembilan, Malaysia.

Masjid Sri Sendayan memukau dengan arsitektur yang menggabungkan gaya Mesir, Turki, Dubai, China, dan Maghribi. Bangunan ini memancarkan keindahan dengan fasadnya yang berwarna putih bersih dan halaman rumput yang luas. Proyek pembangunan masjid ini menghabiskan lebih dari 100 juta ringgit Malaysia.

  1. Masjid Waqaf Kobe

Masjid Kobe, didirikan pada tahun 1928 dan diresmikan pada tahun 1935, adalah masjid pertama dan tertua di Jepang. Terletak di 2 Chome-25-14 Nakayamatedori, Chuo Ward, Kobe, Hyogo, Jepang, dan dapat dicapai dalam waktu 12 menit dari stasiun Sannomiya.

Masjid dengan gaya arsitektur Turki ini menjadi saksi bisu dalam dua kejadian besar di Jepang, yakni gempa bumi dengan magnitudo 7,3 pada tahun 1955 dan pengeboman selama perang Dunia II pada tahun 1945. Meskipun kedua peristiwa tersebut tidak berhasil meruntuhkan masjid Kobe, bangunan tersebut tetap utuh dengan kerusakan kecil.

Masjid Kobe adalah masjid yang didirikan sebagai wakaf oleh umat Muslim dari Turki, Tatar, dan India melalui Islamic Committee of Kobe. Terletak di daerah padat penduduk, banyak penduduk di sekitarnya beragama Islam, sehingga tersedia banyak pilihan kuliner halal.

  1. Waqaf Masjid Jawa Di Bangkok Thailand

Masjid ini diberi nama Masjid Jawa karena Haji Muhammad Saleh, seorang perantau asal Jawa, mendirikannya pada tahun 1906 Masehi. Desain arsitektur bangunan ini juga mencerminkan ciri khas bangunan Jawa dengan atap limas berundak tiga, yang mirip dengan Masjid Agung Kauman di Yogyakarta.

Masjid Jawa ini terletak di Jalan Soi Cjarooen Rat 1 Yaek 9, di wilayah Sathorn, Bangkok, Thailand. Wilayah ini adalah tempat tinggal bagi komunitas Melayu yang memiliki banyak keturunan dari suku Jawa yang merantau ke sana.

  1. Masjid Wakaf Agung Al Falah Indonesia

Masjid ikonik ini didirikan pada tahun 1971 di atas tanah yang disumbangkan oleh Sultan Thah Saifudin. Tempatnya terletak di Jalan Sultan Thaha, Legok, Telanaipura, Kota Jambi. Mesjid ini sering disebut sebagai Masjid Seribu Tiang, meskipun sebenarnya hanya memiliki 232 tiang.

Masjid wakaf ini memiliki luas sekitar 6400 meter persegi, dengan kubah besar, dan tiang penyangga di bagian luar yang berwarna putih. Di tengah masjid, terdapat tiang besar yang dihiasi dengan ukiran coklat keemasan, memberikan kesan klasik pada bangunan tersebut.

Keindahan masjid semakin menonjol pada malam hari, dengan lampu-lampu kecil yang menyala di atapnya, yang menjadikan masjid ini semakin mempesona. Selain itu, bangunan utama masjid dirancang tanpa pintu dan jendela, menciptakan kesan terbuka yang menawan.

Setiap masjid di seluruh dunia memiliki daya tariknya sendiri. Terlepas dari itu, fungsi utama masjid adalah sebagai tempat ibadah. Wakaf adalah salah satu bentuk amal kebajikan yang pahalanya tidak pernah terputus. Kini, kita telah mengenal 10 masjid waqaf di dunia, semoga menambah wawasan dan ilmu pengetahuan.

Baca juga : Mengenal 10 Sahabat Nabi Muhammad SAW

Mengenal 10 Sahabat Nabi Muhammad SAW

Mengenal 10 Sahabat Nabi Muhammad SAWBanyak sahabat Nabi SAW dijamin masuk surga, antara lain Abu Bakar Ash Shiddiq sampai Abu Ubaidillah bin Jarrah. Mari kita mengenal 10 sahabat Nabi Muhammad SAW yang dijamin masuk surga.

Ajaran Islam berkembang pesat berkat upaya gigih Rasulullah SAW dan para sahabat yang berjuang keras dalam dakwah untuk menyebarkan ajaran Islam sesuai dengan perintah Allah SWT. Dalam menjalani misi dakwah, Rasulullah SAW bersama para Sahabatnya menghadapi ujian dan rintangan yang sangat berat. Bahkan, beberapa di antara mereka harus merelakan kehilangan keluarga, harta, dan bahkan gugur syahid demi mempertahankan agama Islam.

Sebagai ganjaran atas dedikasi mereka, para sahabat Rasulullah SAW akan mendapatkan tempat di surga di akhirat. Rasulullah SAW menjamin bahwa mereka akan bersama-sama memasuki surga.

10 Sahabat Nabi Muhammad SAW

  1. Abu Bakar As Shiddiq

Abu Bakar As-Shiddiq adalah sahabat pertama Rasulullah SAW, dan dia termasuk dalam kelompok pertama yang mempercayai Nabi Muhammad dan memeluk agama Islam. Setelah wafatnya Nabi, Abu Bakar juga menjadi orang pertama yang melanjutkan kepemimpinan Rasulullah SAW.

Ketika Nabi menyebarkan agama Islam di tanah Arab, Abu Bakar As-Shiddiq selalu mendampingi dan menjaga Nabi Muhammad SAW. Beliau juga merupakan salah satu sahabat yang menemani Nabi ketika melakukan hijrah dari Mekkah ke Madinah.

Walaupun sering kali dihadapi dengan ancaman pembunuhan, Abu Bakar tetap berani dan terus melanjutkan perjuangannya dalam membela Islam. Sifat-sifat yang dapat menjadi contoh dari pribadinya meliputi kelembutan, kesabaran, dan kejujuran yang selalu ditekankan. Karena sifat-sifat tersebut, gelar “As-Shiddiq” yang berarti “yang selalu berkata benar” sangat pantas disematkan padanya.

Berdasarkan catatan sejarah Islam, Abu Bakar adalah seorang individu yang terkenal sebagai seorang pedagang, hakim yang menduduki posisi penting dalam masanya, seorang cendekiawan, dan memiliki kemampuan untuk menafsirkan mimpi.

Nabi Muhammad sangat percaya kepada Abu Bakar. Pada akhir hayat Nabi, beliau menunjuk Abu Bakar sebagai imam shalat berjamaah, yang juga merupakan pertanda bahwa Abu Bakar akan menjadi khalifah pengganti Nabi bagi umat Muslim.

Baca juga : Kisah Abu Qilabah Sahabat Rasul

  1. Umar Bin Khattab

Salah satu dari 10 sahabat Nabi yang dijamin masuk surga adalah Umar bin Khattab, meskipun pada awal munculnya ajaran agama Islam di Mekkah, Umar pernah memiliki niat untuk membunuh Nabi Muhammad SAW.

Umar mendapat hidayah ketika ia mendengar saudarinya membaca ayat suci Alquran. Tanpa ragu, ia bertaubat dan memeluk agama Islam. Setelah itu, Umar menjadi salah satu khulafaur rasyidin yang paling berpengaruh dalam menyebarkan agama Islam.

Umar bin Khattab adalah sosok yang sangat berani, yang tidak ragu menggunakan pedangnya untuk berjihad demi membela agama Allah. Salah satu sifat terpuji yang bisa dicontoh dari dirinya adalah keberaniannya dalam mengidentifikasi kebenaran dan kesalahan serta bersuara untuk membedakannya.

Sifat tersebut memberikan kepada beliau gelar “Al-Faruq,” yang mengindikasikan perbedaan antara yang benar dan yang salah. Kepemimpinan Umar bin Khattab setelah wafatnya Abu Bakar sangat terkenal dan berperan penting dalam penyebaran Islam hingga mencakup sepertiga dari populasi dunia.

Dia dilahirkan dalam keluarga yang memiliki cukup kekayaan, tidak kaya namun juga tidak miskin. Umar adalah salah satu dari sedikit orang yang mampu membaca dan menulis pada masa itu.

Pada zaman jahiliyah sebelum ia memeluk Islam, Umar adalah sosok yang sangat dihormati. Kekuatannya bahkan memungkinkan dia meraih gelar juara dalam pertandingan gulat di Mekkah. Di masa itu, di Mekkah juga terdapat tradisi yang mewajibkan penguburan anak perempuan yang masih hidup.

Umar adalah salah satu individu yang tidak ragu-ragu untuk mengubur putrinya hidup-hidup, dan sangat menyesal atas tindakannya setelah memeluk agama Islam. Meskipun dulu dikenal sebagai peminum dan pemabuk, sejak berpindah ke agama Islam, dia sama sekali tidak pernah menyentuh alkohol.

  1. Utsman Bin Affan

Mengenal 10 Sahabat Nabi Muhammad SAW-Selain dua sahabat Nabi yakni Abu Bakar dan Umar, Utsman bin Affan juga merupakan bagian dari golongan assabiqunal awwalun, yaitu orang-orang pertama yang memeluk agama Islam. Utsman terkenal sebagai seorang saudagar kaya raya di kota Mekkah.

Walaupun memiliki kekayaan berlimpah, ia menunjukkan sifat-sifat yang patut dijadikan contoh, seperti kedermawanan, sopan santun, serta bicara dengan lemah lembut. Ia juga selalu menggunakan harta berkecukupannya untuk berbagi dengan memberikan sedekah, infaq, dan berzakat.

Utsman bin Affan terkenal sebagai pemimpin yang sangat peduli terhadap kebutuhan sosial. Salah satu contohnya adalah ketika beliau mendonasikan sebuah sumur agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat saat musim kemarau tiba.

Utsman Bin Affan kemudian menggantikan posisi Umar bin Khattab sebagai khalifah. Selama masa pemerintahannya, terjadi kemajuan signifikan dalam bidang infrastruktur dan perkembangan Islam. Salah satu pencapaiannya adalah pembangunan angkatan laut khusus untuk komunitas Islam pertama.

Wafatnya Utsman bin Affan merupakan peristiwa tragis dan mengharukan. Beliau meninggal dunia dalam kondisi dibunuh oleh para pemberontak ketika sedang membaca Alqur’an. Utsman bin Affan juga wafat secara syahid, dan hal ini telah diramalkan oleh Rasulullah jauh sebelum kejadian tersebut terjadi.

  1. Ali Bin Abi Thalib

Sahabat Nabi berikutnya adalah Ali bin Abi Thalib. Setelah istri Rasulullah SAW, Siti Khadijah, Ali bin Abi Thalib adalah orang kedua yang dengan segera mempercayai wahyu Allah SWT yang disampaikan melalui Nabi dan memeluk agama Islam.

Tidak mengherankan, Allah juga memberikan janji surga tanpa hisab kepada Ali bin Abi Thalib. Kesetiaan Ali terhadap agama Islam sudah tertanam sejak masa kecil, karena dia belajar langsung dari Nabi Muhammad SAW tentang agama Islam.

Sebagai seorang muslim yang berjuang di jalan Allah, Ali bin Abi Thalib selalu hadir dalam medan perang untuk mempertahankan keyakinan agamanya, yaitu Islam. Ali bin Abi Thalib bahkan pernah menjadi pengganti Rasulullah ketika kaum Quraisy mencoba menghadangnya.

Tiga hari berikutnya, Ali memutuskan untuk berangkat sendirian menuju Madinah menyusul Nabi yang telah berhijrah terlebih dahulu. Dia melakukan perjalanan pada malam yang gelap dan bersembunyi pada siang hari untuk menghindari serangan dari kaum Quraisy.

Ali bin Abi Thalib menggantikan Utsman bin Affan sebagai khalifah beberapa tahun setelah Utsman wafat. Selama masa kepemimpinannya, Ali menghadapi berbagai tantangan akibat pemberontakan yang merajalela. Ia menjadi khalifah terakhir yang dianggap sebagai salah satu dari Khulafaur Rasyidin.

  1. Thalhah Bin Ubaidillah

Sahabat Nabi dari suku Quraisy ini dianugerahi sejumlah julukan oleh Nabi Muhammad SAW. Salah satunya adalah julukan “Thalhah,” yang menggambarkan sifatnya yang baik hati, pemurah, dan dermawan. Saat terjadi Pertempuran Uhud, Thalhah dengan berani berdiri sebagai perisai untuk melindungi Rasulullah dari serangan kaum Quraisy. Pengorbanannya tersebut mengakibatkan Thalhah kehilangan jari-jarinya.

Thalhah juga wafat dalam keadaan syahid ketika terlibat dalam pertempuran Jamal. Bahkan, Nabi Muhammad SAW pernah menyatakan dalam hadis yang sahih bahwa jika seseorang ingin melihat seorang syahid di dunia ini, maka lihatlah kepada Thalhah Ubaidillah.

  1. Zubair Bin Awwam

Mengenal 10 Sahabat Nabi Muhammad SAW-Zubair bin Awwam memeluk Islam pada usia 15 tahun, saat masih belia. Beliau adalah saudara sepupu Nabi dan termasuk dalam kelompok orang pertama yang mengikuti agama Islam. Sepanjang hidupnya, Zubair tetap setia sebagai pengawal dan penolong Rasulullah.

Pada permulaan ketika dia memilih Islam sebagai agamanya, dia diuji ketika mengalami siksaan dari pamannya sendiri, yaitu Naufal bin Khuwailid. Akan tetapi, berkat keyakinan kuatnya, dia tidak ragu untuk memeluk Islam.

  1. Abdurrahman Bin Auf

Abdurrahman bin Auf, sahabat Nabi yang terkenal dengan sifat dermawannya, merupakan salah satu di antara pionir pertama yang mengikuti tauhid dan memeluk Islam. Ia juga dikenal sebagai seorang pengusaha yang tekun dalam berwakaf. Meskipun begitu, ia tak pernah ragu untuk turut serta dalam medan perang, bahkan dalam pertempuran Uhud, di mana ia mengalami 20 luka tusukan dan kehilangan giginya.

Beliau adalah salah satu dari mereka yang turut hijrah bersama Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah. Dengan keberaniannya, dia membawa segala harta yang dimilikinya. Namun, di tengah perjalanan, penguasa Mekkah, yaitu kaum Quraisy, merampas seluruh kekayaannya.

Abdurrahman bin Auf dan Utsman bin Affan bersaing dalam melakukan amal dan bersedekah. Abdurrahman bin Auf terkenal karena pernah menjual tanahnya seharga 40 ribu dinar dan mengalokasikan semua hasil penjualannya kepada fakir miskin. Bahkan, sebelum meninggal, Abdurrahman bin Auf juga menyumbangkan 400 dinar kepada para pahlawan yang selamat dari Pertempuran Badar.

  1. Sa’ad Bin Abi Waqqash

Sa’ad bin Waqqash, yang juga dikenal sebagai Sa’ad bin Malik Az-Zuhri, adalah paman Nabi Muhammad SAW dari pihak ibu. Sa’ad lahir dalam keluarga yang kaya dan terhormat. Ia memiliki sifat serius dan kecerdasan yang luar biasa.

Abu Bakar, seorang sahabat Nabi, mengajak Sa’ad untuk bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. Setelah mendengar penjelasan Rasulullah SAW tentang Islam, Sa’ad sangat tergerak dan sepakat untuk memeluk agama Allah SWT.

Dalam setiap pertempuran, kehadiran Sa’ad bin Waqqash di tengah-tengah tentara Muslim membawa ketenangan. Keahliannya dalam mengatasi musuh, kesetiaannya kepada Allah SWT, dan perhatiannya menjadikan pasukan Muslim merasa lebih aman.

Sa’ad dikenal karena keberaniannya dalam berperang dan terus diandalkan oleh para khalifah setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Dia tutup usia pada usia 80 tahun dan merupakan salah satu sahabat terakhir yang meninggal.

  1. Sa’id Bin Zaid

Bersama istrinya, Fathimah binti Khatab, yang merupakan adik dari Umar bin Khatab, Sa’id bin Zaid memeluk agama Islam dan tetap setia dalam membela agamanya sepanjang hidupnya. Sa’id selalu mengikuti Rasulullah SAW ke medan perang, kecuali dalam perang Badar.

Pada awal perjalanan keimanan Sa’id kepada Allah SWT, ia mengalami banyak tekanan dan perlakuan kasar dari anggota masyarakatnya, termasuk Umar bin Khatab, yang saat itu belum menganut agama Islam. Umar bahkan pernah melakukan kekerasan fisik terhadap Sa’id bin Zaid, yang menyebabkan darah segar mengalir di wajahnya.

Namun, Sa’id bin Zaid tetap tabah menghadapi ujian tersebut, dan kenyataannya, inilah yang membuat Umar begitu terharu dan akhirnya memutuskan untuk memeluk Islam. Selain ketabahan, Sa’id juga dikenal karena kegigihan dan keberaniannya di medan perang.

Dia bahkan ikut menaklukan wilayah Syam, yang sekarang dikenal sebagai Suriah dan daerah sekitarnya. Wafatnya terjadi setelah para sahabat Nabi yang lainnya telah meninggal terlebih dahulu, dan dia meratapi kepergian mereka yang telah pergi sebelumnya di dunia.

  1. Abu Ubaidah Bin Jarrah

Abu Ubaidah bin Jarrah memeluk Islam melalui perantaraan Abu Bakar As-Shiddiq di awal periode keislaman, sebelum Nabi Muhammad SAW memulai pengajaran di Darul Arqam. Beliau adalah salah satu sahabat yang sangat aktif berpartisipasi dalam medan perang bersama Nabi Muhammad SAW.

Dalam Pertempuran Badar, dicatat bahwa Abu Ubaidah membunuh ayahnya sendiri, yang merupakan seorang kafir yang sangat menentang Islam. Dalam sejarah lain, disebutkan bahwa saat Pertempuran Uhud, Abu Ubaidah melindungi Rasulullah dari serangan musuh, dan ia kehilangan dua giginya dalam peristiwa tersebut.

Walaupun banyak tantangan berat terjadi selama perang, Abu Ubaidah tetap teguh dalam tekadnya untuk terus berjuang di jalan Allah SWT. Bahkan di bawah kepemimpinan Khalifah Abu Bakar, Abu Ubaidah dipilih sebagai panglima perang yang memimpin pasukan melawan Kekaisaran Romawi.

Kini kita telah mengenal 10 sahabat Nabi Muhammad SAW yang dijamin masuk surga, semoga kita dapat memetik pelajaran dari kisah tersebut di atas.

Baca juga : Kisah Abu Lahab Paman Rasulullah SAW

Kisah Abu Qilabah Sabahat Rasul

Kisah Abu Qilabah Sabahat RasulAbu Qilabah ialah seorang sahabat Nabi yang terkenal dengan sikap syukurnya. Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Zaid al-Jarmi, dan dia termasuk perawi yang banyak mengisahkan hadits dari Anas bin Malik. Berikut ini kisah Abu Qilabah sahabat Rasul selengkapnya.

Menurut Maulana Wahiduddin Khan dalam bukunya yang berjudul “Kearifan Islam,” Abu Qilabah adalah seorang tokoh yang berasal dari Bashrah dan meninggal di Syam pada tahun 104 H. Memiliki nama lengkap Abdullah bin Zaid al-Jarmi, dia juga terkenal sebagai seorang yang sangat tekun dalam ibadah dan hidup dengan sederhana.

Bagi mereka yang rajin memeriksa rantai sanad hadis, Abu Qilabah adalah nama yang sangat dikenal karena sering muncul dalam berbagai sanad hadis. Terutama, karena dia adalah seorang perawi yang meriwayatkan hadis dari sahabat Anas bin Malik. Sahabat ini termasuk salah satu dari tujuh sahabat yang paling produktif dalam meriwayatkan hadis-hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena alasan ini, nama Abu Qilabah sering disebut berulang kali, seiring dengan penulisan nama Anas bin Malik. Ibnu Hibban dalam kitab ats-Tsiqot mencatat sebuah kisah menakjubkan mengenai Abu Qilabah yang menunjukkan kekuatan keimanan beliau kepada Allah.

Abu Qilabah adalah pribadi yang selalu bersyukur atas rahmat Allah dan selalu haus akan ilmu. Kisah Abu Qilabah yang senantiasa bersyukur diceritakan dalam buku “Rahasia Dahsyat di Balik Kata Syukur” karya Yana Adam, berdasarkan riwayat dari Abdullah bin Muhammad.

Kisah yang disampaikan oleh Abdullah bin Muhammad ini direkam dalam kitab ats-Tsiqat oleh Ibnu Hibban. Dalam kisah tersebut, Abdullah bin Muhammad pernah berada di wilayah perbatasan, khususnya di Arish, sebuah kota di Mesir.

Baca juga : Kisah Abu Lahab Paman Rasulullah SAW

Kisah Abu Qilabah Sabahat Rasul-Dia melihat ada perkemahan kecil yang menunjukkan bahwa pemiliknya sangat miskin. Kemudian, dia mendekati kemah yang terletak di padang pasir itu untuk melihat isinya. Saat tiba di perkemahan yang sederhana, dia melihat seorang pria yang luar biasa. Kondisinya menunjukkan bahwa tangan dan kaki tidak berfungsi normal, telinganya sulit mendengar, matanya buta, dan kemampuannya berbicara terbatas. Meski begitu, dari lisan yang terbatas itu, pria itu berdoa kepada Tuhan untuk diberi ilham agar tetap bersyukur atas nikmat yang dimilikinya.

Lelaki itu mengucapkan, ‘Ya Allah, berikanlah aku inspirasi agar aku tetap dapat bersyukur atas nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, dan Engkau sangat memuliakan aku dari ciptaan-Mu yang lain.'”

Setelah itu, Abdullah bin Muhammad mendekati orang itu dan bertanya, “Saudaraku, nikmat Allah yang mana yang engkau syukuri?” Abdullah bertanya. Pria itu menjawab, “Saudaraku, diamlah. Demi Allah, jika Allah membawa lautan, pasti laut itu akan menenggelamkanku, atau gunung api yang pasti akan membakarku, atau langit yang pasti akan meremukkan. Aku tidak akan mengucapkan apapun selain rasa syukur.” Kemudian dia ditanya lagi, “Syukur atas apa?”

Dia juga mengatakan, “Tidakkah Anda melihat bahwa Dia telah memberikan saya lisan yang selalu berdzikir dan bersyukur. Selain itu, saya memiliki seorang anak yang selalu membimbing saya pergi ke masjid saat waktu sholat dan juga yang memberi makan saya. Namun, selama tiga hari terakhir ini, dia tidak pulang. Bisakah Anda membantu mencarinya?”

Mendengar perkataan pemilik kemah tersebut, Abdullah bin Muhammad akhirnya pergi untuk mencari anak laki-laki yang hilang. Setelah beberapa waktu berlalu, dia menemukan seorang jenazah yang dikelilingi oleh singa. Ternyata, anak dari pemilik kemah tersebut telah meninggal dunia akibat diserang oleh singa.

Kisah Abu Qilabah Sabahat Rasul-Abdullah merasa bingung tentang cara menginformasikan kepada pria tersebut. Akhirnya, ia kembali ke arah pria itu dan bertanya, “Saudaraku, pernahkah kau mendengar cerita tentang Nabi Ayub?” Pria itu kemudian menjawab,

“Iya, aku tahu kisahnya,” kata laki-laki itu. Lalu dia ditanya lagi, “Sesungguhnya Allah telah menguji dengan cobaan dalam soal hartanya. Bagaimana keadaannya menghadapi musibah itu?” Laki-laki itu menjawab, “Ia menghadapinya dengan sabar.” Abdullah melanjutkan pertanyaannya, “Wahai saudaraku, Allah juga menguji Ayub dengan kefakiran. Bagaimana keadaannya?” Sang laki-laki menjawab, “Ia bersabar.” Abdullah tidak berhenti di situ, dia terus bertanya kepada laki-laki tersebut, “Ia pun diuji dengan tewasnya semua anak-anaknya, bagaimana keadaannya?”

Kisah Abu Qilabah Sabahat Rasul-Kemudian, jawaban dari sang laki-laki masih tetap sama, “Ia tetap bersabar.” Pada pertanyaan terakhirnya, Abdullah bin Muhammad bertanya lagi kepada laki-laki itu, “Bagaimana keadaan penyakit di badannya?”. Seperti yang sudah-sudah, pria itu lantas menjawab dan bertanya lagi, “Ia tetap bersabar. Sekarang, katakan di mana anakku?” Abdullah lantas menginfokan bahwasanya anaknya sudah diterkam dan dimakan oleh hewan buas. Kemudian Abdullah berkata lagi, “Sesungguhnya putramu sudah aku temukan di antara gundukan pasir dalam keadaan telah diterkam serta dimakan oleh hewan buas. Semoga Allah melipatgandakan pahala untukmu dan engkau bersabar.”

Mendengar berita bahwa putranya telah meninggal karena diserang oleh singa, pria yang memiliki kemah ini malah mengucapkan Alhamdulillah. Dia berkata, “Alhamdulillah, semoga Allah tidak meninggalkan keturunan yang berdosa di sisiku, sampai-sampai mereka tak menerima hukuman di neraka.”

Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, pria tersebut mengambil napas dalam-dalam sebelum akhirnya meninggal dunia. Abdullah bin Muhammad ikut membantu dalam proses pembaringan jenazahnya. Karena hanya ada satu orang yang membantunya, mereka akhirnya menutupi jenazah dengan jubah untuk sementara waktu. Tidak lama kemudian, datanglah empat pria yang berkendara kuda. Keempatnya segera bertanya tentang kejadian tersebut. Abdullah dengan cepat menceritakan apa yang terjadi dan meminta bantuan mereka dalam mengurus jenazah pria itu.

Keempat orang tersebut mulai bertanya-tanya tentang identitas jenazah yang telah meninggal. Abdullah dengan rendah hati menyampaikan bahwa ia tidak dapat mengidentifikasi orang tersebut, sebab ia hanya pernah melihat laki-laki itu saat dalam kondisi sakit dan lemah. Karena rasa penasaran yang mendalam, keempat laki-laki tersebut memohon agar penutup wajah jenazah itu diangkat. Saat penutup itu terbuka, mereka semua terkejut dan hampir bersamaan mereka mencium dan menangisi jenazah tersebut. Mereka lalu berkata dengan kagum, “Subhanallah, ini adalah wajah yang senantiasa bersujud kepada Allah. Mata yang selalu tunduk pada larangan-Nya. Tubuhnya selalu bersujud ketika orang lain tidur.”

Abdullah bertanya apakah mereka mengenali mayat tersebut. Keempat pria tersebut menjawab bahwa mayat yang telah meninggal itu adalah Abu Qilabah, salah satu sahabat Nabi. Abu Qilabah pernah ditawari jabatan hakim namun ia menolaknya. Meskipun jabatan hakim dianggap sangat mulia saat itu, Abu Qilabah malah memilih untuk pergi ke Mesir dan akhirnya meninggal dalam keadaan seperti itu.

Setelah itu, Abdullah bin Muhammad bersama dengan keempat laki-laki lainnya mengurus jenazahnya. Mereka memandikannya, mengkafankannya, menyalatkannya, dan akhirnya menguburkannya. Subhanallah, begitu besar kesabaran Abu Qilabah. Ia tidak hanya bersabar, tetapi juga selalu bersyukur kepada Allah atas semua ujian yang ia hadapi.

Dari kisah ini, kita dapat mengambil pelajaran bahwa tak peduli seberapa besar masalah atau cobaan yang kita alami, kita harus tetap bersabar dan senantiasa bersyukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas setiap berkah dan karunia yang kita terima. Itulah kisah Abu Qilabah sahabat Rasul yang pandai bersyukur.

Baca juga : Sejarah Masjid Bilal Bin Rabbah

Butuh Bantuan ?