Kisah Khalid Bin Walid Sang Panglima Perang Islam

Kisah Khalid Bin Walid Sang Panglima Perang IslamKhalid bin Walid terkenal sebagai seorang panglima perang yang tangguh dan berani. Gelar yang disandangnya adalah Saifullah atau Pedang Allah yang Terhunus. Seiring perjalanan kariernya, dia memimpin pasukan Muslim yang menakutkan dalam medan perang. Berikut ini kisah Khalid bin Walid sang panglima perang Islam selengkapnya.

Dalam sejarah, Khalid bin Walid dikenal sebagai seorang pahlawan yang gigih mempertahankan umat Islam. Beliau adalah saudara dekat dari Rasulullah dan Umar bin Khattab. Salah satu dari pertempuran terbesarnya adalah Perang Yarmuk, di mana beliau memimpin pasukan Muslim melawan pasukan Romawi yang sangat terlatih dan dilengkapi dengan persenjataan yang kuat.

Menurut buku Kisah Seru para Sahabat Nabi, pedang yang dikenakan oleh Khalid bin Walid disimpan di museum Topkapi, Istanbul, Turki. Selain itu, museum tersebut juga menampilkan artefak sejarah lainnya seperti pedang yang pernah digunakan oleh Rasulullah SAW dan Ali bin Abi Thalib.

Kisah Khalid Bin Walid

Khalid bin Walid dilahirkan pada tahun 585 Masehi. Ayahnya ialah Al Walid bin Al Mughirah dan ibunya adalah Lubabah binti Al Harits. Dia dikenal sebagai Pedang Allah, panglima perang yang tak terkalahkan.

Khalid bin Walid berasal dari keluarga berkecukupan. Sejak kecil, dia telah melatih dirinya dalam gulat dan memberikan kontribusi pada pekerjaan keluarganya. Khalid juga memperdalam kemahirannya dalam bermain pedang, memanah, dan menguasai berkuda. Selain itu, dia juga terampil dalam merancang strategi perang.

Saat Khalid bin Walid mulai memasuki masa dewasa, menitikberatkan perhatiannya pada perang, taktik, serta strategi-strategi pertempuran yang akhirnya memperoleh kepercayaan untuk menjadi panglima perang. Di awal karir kepemimpinannya dalam dunia militer, ia dikenal sebagai pemimpin pasukan Quraisy.

Baca juga : Kisah Sahabat Nabi Abu Ubaidillah Bin Jarrah

Pasukan tersebut berjuang melawan umat Muslim. Saat pertempuran Uhud, pasukan Muslim yang hampir meraih kemenangan malah menderita kekalahan yang telak. Hal ini disebabkan oleh kemampuan Khalid bin Walid dalam membaca situasi pada pertempuran Uhud.

Pasukan Muslim mengalami kekalahan karena mereka yang bertugas sebagai pemanah sedang berjaga di atas bukit. Ketika mereka melihat harta rampasan perang, mereka turun dari pos penjagaan mereka, sehingga memungkinkan pasukan Quraisy untuk mengubah situasi pertempuran.

Setelah perang Uhud berakhir, Khalid bin Walid datang kepada Rasulullah S.A.W dan memeluk agama Islam. Setelah itu, dia menjadi panglima perang utama bagi kaum Muslim. Dengan strategi dan kecerdasannya, Khalid berhasil memenangkan beberapa pertempuran penting bagi kaum Muslim, sehingga dia dijuluki “pedang Allah yang selalu terhunus”.

Sebelumnya, telah muncul pertanda-pertanda yang menunjukkan bahwa ia telah diberi hidayah oleh Allah SWT, yang menginspirasi rasa cinta terhadap Islam dalam diri Khalid serta membangkitkan kesadarannya akan kebenaran Islam. Pada akhirnya, beliau memilih untuk masuk agama Islam.

Pasukan Khalid berhasil meraih kemenangan terbesar dalam Pertempuran Yarmuk. Menurut kutipan dari buku “Kisah Seru Para Sahabat Nabi”, sekitar 46.000 pasukan Muslim berhasil mengalahkan pasukan Byzantium yang jumlahnya sekitar 240.000 orang, hampir enam kali lipat lebih banyak dari pasukan Muslim.

Khalid bin Walid Wafat

Di saat awal tahun 18 Hijriah atau sekitar tahun 639 Masehi, terjadi epidemi besar yang menyebar di wilayah Syria. Epidemi ini melanda hampir seluruh populasi Syria, termasuk para komandan utama Muslimin. Di antara komandan utama yang meninggal dunia akibat epidemi tersebut adalah Abu Ubaidilah, Syurahbil, Yazid, Dhirar, dan Khalid bin Walid.

Pada tahun 21 Hijriah atau 642 Masehi, Khalid bin Walid, seorang panglima terkemuka, meninggal dunia. Setelah kematiannya, harta yang ditinggalkannya diserahkan kepada khalifah Umar bin Khatab untuk dibagikan kepada kaum Muslimin.

Keteladanan Seorang Khalid Bin Walid

  1. Taubat yang diterima

Khalid bin Walid menunjukkan bahwa taubat yang tulus mampu mengubah jalan hidup seseorang. Meskipun awalnya berlawanan dengan Islam, taubatnya menjadi peristiwa penting dalam sejarah agama ini. Hal ini mengingatkan kita bahwa setiap orang, tak peduli seberapa besar dosanya, selalu memiliki peluang untuk bertaubat dan mendekatkan diri kepada Allah.

  1. Ketajaman Strategi Militer

Sebagai seorang panglima perang yang sangat terampil, Khalid bin Walid menonjolkan kemahiran dan kecerdikan strategisnya di medan pertempuran. Pengalaman belajar dari taktiknya dapat diadopsi dalam situasi kehidupan sehari-hari, terutama untuk menghadapi berbagai tantangan dengan kebijaksanaan dalam menyelesaikan masalah.

  1. Ketangguhan Dalam Menghadapi Rintangan

Menghadapi banyak rintangan dalam hidupnya, Khalid menunjukkan keteguhan dan keyakinannya pada Allah dengan terus mengatasi setiap ujian yang datang, tanpa menyerah.

  1. Ketegasan dalam Keislaman

Khalid bin Walid menampilkan keberanian dalam menerapkan prinsip-prinsip Islam setelah memeluk agama tersebut. Keberanian dan keteguhannya menjadi sumber inspirasi bagi umat Islam untuk mempertahankan keimanan mereka, bahkan ketika dihadapkan dengan cobaan dan hambatan.

Demikianlah kisah Khalid bin Walid sang panglima perang Islam yang dijuluki sebagai Pedang Allah, semoga dapat memetik hikmahnya dan dapat menambah wawasan bagi kita.

Baca juga : Destinasi Baru Museum Al Wahyu Di Mekah

Kisah Sahabat Nabi Abu Ubaidillah Bin Jarrah

Kisah Sahabat Nabi Abu Ubaidillah Bin JarrahKisah Abu Ubaidah bin Jarrah memberikan teladan yang berharga bagi kita. Dia adalah salah satu sahabat Nabi yang paling dipercayai karena kejujurannya yang luar biasa. Abu Ubaidah juga menjadi orang pertama di antara para sahabat Nabi yang memeluk Islam. Berikut ini kisah sahabat Nabi Abu Ubaidillah Bin Jarrah selengkapnya.

Abu Ubaidah selalu menampilkan senyum yang cerah di wajahnya. Matanya bercahaya dan sikapnya selalu ramah terhadap semua orang. Banyak yang merasa simpati padanya. Selain kelembutan sifatnya, dia juga sangat rendah hati dan pemalu. Namun, saat menghadapi urusan penting, dia sangat tangkas dan cekatan.

Abu Ubaidah bin Jarrah adalah seorang panglima perang terkemuka di kalangan kaum Muslim pada zamannya. Beliau juga termasuk di antara sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW yang dijamin masuk surga.

Meskipun namanya mungkin tidak sepopuler Khalid bin Walid, Abu Ubaidah tetap diakui sebagai salah satu panglima perang Muslim terbaik yang telah memberikan kontribusi besar bagi kemajuan umat Islam. Selain keahliannya dalam peperangan, Abu Ubaidah juga dikenal sebagai ahli yang kompeten di berbagai bidang lainnya. Salah satu julukan yang melekat padanya adalah Aminul Ummah atau Kepercayaan Umat.

Baca juga : Destinasi Baru Museum Al Wahyu Di Mekah

Biografi Abu Ubaidillah bin Jarrah

Abu Ubaidah, yang memiliki nama lengkap Amir bin Al Jarrah bin Hilal Al-Fahri Al-Quraisy, lahir sekitar 30 tahun sebelum kenabian Nabi Muhammad SAW. Abu Ubaidah menunjukkan ciri fisik berupa tubuh tinggi dan kurus. Di samping itu, sikapnya juga ditandai oleh rendah hati dan kebijaksanaan.

Sebelum memeluk Islam, beliau terkenal sebagai salah satu bangsawan Quraisy yang rendah hati dan berani. Ketika baru saja memeluk Islam, Abu Ubaidah juga menghadapi tekanan dari keluarganya untuk meninggalkan agama tersebut. Namun, segala upaya yang dilakukan untuk mengubahnya tidak berhasil. Pada akhirnya, Abu Ubaidah tetap memilih jalur yang diyakininya sebagai seorang muslim.

Ia, sebagai bagian dari umat Muslim pertama di Mekah, juga mengalami hinaan dan penindasan yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy, mirip dengan yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW. Kemudian, pada tahun 623 Masehi, Abu Ubaidah mengikuti Nabi Muhammad dalam hijrah dari Mekah ke Madinah.

Menjadi Orang Kepercayaan Rasulullah SAW

Kisah Sahabat Nabi Abu Ubaidillah Bin Jarrah-Abu Ubaidah bin al Jarrah adalah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang dikenal dengan banyak tugas penting yang dipercayakan kepadanya, karena beliau adalah salah satu sahabat yang sangat dipercaya oleh Nabi.

Abu Ubaidah, yang termasuk dalam golongan Assabiqunal Awwalun, juga memiliki tingkat ketaatan dan keimanan yang tinggi. Oleh karena itu, ia termasuk dalam sepuluh sahabat Nabi yang telah dijamin masuk surga.

Setelah memeluk agama Islam, Abu Ubaidah tetap gigih berjuang di jalan Allah SWT dan terus menjadi fisabilillah. Bahkan, ia aktif terlibat dalam berbagai pertempuran, turun langsung dari satu medan perang ke medan perang lainnya.

Membunuh Ayahnya Dalam Perang Badar

Kisah Abu Ubaidah bin Jarrah yang paling menarik perhatian saat Perang Badar adalah saat ia bertemu dengan ayahnya sendiri yang menjadi musuh. Anda perlu ketahui bahwa Ayah Abu Ubaidah tidak memiliki iman dan taqwa sebagaimana anaknya. Bahkan, dia menantang anaknya dalam pertempuran Badar ini.

Saat bertempur melawan Abu Ubaidah, yang merupakan putranya sendiri, ayah itu merasa terdesak. Setelah menerima banyak luka dalam pertempuran, ayah itu akhirnya dibunuh oleh Abu Ubaidah.

Abu Ubaidah adalah orang yang memiliki akhlak yang mulia. Ketika berhadapan dengan ayahnya dalam pertempuran, dia menunjukkan keberanian dan kekuatan yang berasal dari Allah SWT.

Allah SWT memberikan kekuatan kepada Abu Ubaidah sehingga dia berani membunuh ayahnya sendiri. Tanpa iman yang kokoh, kejadian tersebut tidak akan terjadi. Kisah kejujuran, amanah, dan ketaatan Abu Ubaidah bin Jarrah adalah contoh yang layak bagi kita untuk dijadikan teladan dalam kehidupan kita.

Keteladanan Abu Ubaidillah bin Jarrah

  • Memiliki Sifat Amanah dan Jujur

Abu Ubaidah memiliki sifat yang sangat jujur dan amanah. Kepemimpinannya dalam Perang Khabath dipilih oleh Rasulullah SAW karena sifat tersebut. Selain itu, Abu Ubaidah juga diperintahkan untuk pergi ke Yaman guna menyebarkan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah.

Abu Ubaidah tidak hanya menjadi satu-satunya sahabat Nabi Muhammad SAW yang memiliki kesempatan untuk bekerja dan berdakwah di luar Madinah, tetapi dia juga akhirnya menjadi seorang pemimpin umat di wilayah Syam.

  • Sabar Menjalani Hidup

Selama hidupnya sebagai seorang Muslim, Abu Ubaidah sering kali menghadapi masa-masa yang sangat menderita karena sering mendapat perlakuan yang kejam dan menindas dari kaum Quraisy.

Penindasan yang diterapkan oleh kaum Quraisy di Makkah berlangsung mulai awal hingga akhir, menyebabkan Abu Ubaidah juga menderita bersama dengan kaum Muslim lainnya.

Namun, beliau masih kokoh dalam menghadapi segala ragam cobaan dan selalu bersikeras mendukung Rasulullah SAW dalam segala situasi.

  • Menolong Rasulullah pada Perang Uhud

Selanjutnya, Abu Ubaidah bin Jarrah ikut serta dalam Perang Uhud. Di medan perang, dia selalu berada di dekat Rasulullah SAW, siap melindungi beliau dari ancaman kaum musyrikin yang ingin mencelakainya.

Ketika Rasulullah SAW terluka, Abu Ubaidah selalu datang untuk memberikan pertolongan dengan cepat. Bahkan, dalam suatu peperangan, pipi Rasulullah SAW tertancap dua perisai, dan Abu Ubaidah segera mencopotnya meskipun akhirnya dua giginya patah.

Itulah kisah sahabat Nabi Abu Ubaidillah bin Jarrrah, semoga kisah ini dapat menginspirasi untuk kita yang memiliki sifat jujur dan amanah serta sabar dalam menjalani ujian hidup ini.

Baca juga : Kisah Sahabat Rasul Sa’id Bin Zaid

Kisah Sahabat Rasul Sa’id Bin Zaid

Kisah Sahabat Rasul Sa'id Bin ZaidKisah-kisah para Sahabat Nabi Muhammad SAW merupakan teladan bagi umat Islam di masa berikutnya. Sampai saat ini, narasi tentang para sahabat Rasulullah SAW tetap menjadi sumber inspirasi yang berharga untuk membimbing kehidupan agar tetap sesuai dengan ajaran Islam. Berikut ini kisah sahabat Rasul Sa’id bin Zaid selengkapnya.

Orang-orang mulia adalah sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka dianggap yang termulia di tengah umat, dengan jumlah lebih dari seratus ribu. Namun, sepuluh di antara mereka dianggap yang paling mulia dan dikenal sebagai al-mubasyiruna bil jannah (orang-orang yang diberitakan masuk surga). Salah satu di antara sepuluh tersebut adalah Said bin Zaid radhiallahu ‘anhu.

Sa’id bin Zaid mungkin tidak sepopuler al-mubasyiruna bil Jannah yang lain, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan Abdurrahman bin Auf. Meskipun demikian, hal tersebut tidak mengurangi keagungan beliau. Pada kesempatan ini, mari kita eksplorasi ringkasan dari biografi Sa’id bin Zaid radhiallahu ‘anhu untuk lebih memahami kehidupan sahabat yang mulia ini.

Biografi Sa’id Bin Zaid

Nama lengkapnya adalah Said bin Zaid bin Amr bin Nufail bin Abdul Uzza al-Adawi, seorang keturunan dari kabilah yang sama dengan Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu. Ia lahir di Mekah 22 tahun sebelum hijrah dan termasuk di antara yang pertama kali memeluk Islam melalui dakwah Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu.

Said bin Zaid menikah dengan Fatimah binti al-Khattab radhiallahu ‘anha, adik dari Umar. Sementara itu, Umar menikahi saudarinya, Atikah binti Zaid. Ayah mereka, Zaid bin Amr bin Nufail, adalah seorang yang hanif.

Di zaman jahiliyah sebelum munculnya kenabian, dia terkenal sebagai individu yang teguh memegang ajaran agama Ibrahim, tidak melakukan sujud kepada berhala, dan tidak mengikuti ritual sembelihan yang ditujukan kepada berhala.

Baca juga : 16 Makanan Khas Arab Saudi

Sa’id Bin Zaid Memeluk Islam

Sa’id bin Zaid merupakan salah satu yang memeluk agama Islam sebelum Umar bin Al-Khattab. Kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia telah memeluk Islam sebelum pertemuan di Darul Arqam dan sebelum beliau menyampaikan dakwah di tempat tersebut. Fathimah binti Khatthab, istrinya, juga ikut memeluk Islam bersamanya.

Sa’id adalah salah satu dari mereka yang ikut dalam awal hijrah ke Madinah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan Sa’id bin Zaid bersaudara dengan Rafi’ bin Malik Az-Zarqi.

Pada saat ia memeluk agama Islam, usianya masih di bawah 20 tahun. Selain ikut serta dalam Pertempuran Badar, ia juga berpartisipasi dalam setiap peperangan bersama Rasulullah. Saat itu, dia sedang melaksanakan tugas penting lain yang diberikan oleh Rasulullah kepadanya.

Bersama kaum Muslimin, dia ikut serta dalam mencabut takhta Kisra Persia dan menggulingkan Kekaisaran Romawi. Dalam setiap pertempuran yang dihadapi oleh kaum Muslimin, penampilannya selalu mencerminkan reputasi yang terpuji.

Salah satu pencapaian luar biasa yang patut dicatat adalah yang terjadi selama Perang Yarmuk. Mari kita sejenak mendengarkan Sa’id menceritakan pengalaman tersebut.

“Sa’id mengungkapkan bahwa selama Perang Yarmuk, pasukan kami terdiri dari 24.000 tentara, sementara pasukan Romawi yang kami hadapi mencapai 120.000 tentara. Saat musuh mendekati kami, mereka maju dengan langkah-langkah mantap, seperti bukit yang bergerak oleh tangan-tangan tersembunyi.”

Sa’id meneruskan perjalanannya di depan barisan pendeta, perwira tinggi, panglima, dan paderi yang membawa kayu salib, sembari menguatkan suara dalam membacakan doa. “Doa tersebut dikumandangkan berulang-ulang oleh para tentara yang mengikuti di belakang mereka dengan suara menggema,” katanya.

Ketika pasukan Muslim melihat musuh mereka dalam keadaan demikian, sebagian besar dari mereka merasa terkejut, dan rasa takut pun muncul di dalam hati mereka. Abu Ubaidah bin Jarrah kemudian bangkit untuk membangkitkan semangat jihad di antara mereka. Ia berkata, “Wahai hamba-hamba Allah, dukunglah agama Allah! Pasti Allah akan membantu kalian dan memberikan kekuatan kepada kalian!”

“Hai para hamba Allah, kuatkanlah tekad dalam hati kalian! Sebab keteguhan hati merupakan jalur keluar dari kekafiran, jalan untuk meraih keridhaan Allah, dan penolak kehinaan. Persiapkan senjata dan perlindungan! Tetaplah bersikap tenang dan diam! Kecuali dalam berdzikir kepada Allah di dalam hati masing-masing. Tunggulah petunjuk selanjutnya dari saya, dengan izin Allah!” seru Abu Ubaidah dengan penuh semangat.

Tanpa diduga, seorang prajurit Muslim keluar dari barisan dan menyampaikan kepada Abu Ubaidah, “Saya ingin mencapai syahid sekarang. Apakah ada pesan yang ingin Anda sampaikan kepada Rasulullah?”

Abu Ubaidah dengan tegas menjawab, “Tentu, sampaikan salam saya dan salam dari kaum Muslimin kepada beliau. Katakan padanya bahwa apa yang dijanjikan oleh Tuhan kami telah terbukti benar!”

Setelah mengucapkan kata-katanya, Sa’id menatap prajurit yang mengeluarkan pedang dan melanjutkan langkahnya menyerang lawan-lawan Allah. Sa’id pun mengikuti jejaknya, melemparkan diri ke tanah, dan bangkit berlutut. Ia kemudian mengarahkan lembingnya dengan cermat dan menikam salah satu dari musuh-musuhnya.

“Tanpa disadari, ketakutan secara alami menghilang dalam hati saya. Pasukan Muslim bangkit menyerang pasukan Romawi. Perang berkobar dengan intensitas tinggi. Pada akhirnya, Allah memberikan kemenangan kepada umat Muslim,” ujar Said.

Setelah itu, Sa’id bin Zaid ikut berpartisipasi dalam pertempuran untuk merebut Damaskus. Setelah berhasil merebut Damaskus, komunitas Muslim menunjukkan kesetiaan mereka, dan Abu Ubaidah bin Jarrah menunjuk Sa’id sebagai walikota di kota tersebut. Sa’id menjadi walikota pertama dari kalangan Muslim setelah kota itu berhasil ditaklukkan.

Do’a Yang Mustajab

Selama pemerintahan Bani Umayyah, isu yang berkepanjangan muncul di kalangan warga Madinah mengenai Sa’id bin Zaid. Arwa binti Umais, seorang perempuan, menuduh Sa’id merampas tanahnya dan menyatukannya dengan tanah Sa’id.

Perempuan tersebut menyebarluaskan tuduhannya kepada seluruh kaum Muslimin dan melaporkan perkaranya kepada Marwan bin Hakam, yang menjabat sebagai Walikota Madinah pada saat itu. Marwan mengutus beberapa petugas untuk menanyai Sa’id mengenai tuduhan yang diajukan oleh perempuan tersebut. Sa’id, sahabat Rasulullah, merasa prihatin atas tuduhan yang dilemparkan padanya.

Tak lama kemudian, sebuah banjir besar terjadi, suatu kejadian yang belum pernah terjadi sebelumnya. Akibatnya, tanda batas tanah antara Sa’id dan Arwa, yang sebelumnya menjadi sumber perselisihan, terbuka. Kaum Muslimin memperoleh bukti bahwa Sa’id adalah yang benar, sementara tuduhan palsu perempuan itu terbantahkan.

Hanya dalam waktu satu bulan setelah kejadian itu, perempuan tersebut kehilangan penglihatannya. Saat ia berjalan meraba-raba di tanah yang menjadi sengketa, akhirnya ia terjatuh ke dalam sumur. Abdullah bin Umar menyampaikan, “Saat kami masih kecil dulu, kami sering mendengar orang mengutuk orang lain dengan kalimat, ‘Dibutakan Allah kamu seperti Arwa.'”

Peristiwa tersebut sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Hal ini dikarenakan Rasulullah SAW pernah menyampaikan, “Hindarilah doa orang yang dizalimi, karena antara orang yang dizalimi dan Allah tidak ada hijab (penghalang).” Apalagi jika yang mengalami perlakuan tidak adil tersebut adalah salah satu dari sepuluh sahabat Rasulullah yang telah dijamin masuk surga, yaitu Sa’id bin Zaid.

Itulah kisah sahabat Rasul Sa’id bin Zaid, semoga dapat mengambil hikmah dan meneladani dari kisah beliau, semoga bermanfaat.

Baca juga : Sejarah Palestina Dan Keistimewaannya

Kisah Sahabat Rasul Sa’ad Bin Abi Waqash

Kisah Sahabat Rasul Sa'ad Bin Abi WaqashSa’ad bin Abi Waqqas, yang juga dikenal sebagai Sa’ad bin Malik, adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW. Ia merupakan orang ketujuh yang memeluk Islam dan mengambil keputusan itu pada usia tujuh belas tahun. Sa’ad termasuk dalam golongan yang pertama memeluk Islam, atau yang dikenal sebagai assabiqunal awwalun. Inilah kisah sahabat Rasul Sa’ad bin Abi Waqash selengkapnya.

Kepemimpinan Sa’ad bin Abi Waqqas mencuat terutama dalam Pertempuran Al-Qadisiyyah dan perjalanannya ke Tiongkok pada tahun 651. Secara tradisional, umat Islam di China mengakui kontribusinya dalam memperkenalkan Islam ke negara tersebut selama masa pemerintahan Kaisar Gaozong dari Dinasti Tang.

Sa’ad bin Abi Waqqas menyandang berbagai keutamaan dan keistimewaan, termasuk sebagai salah satu dari sepuluh individu yang Rasulullah SAW jamin masuk surga. Doanya pun diterima dengan penuh keistimewaan, sebab Rasulullah SAW pernah mendoakan agar segala doa yang diucapkan oleh Sa’ad senantiasa dikabulkan oleh Allah SWT.

Baca juga : 5 Amalan Sunnah Di Bulan Rajab

Profil Sa’ad Bin Abi Waqash

Sa’ad bin Abi Waqqas berasal dari suku Bani Zuhrah yang merupakan bagian dari suku Quraisy. Ia adalah paman dari Nabi Muhammad SAW melalui garis keturunan ibunya. Kelahiran Sa’ad bin Abi Waqqas terjadi di Makkah pada tahun 595.

Ayahnya adalah Abu Waqqas Malik bin Uhaib bin Abdu Manaf bin Zuhrah, yang berasal dari klan Bani Zuhrah dari suku Quraisy. Uhaib bin Abdu Manaf juga merupakan paman dari pihak ayah Aminah binti Wahab, ibu Nabi Muhammad. Ibunda Sa’ad bin Abi Waqqas bernama Hamnah binti Sufyan bin Umayyah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf.

Aminah binti Wahhab, Ibu Rasulullah SAW, berasal dari suku yang sama dengan Sa’ad, yaitu Bani Zuhrah. Karena itu, Sa’ad sering diidentifikasi sebagai Sa’ad dari Zuhrah. Sa’ad lahir dalam keluarga yang kaya dan terhormat. Sebagai seorang pemuda serius, dia memiliki pemikiran cerdas. Meskipun posturnya tidak terlalu tinggi, namun ia memiliki tubuh tegap dengan gaya rambut pendek.

Peranan Dalam Dakwah Islam

Sa’ad bin Abi Waqqas memainkan peran dan memberikan kontribusi yang signifikan dalam penyebaran Islam. Bersama Rasulullah SAW, ia aktif berpartisipasi dalam hampir semua peperangan untuk memperkuat agama Islam.

Sa’ad bin Abi Waqqas bahkan menjadi orang pertama yang melepaskan anak panah dalam pertempuran untuk membela Islam, sekaligus menjadi yang pertama kali terkena anak panah. Ia juga menjadi bagian dari pasukan berkuda dalam Pertempuran Bada dan Uhud, menunjukkan kesetiaan dan keberaniannya dalam melindungi dan memperjuangkan Islam.

Sa’ad bin Abi Waqqas adalah salah satu sahabat yang hidup dengan umur panjang. Ia meninggal pada usia 83 tahun dan mengalami kehidupan selama masa Rasulullah SAW, pemerintahan Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khattab, dan Khalifah Utsman bin Affan. Setelah wafatnya Nabi, Sa’ad tetap menjadi salah satu pasukan di bawah kepemimpinan Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Selama pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, Sa’ad bin Abi Waqqas dipilih untuk memimpin pasukan umat Islam dalam Pertempuran Kadisiah melawan Persia. Dibawah kepemimpinan Sa’ad bin Abi Waqqas, pasukan Islam berhasil mengalahkan pasukan Kerajaan Persia. Kemenangan ini menjadi momen krusial yang membuka jalan untuk penyebaran Islam di wilayah Persia.

Pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan, Sa’ad bin Abi Waqqas diberi tugas untuk memimpin delegasi menuju China. Menurut buku Perkembangan Islam di Tiongkok (Ibrahim Tien Ying Ma, 1979), peristiwa ini dianggap sebagai awal dari upaya dakwah Islam di negeri tirai bambu.

Peranan Sa’ad Bin Abi Waqash Dalam Perang Islam

Sa’ad bin Abi Waqqas dipandang sebagai pionir yang pertama kali melepaskan anak panah dalam membela agama Allah. Dalam setiap pertempuran yang melibatkan kehadirannya, pasukan merasakan ketenangan, hal ini tidak hanya disebabkan oleh kebrilian Sa’ad di medan perang yang membuat musuh terkejut, melainkan juga oleh kedalaman ketakwaannya yang membangkitkan ketenangan di hati para sahabat. Pada perang Qadishiyyah, Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a. menunjuk Sa’ad bin Abi Waqqas sebagai Panglima Perang untuk menghadapi pasukan Persia.

Sa’ad dikenal sebagai seorang pemanah terkemuka karena dialah orang Muslim pertama yang melepaskan anak panah untuk berjuang di jalan Allah. Ia menyatakan, “Demi Allah, saya adalah orang pertama yang melepaskan anak panah di jalan Allah.”

Kejadian tersebut berlangsung saat Rasulullah SAW mengirim enam puluh orang ke Makkah yang dipimpin oleh Ubaidah bin Haris. Mereka dikirim karena kaum kafir Quraisy sering melanggar isi Perjanjian Hudaibiyah. Akhirnya, terjadi perundingan dengan pihak kafir Quraisy yang menghasilkan kesepakatan damai, mencegah terjadinya pertempuran yang tidak seimbang pada saat itu.

Meskipun begitu, terdapat insiden bentrokan singkat saat beberapa anggota pasukan kafir Quraisy menyerang. Pada saat itu, Sa’ad bin Abi Waqqas, yang mengenakan senjata panah dengan penuh keberanian, melepaskan anak panahnya sebagai tindakan pembelaan terhadap agama Allah.

Anak panah tersebut merupakan yang pertama kali ditembakkan, menunjukkan keteguhan Sa’ad dalam setiap pertempuran yang diikuti bersama Rasulullah. Bahkan setelah wafatnya Nabi SAW, Sa’ad tetap menjadi prajurit tepercaya di bawah pemerintahan para khalifah.

Itulah kisah sahabat Rasul Sa’ad bin Abi Waqash, yang ikut berperan dalam menyebarkan agama Islam dan berjuang di jalan Allah, semoga bermanfaat.

Baca juga : Kisah Zubair Bin Awwam Dan Keteladanannya

Kisah Zubair Bin Awwam Dan Keteladanannya

Kisah Zubair Bin Awwam Dan KeteladanannyaZubair bin Awwam, yang merupakan sahabat paling setia Nabi Muhammad SAW, memiliki hubungan darah dengan Rasulullah SAW. Kenaikan derajatnya terjadi sebagai hasil dari perjuangan dan pengabdian yang tulus kepada Allah SWT, Rasul, dan agama yang sangat dicintainya. Berikut ini kisah Zubair bin Awwam dan keteladanannya selengkapnya.

Zubair terkenal sebagai seorang komandan perang Islam yang berani dan kuat. Ia juga dihormati di kota Mekkah karena keahliannya dalam perdagangan.

Zubair selalu menghadapi banyak hambatan dalam upayanya untuk mempertahankan kebenaran agama Islam. Meskipun demikian, ia tetap menjadi individu yang berani dan teguh dalam prinsip-prinsipnya.

Artikel ini akan merinci lebih lanjut mengenai Zubair, salah satu sahabat Rasulullah yang paling setia. Untuk memahami lebih mendalam tentang Zubair, mari kita ikuti kisahnya yang disajikan di bawah ini.

Baca juga : Kisah Sahabat Rasul Thalhah Bin Ubaidillah

Kisah Zubair Bin Awwam

Menurut buku “10 Sahabat Rasul Penghuni Surga” yang disusun oleh Ariany Syurfah, Zubair memiliki nama lengkap Abu Abdullah Zubair ibn Awwam ibn Khuwaylid ibn Asad ibn Abdul Uzza ibn Qusayy ibn Kilab al Qurashi al Asadi. Kelahirannya terjadi pada tahun 594 di Mekkah, dan ia merupakan putra dari Awwam ibn Khuwaylid dan Safiyyah binti Abd al-Muttalib.

Zubair, yang merupakan keponakan dari Khadijah binti Khuwaylid dan sepupu pertama Muhammad, memeluk agama Islam pada usia 15 tahun, menjadikannya salah satu dari tujuh orang pertama yang memeluk agama tersebut.

Pada usia yang masih muda, Zubair sudah mendapatkan bimbingan, pencerahan, dan kebaikan, serta keahlian dalam menunggang kuda. Keberanian, kedermawanan, dan pengorbanan yang membara dalam diri Zubair berasal dari sikap tawakalnya yang sepenuhnya kepada Allah SWT.

Zubair menjalankan aktivitas sehari-harinya dengan berdagang sambil menyampaikan dakwah kepada siapa pun yang ia temui. Apabila perintah untuk berperang diumumkan, ia akan segera bergabung dan terlibat dalam pertempuran.

Peranan Zubair Bin Awwam Pada Perang Islam

Dikutip dalam buku “10 Orang Pertama yang Memeluk Islam” karya Rhea Ilham Nurjanah dan beberapa sumber lainnya, Zubair sering mengalami gangguan dan hambatan selama perjalanan memperkenalkan agama Islam kepada masyarakat sekitarnya.

Setelah kepergian ayahnya, Zubair diasuh oleh pamannya, Naufal bin Khuwailid, yang juga merupakan tokoh terkemuka dan pahlawan Quraisy yang sangat terkenal. Bahkan, pamannya dianugerahi gelar “Singa Quraisy” oleh orang-orang kafir Quraisy. Pamannya yang marah dengan penuh kejam mengurung Zubair dalam sebuah kurungan berisi asap api yang sedang menyala, karena Zubair menunjukkan kecintaan dan pengabdian kepada Rasulullah SAW.

Pamannya berencana melepaskan Zubair jika ia mau meninggalkan Islam dan kembali menyembah berhala. Meskipun demikian, Zubair tetap kukuh pada keyakinannya dan menolak tawaran tersebut. Keputusan ini mengejutkan Zubair, mengingat rasa kasih sayang yang mendalamnya terhadap pamannya.

Dalam berbagai pertempuran, Zubair memberikan kontribusi yang sangat signifikan, seperti dalam Pertempuran Uhud. Saat itu, Zubair bin Awwam selalu setia mendampingi dan melindungi Rasulullah, serta menjadi salah satu individu yang patuh terhadap perintah Rasulullah. Meskipun dalam pertempuran ini, saudara kandungnya, Hamzah, meninggal dunia.

Selama Perang Khandaq, situasi kaum Muslimin berada dalam keadaan sulit. Keadaan semakin memburuk ketika kaum Yahudi melanggar perjanjian mereka dengan Rasulullah SAW. Dalam menghadapi situasi yang sangat menakutkan itu, tidak ada seorang pun dari kaum Muslimin yang memiliki keberanian untuk keluar dan menghadapi musuh.

Hanya Zubair satu-satunya yang memiliki keberanian dan tekad yang kuat untuk mengajukan dirinya kepada Rasulullah SAW agar dapat turut serta dalam Perang Khandaq. Keberanian dan keteguhannya sangat membanggakan Rasulullah SAW.

Setelah wafatnya Rasulullah SAW, kepemimpinan umat Islam diserahkan kepada Abu Bakar ash-Shiddiq dan kemudian dilanjutkan oleh Umar bin Khattab. Saat itu, Zubair menonjol sebagai salah satu prajurit Islam yang tangguh, selalu berada di barisan terdepan dalam upaya menaklukkan kaum Musyrikin.

Zubair Bin Awwam Wafat

Zubair bin Awwam meninggal pada usia 66 atau 67 tahun, tepatnya pada bulan Rabiul Awal tahun 36 H. Kepergiannya disebabkan oleh tusukan yang dilakukan oleh seorang pendukung Ali bin Abi Thalib yang bernama Amr bin Jurmuz saat Zubair sedang menjalankan shalat.

Setelah membunuh Zubair bin Awwam, Amr bin Jurmuz membawa pedang Zubair untuk diperlihatkan kepada Ali bin Abi Thalib dengan harapan agar Ali merasa gembira. Akan tetapi, Ali segera mengusirnya setelah mengetahui bahwa Amr adalah pelaku di balik pembunuhan Zubair.

Keteladanan Zubair Bin Awwam

  1. Istiqomah Memeluk Islam

Zubair, sebagai generasi pertama dalam keluarganya yang memeluk agama Islam, menghadapi kemarahan besar dari pamannya yang berencana untuk mencelakainya. Meskipun demikian, keyakinan Zubair tidak tergoyahkan, dan ia tetap setia pada pilihannya.

  1. Menghunuskan Pedang Petama di Jalan Allah

Aurah dan Ibnu al-Musayyib menyatakan bahwa Zubair adalah individu pertama yang berani menarik pedangnya dalam perjuangan di jalan Allah SWT. Tindakan tersebut dilakukannya terhadap individu-individu yang mengganggu Nabi Muhammad SAW.

  1. Pembawa Kabar Hasil Perang Raja Najasyi

Ketika umat Islam melakukan hijrah ke wilayah Habasyah (Ethiopia), mereka juga tengah menyaksikan konflik antara Raja Najasyi dan kelompok pengikutnya yang melakukan pengkhianatan. Perang ini bermula karena sang raja memutuskan untuk memberikan perlindungan kepada kaum Muslim.

Sebelum rombongan sampai di Ethiopia, umat Islam berkeinginan untuk memperoleh informasi mengenai perkembangan perang. Dengan tekad yang kuat, Zubair memutuskan untuk menyeberangi sungai Nil dengan menggunakan balon, meskipun pada saat itu beliau tidak memiliki keterampilan berenang.

Akhirnya, berkat keberanian tersebut, rombongan menerima kabar gembira tentang kemenangan Raja Najasyi. Inilah yang membuat umat Islam dapat lebih mudah dan aman memasuki Habasyah.

  1. Memecah Kekuatan Malik Bin Auf

Perang Hunain berhasil merusak kekuatan umat Muslim melalui perangkap-perangkap yang terpasang di dalam gua. Kehadiran Zubair berhasil memecah kekuatan pemimpin kelompok Hawaza dalam pertempuran, yang dipimpin oleh Malik bin ‘Auf. Sebagai hasilnya, dengan perlahan kekuatan umat Islam mulai bangkit kembali, dan akhirnya mereka berhasil mengalahkan pasukan Malik bin ‘Auf.

  1. Setia Dalam Militer

Zubair bin Awwam turut serta dalam setiap kampanye militer, terlibat dalam beberapa pertempuran signifikan seperti Khaybar, Palung, Yarmuk, Badar, Uhud, dan bahkan dalam pembebasan Makkah. Pada masa itu, perang diizinkan karena motif yang terdefinisi dengan jelas.

Dalam Al-Qur’an, pada ayat 39 surah al-Hajj dijelaskan bahwa izin untuk berperang diberikan sebagai respons terhadap penganiayaan yang dialami oleh umat Islam. Namun, perang hanya diizinkan jika umat Islam menjadi sasaran serangan terlebih dahulu. Jika tidak ada ancaman atau serangan terhadap umat Islam, maka pelaksanaan perang tidak diperbolehkan. Al-Qur’an juga menyampaikan petunjuk mengenai tata cara berperang.

Itulah kisah Zubair Bin Awwam dan keteladanannya sebagai salah satu sahabat setia dari Rasulullah SAW, semoga bermanfaat.

Baca juga : Sejarah Masjid Al Aqsa Dan Bagian-bagiannya

Kisah Abdurrahman Bin Auf Dan Keteladanannya

Kisah Abdurrahman Bin Auf Dan KeteladanannyaAbdurrahman bin Auf adalah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang dikenal memiliki kekayaan yang melimpah. Kekayaannya diperoleh melalui keahliannya dalam berdagang, dan beliau selalu gigih dalam beramal dengan tidak pernah lupa untuk bersedekah. Kisah inspiratif Abdurrahman bin Auf menjadi teladan bagi umat Muslim di berbagai penjuru dunia. Dalam artikel berikut akan diulas kisah Abdurrahman bin Auf dan keteladanannya.
Abdurrahman bin Auf adalah putra dari Auf bin Abdul Auf al-Harith dan Siti as-Syifa, yang dikenal sebagai orang yang gemar memerdekakan budak. Istrinya bernama Ummu Hurayth.

Sebelum masuk Islam, Abdurrahman dikenal dengan nama Abdu Amr atau Abdul Ka’bah. Ia terkenal karena memiliki toleransi yang tinggi terhadap orang lain dan berhasil menjauhkan diri dari praktik penyembahan berhala yang umum di kalangan sukunya. Abdurrahman juga cepat menerima kebenaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, dan termasuk dalam golongan yang meresapi ajaran Islam ketika disebarluaskan secara rahasia oleh Nabi Muhammad SAW.

Pada suatu hari di Madinah, terdapat seorang anggota masyarakat Anshar yang dikenal dengan kekayaannya, yaitu Sa’ad. Beliau memberikan sejumlah harta kepada Abdurrahman bin Auf. Namun, pada saat itu, tawaran tersebut tidak diterima, dan Abdurrahman bin Auf malah menanyakan informasi tentang lokasi pasar di Madinah.

Setelah dilakukan penyelidikan lebih lanjut, ternyata terungkap bahwa harga sewa pasar di Madinah sangat tinggi. Meskipun banyak orang yang tertarik untuk berbisnis, namun terkendala oleh keterbatasan dana untuk menyewa tempat.

Baca juga : Kisah Sahabat Rasul Zaid Bin Haritsah

Abdurrahman bin Auf cerdas dalam memanfaatkan peluang tersebut dengan mengambil inisiatif untuk membeli tanah dan mengubahnya menjadi kavling-kavling. Beliau membangun kavling-kavling tersebut dan memberikannya kepada para pedagang tanpa meminta pembayaran sewa. Abdurrahman bin Auf mengimplementasikan sistem bagi hasil untuk memastikan keadilan dalam penggunaan tanah tersebut.

Abdurrahman bin Auf pernah melakukan amal dengan membeli kurma yang hampir busuk dari para sahabat di Madinah. Mengetahui hal tersebut, para pedagang turut merasa bahagia karena kurma mereka berhasil terjual. Abdurrahman bin Auf juga ikut bergembira dan berharap agar uang yang dimilikinya habis.

Namun tiba-tiba, seorang utusan dari Yaman muncul dan menginformasikan keinginannya untuk membeli kurma yang sudah busuk. Menurut Raja dari utusan Yaman tersebut, kurma dianggap sebagai salah satu obat yang dapat menyembuhkan penyakit menular tersebut.

Karena kurma yang diinginkannya tersedia, Abdurrahman bin Auf sebagai utusan raja Yaman memutuskan untuk membeli seluruh stok kurma yang ada, membayar dengan harga 10 kali lipat dari harga biasanya. Tindakan ini justru membuat Abdurrahman bin Auf semakin kaya dan menghindarkan dirinya dari kemungkinan jatuh miskin.

Ketika Abdurrahman bin Auf dengan tulus melepaskan semua kekayaannya untuk mengalami kehidupan yang sederhana, Allah memberikan berkah harta yang melimpah padanya berlipat-lipat. Pada akhirnya, dia meninggal pada usia 72 tahun dan diakui sebagai salah satu dari 10 sahabat Nabi yang dijamin masuk surga.

Keteladanan Abdurrahman bin Auf

Dibawah ini adalah penjelasan mengapa kita seharusnya mengambil contoh dari karakter Abdurrahman bin Auf yang memiliki sifat dermawan :

  1. Selalu Mengingat Untuk Berbagi Harta dengan Mereka yang Membutuhkan

Kemurahan hati Abdurrahman bin Auf yang suka memberi kepada orang, tercermin dalam keahliannya dalam bidang perdagangan. Sebagai seorang pedagang yang berhasil, ia mampu meraih kekayaan yang signifikan. Meskipun begitu, Abdurrahman bin Auf tetap setia untuk berbagi sebagian dari kekayaannya kepada mereka yang membutuhkan.

  1. Selalu Siap Memberikan Bantuan Tanpa Keraguan

Abdurrahman bin Auf merupakan sosok yang selalu tegas dalam memberikan bantuan kepada sesama, baik melalui dukungan finansial maupun pemberian barang. Keberlimpahan kebaikan yang diberikannya tidak mengenal batas agama, tanpa memandang apakah penerima manfaatnya muslim atau non-muslim. Dengan tekad kuat, beliau selalu berusaha memberikan yang terbaik asalkan dapat membantu sesama.

  1. Meskipun Abdurrahman bin Auf memiliki kekayaan yang berlimpah, namun ia tetap tidak pernah melupakan orang miskin

Abdurrahman bin Auf secara rutin memberikan bantuan langsung kepada orang-orang yang kurang mampu dan anak yatim. Keinginan untuk beramal dan kebaikan beliau tetap bersinar sepanjang hidupnya. Hal ini menjadikan berkah dari sahabat Nabi ini terus mengalir tanpa henti. Sifat dermawannya tidak pernah memandang status atau latar belakang.

  1. Dalam Kehidupan sehari-hari Sudah Tercermin Sifat Dermawan

Sikap Abdurrahman bin Auf, sahabat Nabi, juga termanifestasi dalam kontribusinya membantu umat Islam mengatasi tantangan dan kekurangan. Ia secara signifikan memberikan dukungan finansial yang berkesinambungan saat pasukan Muslim membutuhkan dana untuk perang atau pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

  1. Ikut Andil Dalam Membangun Infrastruktur

Penting untuk diketahui bahwa kisah Abdurrahman bin Auf sangat menarik karena sikap dermawannya yang layak dijadikan contoh. Selain menjadi dermawan bagi banyak orang, beliau memiliki ketertarikan yang besar dalam membangun infrastruktur umum seperti masjid dan jembatan. Beliau menyadari betapa pentingnya membangun sarana publik demi kepentingan umat dan memberikan kemudahan kepada mereka yang melintas.

  1. Walaupun Memiliki Kekayaan Melimpah Tapi Tidak Pernah Sombong

Meskipun Abdurrahman bin Auf dianugerahi keberlimpahan dan kekayaan, namun ia tidak pernah bersikap sombong atau meninggikan dirinya. Tetap rendah hati, beliau tidak menyombongkan diri, sehingga sifat ini membuatnya dekat dan mudah diterima oleh orang-orang dari berbagai kalangan.

  1. Bantuan yang Diberikan Tidak Hanya Sebatas Uang Saja

Ia kerap memberikan nasihat dan panduan kepada mereka yang memerlukan. Kemurahan hati dan sifat dermawannya tidak hanya terbatas pada hal materi, melainkan juga mencakup pelajaran dan nasehat berharga. Hal ini akan selalu dikenang dan dijadikan teladan, terutama bagi seluruh masyarakat, khususnya umat Muslim di seluruh dunia.

  1. Sangat Menginspirasi Sifat Kedermawanannya

Abdurrahman bin Auf, seorang sahabat Nabi yang mempunyai kisah yang sangat menginspirasi banyak orang, terutama dalam berperan aktif memberikan bantuan kepada sesama. Beliau merupakan contoh teladan bagi umat Islam dalam mengamalkan ajaran agama dan menyebarkan kebaikan kepada sesama.

  1. Sebagai Individu Contoh Yang Nyata

Dengan cerita Abdurrahman bin Auf sebagai teladan, kita dapat memahami bahwa berkah dari Allah SWT dalam bentuk kekayaan tidak hanya dimanfaatkan untuk kepuasan pribadi, melainkan juga untuk berbagi dan memberikan bantuan kepada sesama. Beliau menyadari bahwa kekayaannya merupakan amanah yang perlu dikelola dengan bijaksana demi kepentingan umat.

  1. Kisah dan Sifat Abdurrahman bin Auf yang patut di teladani

Mencontoh perilaku dermawan Abdurrahman bin Auf menjadi hal yang esensial bagi kita sebagai muslim pada zaman ini. Kita perlu mengambil inspirasi dari kebaikan yang beliau tunjukkan dan berusaha menjadi individu yang bermurah hati sesuai dengan kemampuan kita, baik melalui penggunaan waktu, tenaga, ataupun harta. Dengan cara ini, kita dapat menjadi sarana yang digunakan oleh Allah SWT untuk memberikan pertolongan dan bantuan kepada sesama.

Itulah kisah Abdurrahman bin Auf dan keteladanannya yang dapat Anda pahami dan ambil manfaat serta hikmah yang terkandung di dalamnya. Semoga dari uraian tersebut, kita dapat terinspirasi untuk menjadikan karakter beliau sebagai teladan dan motivasi untuk terus memberikan bantuan serta pertolongan kepada sesama.

Baca juga : Peristiwa Sejarah Fathu Makkah Di Bulan Ramadhan

Kisah Sahabat Rasul Zaid Bin Haritsah

Kisah Sahabat Rasul Zaid Bin HaritsahNabi Muhammad SAW memiliki sejumlah sahabat yang memiliki berbagai macam sifat dan kisah. Dari banyaknya sahabat yang dimilikinya, Zaid bin Haritsah adalah satu-satunya yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Dalam artikel berikut ini akan diulas kisah sahabat Rasul Zaid bin Haritsah selengkapnya.

Zaid bin Haritsah merupakan seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, memainkan peran krusial dalam tahap awal perkembangan Islam. Ia termasuk di antara individu pertama yang memeluk agama Islam, setelah Siti Khadijah, Ali bin Abi Thalib, dan Abu Bakar. Loyalitas tinggi Zaid terhadap Rasulullah membuatnya mendapatkan kasih sayang yang besar dari Nabi.

Sebagai anak angkat dari Rasulullah SAW, Zaid bin Haritsah menjalin ikatan yang istimewa dengan Nabi. Selain itu, dia dikenal sebagai seorang panglima perang yang dipercayai oleh Nabi untuk memimpin pasukan dalam berbagai pertempuran, termasuk Perang Uhud dan Perang Khaibar. Zaid turut serta dalam banyak konflik bersejarah dalam perjalanan Islam.

Zaid bin Haritsah dikenal dengan kepatuhannya terhadap perintah Allah, khususnya ketika Allah menurunkan wahyu yang menegaskan bahwa anak angkat seharusnya dipanggil dengan nama ayah kandung mereka, bukan ayah angkatnya. Dengan rendah hati, Zaid mengubah namanya menjadi Zaid bin Haritsah. Kisah hidupnya memberikan inspirasi tentang kesetiaan, kepatuhan, dan pengabdian dalam menyebarkan ajaran agama Islam.

Baca juga : Peristiwa Sejarah Fathu Makkah Di Bulan Ramadhan

Orang Kedua Masuk Islam

Zaid bin Haritsah memegang peran krusial dalam sejarah awal Islam, menjadi individu kedua yang memeluk agama ini setelah Rasulullah. Dalam misi risalah, Zaid dikenal sebagai sosok yang amat dihargai oleh Nabi Muhammad, karena Rasulullah melihat kesetiaan, keagungan jiwa, dan kemurnian hati, lidah, serta tangan yang dimiliki oleh Zaid.

Bukti kasih sayang Nabi Muhammad SAW terhadap Zaid terungkap dalam narasi yang diceritakan oleh Sayyidah Aisyah. Dikemukakan bahwa Nabi Muhammad selalu menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai komandan pasukan saat mengirimnya ke medan perang. Aisyah juga menyatakan keyakinannya bahwa jika Zaid masih hidup setelah wafatnya Nabi, beliau pasti akan mengangkat Zaid sebagai khalifah.

Awalnya, Zaid bin Haritsah adalah seorang budak, namun kemudian Nabi Muhammad mengadopsinya. Ia tergolong dalam kelompok awal yang memeluk Islam bersama dengan Siti Khadijah, Ali bin Abi Thalib, dan Abu Bakar. Kesungguhan iman Zaid dan respons cepat terhadap panggilan Islam membuatnya menjadi sosok yang luar biasa.

Dilahirkan di Najd, Arab Saudi, sekitar tahun 576, Zaid merupakan anak dari Haritsah dan Su’da binti Tsalabah, yang berasal dari kabilah Kalb di utara Jazirah Arab. Kehadiran Zaid sebagai sahabat Nabi Muhammad tercatat dalam sejarah Islam. Menurut Adz-Dzahabi, dalam Siyar A‘lām al-Nubalā’ (2006), Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz mencatat bahwa Zaid adalah satu-satunya sahabat Nabi yang disebutkan secara eksplisit dalam Alquran, yakni dalam Surah al-Ahzab ayat 37.

Setelah masuk Islam, Zaid tetap setia mendampingi Nabi Muhammad dalam segala pertempuran, bersiap untuk membela agama Islam. Menurut Syamruddin Nasution dalam bukunya, Sejarah Peradaban Islam, Zaid diakui sebagai sahabat dan pelayan yang setia bagi Nabi Muhammad SAW. Ia mempersunting Ummi Ayman dan mempunyai seorang anak yang bernama Usamah bin Zaid bin Haritsah. Zaid turut serta dalam hijrah ke Madinah dan aktif berpartisipasi dalam setiap pertempuran untuk membela Islam.

Meskipun begitu, nasib tragis menimpa Zaid ketika ia terlibat dalam Pertempuran Mu’tah. Dalam pertempuran tersebut, Zaid terpilih sebagai salah satu panglima perang dan akhirnya gugur. Meski begitu, dedikasi dan keberaniannya tetap terpatri dalam sejarah melalui partisipasinya dalam Perang Uhud dan Perang Khaibar, serta kepemimpinannya dalam tujuh ekspedisi militer lainnya.

Zaid bin Haritsah adalah individu yang menunjukkan dedikasi yang sangat tinggi terhadap Islam dan Nabi Muhammad. Ia menjadi contoh dalam hal kesetiaan, keberanian, dan semangat perjuangan untuk membela agama. Meskipun kepergiannya sebagai syahid terjadi dalam pertempuran, warisannya sebagai sahabat dan pahlawan Islam terus bersinar abadi dalam sejarah perjuangan umat Islam.

Dikisahkan Dalam Surat Al Qur’an

Allah SWT mengingatkan Nabi Muhammad tentang nasihat yang diberikannya kepada Zaid bin Haritsah dalam ayat yang membahasnya. Nabi diinstruksikan untuk mempertahankan istrinya, Zainab, dan menunjukkan takwa kepada Allah. Meskipun Nabi menyembunyikan kegelisahan dalam hatinya dan merasa takut kepada manusia, Allah adalah Yang lebih berhak untuk ditakuti.

Saat Zaid menceraikan istrinya, Zainab, Allah menyusun pernikahan antara Nabi Muhammad dan Zainab. Pernikahan ini bertujuan untuk menghilangkan stigma sosial terkait perkawinan anak angkat dan istri-istri mereka pada saat itu. Melalui pernikahan ini, Allah memastikan bahwa keputusan-Nya akan terlaksana dengan pasti.

Ayat yang membicarakan Zaid bin Haritsah menggambarkan partisipasinya dalam peristiwa pernikahan yang memiliki dampak yang penting dalam konteks sosial dan agama pada masa tersebut. Keterlibatan Zaid dalam pernikahan tersebut mencerminkan tingginya kesetiaan dan ketaatan terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya.

Kisah pernikahan antara Zaid bin Haritsah dan Zainab binti Jahsy juga mencerminkan bahwa dalam Islam, ikatan perkawinan tidak hanya dibatasi oleh hubungan darah, melainkan juga dapat terjalin melalui ikatan persahabatan dan ikatan anak angkat. Kisah ini memberikan ilustrasi mengenai pentingnya memberikan penghargaan dan menghormati hubungan keluarga yang beragam di dalam masyarakat Muslim.

Menurut Mahmud Al-Mishri (2015) dalam Ensiklopedi Sahabat: Biografi Profil Teladan 104 Sahabat Nabi Generasi Terbaik Umat Islam Sepanjang Sejarah, pada awal periode Islam, Zaid bin Haritsah diberi nisbah nama kepada Nabi Muhammad. Oleh karena itu, dia mengidentifikasi dirinya sebagai Zaid bin Muhammad.

Namun, selanjutnya Allah menyampaikan wahyu-Nya melalui Surah al-Ahzab ayat 5, yang menegaskan bahwa anak angkat seharusnya tetap dipanggil dengan nama ayah kandung mereka, bukan ayah angkat mereka.

Usai menerima wahyu tersebut, Zaid dengan penuh kerendahan hati menyatakan, “Nama saya adalah Zaid bin Haritsah.” Langkah ini dapat dimaknai sebagai pengorbanannya untuk mentaati petunjuk Allah, meskipun tindakan ini tampaknya mengurangi derajat mulia yang sebelumnya ia miliki sebagai “bin Muhammad.”

Namun, dengan penuh kemurahan hatiNya, Allah memuliakan Zaid melalui penurunan ayat yang secara eksplisit mencantumkan namanya. Kejadian ini mencerminkan kesadaran serta ketaatan Zaid terhadap petunjuk Allah, meskipun harus merelakan status yang sebelumnya dianggap mulia. Tindakan tersebut menggambarkan karakter Zaid yang rendah hati, patuh, dan tunduk kepada kehendak Allah. Dengan penuh kasih dan kebijaksanaan, Allah memberikan penghormatan dan pengakuan yang nyata terhadap Zaid dengan menegaskan namanya dalam Al-Qur’an.

Itulah kisah sahabat Rasul Zaid Bin Haritsah secara singkat, semoga menambah wawasan dan ilmu pengetahuan.

Baca juga : Sejarah Piagam Madinah Dan Isinya

Mengenal 10 Sahabat Nabi Muhammad SAW

Mengenal 10 Sahabat Nabi Muhammad SAWBanyak sahabat Nabi SAW dijamin masuk surga, antara lain Abu Bakar Ash Shiddiq sampai Abu Ubaidillah bin Jarrah. Mari kita mengenal 10 sahabat Nabi Muhammad SAW yang dijamin masuk surga.

Ajaran Islam berkembang pesat berkat upaya gigih Rasulullah SAW dan para sahabat yang berjuang keras dalam dakwah untuk menyebarkan ajaran Islam sesuai dengan perintah Allah SWT. Dalam menjalani misi dakwah, Rasulullah SAW bersama para Sahabatnya menghadapi ujian dan rintangan yang sangat berat. Bahkan, beberapa di antara mereka harus merelakan kehilangan keluarga, harta, dan bahkan gugur syahid demi mempertahankan agama Islam.

Sebagai ganjaran atas dedikasi mereka, para sahabat Rasulullah SAW akan mendapatkan tempat di surga di akhirat. Rasulullah SAW menjamin bahwa mereka akan bersama-sama memasuki surga.

10 Sahabat Nabi Muhammad SAW

  1. Abu Bakar As Shiddiq

Abu Bakar As-Shiddiq adalah sahabat pertama Rasulullah SAW, dan dia termasuk dalam kelompok pertama yang mempercayai Nabi Muhammad dan memeluk agama Islam. Setelah wafatnya Nabi, Abu Bakar juga menjadi orang pertama yang melanjutkan kepemimpinan Rasulullah SAW.

Ketika Nabi menyebarkan agama Islam di tanah Arab, Abu Bakar As-Shiddiq selalu mendampingi dan menjaga Nabi Muhammad SAW. Beliau juga merupakan salah satu sahabat yang menemani Nabi ketika melakukan hijrah dari Mekkah ke Madinah.

Walaupun sering kali dihadapi dengan ancaman pembunuhan, Abu Bakar tetap berani dan terus melanjutkan perjuangannya dalam membela Islam. Sifat-sifat yang dapat menjadi contoh dari pribadinya meliputi kelembutan, kesabaran, dan kejujuran yang selalu ditekankan. Karena sifat-sifat tersebut, gelar “As-Shiddiq” yang berarti “yang selalu berkata benar” sangat pantas disematkan padanya.

Berdasarkan catatan sejarah Islam, Abu Bakar adalah seorang individu yang terkenal sebagai seorang pedagang, hakim yang menduduki posisi penting dalam masanya, seorang cendekiawan, dan memiliki kemampuan untuk menafsirkan mimpi.

Nabi Muhammad sangat percaya kepada Abu Bakar. Pada akhir hayat Nabi, beliau menunjuk Abu Bakar sebagai imam shalat berjamaah, yang juga merupakan pertanda bahwa Abu Bakar akan menjadi khalifah pengganti Nabi bagi umat Muslim.

Baca juga : Kisah Abu Qilabah Sahabat Rasul

  1. Umar Bin Khattab

Salah satu dari 10 sahabat Nabi yang dijamin masuk surga adalah Umar bin Khattab, meskipun pada awal munculnya ajaran agama Islam di Mekkah, Umar pernah memiliki niat untuk membunuh Nabi Muhammad SAW.

Umar mendapat hidayah ketika ia mendengar saudarinya membaca ayat suci Alquran. Tanpa ragu, ia bertaubat dan memeluk agama Islam. Setelah itu, Umar menjadi salah satu khulafaur rasyidin yang paling berpengaruh dalam menyebarkan agama Islam.

Umar bin Khattab adalah sosok yang sangat berani, yang tidak ragu menggunakan pedangnya untuk berjihad demi membela agama Allah. Salah satu sifat terpuji yang bisa dicontoh dari dirinya adalah keberaniannya dalam mengidentifikasi kebenaran dan kesalahan serta bersuara untuk membedakannya.

Sifat tersebut memberikan kepada beliau gelar “Al-Faruq,” yang mengindikasikan perbedaan antara yang benar dan yang salah. Kepemimpinan Umar bin Khattab setelah wafatnya Abu Bakar sangat terkenal dan berperan penting dalam penyebaran Islam hingga mencakup sepertiga dari populasi dunia.

Dia dilahirkan dalam keluarga yang memiliki cukup kekayaan, tidak kaya namun juga tidak miskin. Umar adalah salah satu dari sedikit orang yang mampu membaca dan menulis pada masa itu.

Pada zaman jahiliyah sebelum ia memeluk Islam, Umar adalah sosok yang sangat dihormati. Kekuatannya bahkan memungkinkan dia meraih gelar juara dalam pertandingan gulat di Mekkah. Di masa itu, di Mekkah juga terdapat tradisi yang mewajibkan penguburan anak perempuan yang masih hidup.

Umar adalah salah satu individu yang tidak ragu-ragu untuk mengubur putrinya hidup-hidup, dan sangat menyesal atas tindakannya setelah memeluk agama Islam. Meskipun dulu dikenal sebagai peminum dan pemabuk, sejak berpindah ke agama Islam, dia sama sekali tidak pernah menyentuh alkohol.

  1. Utsman Bin Affan

Mengenal 10 Sahabat Nabi Muhammad SAW-Selain dua sahabat Nabi yakni Abu Bakar dan Umar, Utsman bin Affan juga merupakan bagian dari golongan assabiqunal awwalun, yaitu orang-orang pertama yang memeluk agama Islam. Utsman terkenal sebagai seorang saudagar kaya raya di kota Mekkah.

Walaupun memiliki kekayaan berlimpah, ia menunjukkan sifat-sifat yang patut dijadikan contoh, seperti kedermawanan, sopan santun, serta bicara dengan lemah lembut. Ia juga selalu menggunakan harta berkecukupannya untuk berbagi dengan memberikan sedekah, infaq, dan berzakat.

Utsman bin Affan terkenal sebagai pemimpin yang sangat peduli terhadap kebutuhan sosial. Salah satu contohnya adalah ketika beliau mendonasikan sebuah sumur agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat saat musim kemarau tiba.

Utsman Bin Affan kemudian menggantikan posisi Umar bin Khattab sebagai khalifah. Selama masa pemerintahannya, terjadi kemajuan signifikan dalam bidang infrastruktur dan perkembangan Islam. Salah satu pencapaiannya adalah pembangunan angkatan laut khusus untuk komunitas Islam pertama.

Wafatnya Utsman bin Affan merupakan peristiwa tragis dan mengharukan. Beliau meninggal dunia dalam kondisi dibunuh oleh para pemberontak ketika sedang membaca Alqur’an. Utsman bin Affan juga wafat secara syahid, dan hal ini telah diramalkan oleh Rasulullah jauh sebelum kejadian tersebut terjadi.

  1. Ali Bin Abi Thalib

Sahabat Nabi berikutnya adalah Ali bin Abi Thalib. Setelah istri Rasulullah SAW, Siti Khadijah, Ali bin Abi Thalib adalah orang kedua yang dengan segera mempercayai wahyu Allah SWT yang disampaikan melalui Nabi dan memeluk agama Islam.

Tidak mengherankan, Allah juga memberikan janji surga tanpa hisab kepada Ali bin Abi Thalib. Kesetiaan Ali terhadap agama Islam sudah tertanam sejak masa kecil, karena dia belajar langsung dari Nabi Muhammad SAW tentang agama Islam.

Sebagai seorang muslim yang berjuang di jalan Allah, Ali bin Abi Thalib selalu hadir dalam medan perang untuk mempertahankan keyakinan agamanya, yaitu Islam. Ali bin Abi Thalib bahkan pernah menjadi pengganti Rasulullah ketika kaum Quraisy mencoba menghadangnya.

Tiga hari berikutnya, Ali memutuskan untuk berangkat sendirian menuju Madinah menyusul Nabi yang telah berhijrah terlebih dahulu. Dia melakukan perjalanan pada malam yang gelap dan bersembunyi pada siang hari untuk menghindari serangan dari kaum Quraisy.

Ali bin Abi Thalib menggantikan Utsman bin Affan sebagai khalifah beberapa tahun setelah Utsman wafat. Selama masa kepemimpinannya, Ali menghadapi berbagai tantangan akibat pemberontakan yang merajalela. Ia menjadi khalifah terakhir yang dianggap sebagai salah satu dari Khulafaur Rasyidin.

  1. Thalhah Bin Ubaidillah

Sahabat Nabi dari suku Quraisy ini dianugerahi sejumlah julukan oleh Nabi Muhammad SAW. Salah satunya adalah julukan “Thalhah,” yang menggambarkan sifatnya yang baik hati, pemurah, dan dermawan. Saat terjadi Pertempuran Uhud, Thalhah dengan berani berdiri sebagai perisai untuk melindungi Rasulullah dari serangan kaum Quraisy. Pengorbanannya tersebut mengakibatkan Thalhah kehilangan jari-jarinya.

Thalhah juga wafat dalam keadaan syahid ketika terlibat dalam pertempuran Jamal. Bahkan, Nabi Muhammad SAW pernah menyatakan dalam hadis yang sahih bahwa jika seseorang ingin melihat seorang syahid di dunia ini, maka lihatlah kepada Thalhah Ubaidillah.

  1. Zubair Bin Awwam

Mengenal 10 Sahabat Nabi Muhammad SAW-Zubair bin Awwam memeluk Islam pada usia 15 tahun, saat masih belia. Beliau adalah saudara sepupu Nabi dan termasuk dalam kelompok orang pertama yang mengikuti agama Islam. Sepanjang hidupnya, Zubair tetap setia sebagai pengawal dan penolong Rasulullah.

Pada permulaan ketika dia memilih Islam sebagai agamanya, dia diuji ketika mengalami siksaan dari pamannya sendiri, yaitu Naufal bin Khuwailid. Akan tetapi, berkat keyakinan kuatnya, dia tidak ragu untuk memeluk Islam.

  1. Abdurrahman Bin Auf

Abdurrahman bin Auf, sahabat Nabi yang terkenal dengan sifat dermawannya, merupakan salah satu di antara pionir pertama yang mengikuti tauhid dan memeluk Islam. Ia juga dikenal sebagai seorang pengusaha yang tekun dalam berwakaf. Meskipun begitu, ia tak pernah ragu untuk turut serta dalam medan perang, bahkan dalam pertempuran Uhud, di mana ia mengalami 20 luka tusukan dan kehilangan giginya.

Beliau adalah salah satu dari mereka yang turut hijrah bersama Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah. Dengan keberaniannya, dia membawa segala harta yang dimilikinya. Namun, di tengah perjalanan, penguasa Mekkah, yaitu kaum Quraisy, merampas seluruh kekayaannya.

Abdurrahman bin Auf dan Utsman bin Affan bersaing dalam melakukan amal dan bersedekah. Abdurrahman bin Auf terkenal karena pernah menjual tanahnya seharga 40 ribu dinar dan mengalokasikan semua hasil penjualannya kepada fakir miskin. Bahkan, sebelum meninggal, Abdurrahman bin Auf juga menyumbangkan 400 dinar kepada para pahlawan yang selamat dari Pertempuran Badar.

  1. Sa’ad Bin Abi Waqqash

Sa’ad bin Waqqash, yang juga dikenal sebagai Sa’ad bin Malik Az-Zuhri, adalah paman Nabi Muhammad SAW dari pihak ibu. Sa’ad lahir dalam keluarga yang kaya dan terhormat. Ia memiliki sifat serius dan kecerdasan yang luar biasa.

Abu Bakar, seorang sahabat Nabi, mengajak Sa’ad untuk bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. Setelah mendengar penjelasan Rasulullah SAW tentang Islam, Sa’ad sangat tergerak dan sepakat untuk memeluk agama Allah SWT.

Dalam setiap pertempuran, kehadiran Sa’ad bin Waqqash di tengah-tengah tentara Muslim membawa ketenangan. Keahliannya dalam mengatasi musuh, kesetiaannya kepada Allah SWT, dan perhatiannya menjadikan pasukan Muslim merasa lebih aman.

Sa’ad dikenal karena keberaniannya dalam berperang dan terus diandalkan oleh para khalifah setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Dia tutup usia pada usia 80 tahun dan merupakan salah satu sahabat terakhir yang meninggal.

  1. Sa’id Bin Zaid

Bersama istrinya, Fathimah binti Khatab, yang merupakan adik dari Umar bin Khatab, Sa’id bin Zaid memeluk agama Islam dan tetap setia dalam membela agamanya sepanjang hidupnya. Sa’id selalu mengikuti Rasulullah SAW ke medan perang, kecuali dalam perang Badar.

Pada awal perjalanan keimanan Sa’id kepada Allah SWT, ia mengalami banyak tekanan dan perlakuan kasar dari anggota masyarakatnya, termasuk Umar bin Khatab, yang saat itu belum menganut agama Islam. Umar bahkan pernah melakukan kekerasan fisik terhadap Sa’id bin Zaid, yang menyebabkan darah segar mengalir di wajahnya.

Namun, Sa’id bin Zaid tetap tabah menghadapi ujian tersebut, dan kenyataannya, inilah yang membuat Umar begitu terharu dan akhirnya memutuskan untuk memeluk Islam. Selain ketabahan, Sa’id juga dikenal karena kegigihan dan keberaniannya di medan perang.

Dia bahkan ikut menaklukan wilayah Syam, yang sekarang dikenal sebagai Suriah dan daerah sekitarnya. Wafatnya terjadi setelah para sahabat Nabi yang lainnya telah meninggal terlebih dahulu, dan dia meratapi kepergian mereka yang telah pergi sebelumnya di dunia.

  1. Abu Ubaidah Bin Jarrah

Abu Ubaidah bin Jarrah memeluk Islam melalui perantaraan Abu Bakar As-Shiddiq di awal periode keislaman, sebelum Nabi Muhammad SAW memulai pengajaran di Darul Arqam. Beliau adalah salah satu sahabat yang sangat aktif berpartisipasi dalam medan perang bersama Nabi Muhammad SAW.

Dalam Pertempuran Badar, dicatat bahwa Abu Ubaidah membunuh ayahnya sendiri, yang merupakan seorang kafir yang sangat menentang Islam. Dalam sejarah lain, disebutkan bahwa saat Pertempuran Uhud, Abu Ubaidah melindungi Rasulullah dari serangan musuh, dan ia kehilangan dua giginya dalam peristiwa tersebut.

Walaupun banyak tantangan berat terjadi selama perang, Abu Ubaidah tetap teguh dalam tekadnya untuk terus berjuang di jalan Allah SWT. Bahkan di bawah kepemimpinan Khalifah Abu Bakar, Abu Ubaidah dipilih sebagai panglima perang yang memimpin pasukan melawan Kekaisaran Romawi.

Kini kita telah mengenal 10 sahabat Nabi Muhammad SAW yang dijamin masuk surga, semoga kita dapat memetik pelajaran dari kisah tersebut di atas.

Baca juga : Kisah Abu Lahab Paman Rasulullah SAW

Kisah Ali Bin Abi Thalib Sebagai Khalifah

kisah Ali Bin Abi Thalib sebagai khalifahSalah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yakni Ali bin Abi Thalib menjadi khulafaur rasyidin terakhir atau pemimpin Islam setelah Rasulullah wafat. Ali adalah khalifah yang keempat. Berikut ini kisah Ali Bin Abi Thalib sebagai khalifah yang terakhir.

Ali bin Abi Thalib merupakan sepupu Rasulullah SAW. Ayahnya bernama Abu Thalib, yang tidak lain adalah paman Nabi Muhammad SAW. Ali yang memiliki nama asli Haydar ini dilahirkan di Makkah pada tanggal 13 Rajab, sepuluh tahun sebelum Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rasul.

Sejak Ali dilahirkan, ia dibesarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Ali telah menjadi sumber kebahagiaan bagi Muhammad yang saat itu belum memiliki anak laki-laki. Nama Ali juga diberikan oleh Nabi Muhammad SAW.

Ketika Nabi diangkat menjadi Rasul dan memulai berdakwah, Ali adalah salah satu dari yang pertama yang mempercayainya. Ali termasuk dalam golongan assabiqunal awwalun, yaitu orang-orang yang pertama masuk Islam. Dia memeluk Islam ketika masih remaja.

Ali bin Abi Thalib dikenal sebagai pribadi yang sangat sopan dan cerdas. Rasulullah bahkan memberikan julukan kepadanya sebagai pintu gerbang pengetahuan Islam. Ali kemudian menikahi Fatimah Az-Zahra, putri bungsu Nabi Muhammad SAW, yang berasal dari Khadijah.

Ali terlibat dalam sejumlah peperangan bersama Rasulullah, namun perang Tabuk menjadi pengecualian. Pada peristiwa tersebut, Ali diberikan tugas krusial oleh Rasulullah untuk menjaga kota Madinah. Ali juga mampu membuka Benteng Khaibar saat perang Khaibar, sementara pada saat itu tidak ada satu pun orang yang dapat membukanya.

Baca juga : 12 Keutamaan Sabar Dalam Islam

Setelah wafatnya Rasulullah SAW, Ali bin Abi Thalib menjadi penerus kepemimpinan Islam sebagai khalifah yang keempat dan terakhir dari khulafaur rasyidin. Dia melanjutkan kepemimpinan setelah Abu Bakar ash-Shidiq, Umar bin Khattab, dan Usman bin Affan.

Sebagai salah satu dari khulafaur rasyidin, Ali memiliki kewajiban untuk memimpin Islam. Selama masa pemerintahannya, dia harus melaksanakan tugas memperluas penyebaran agama Islam dan juga berupaya meningkatkan kesejahteraan umatnya.

Pemerintahan Ali dianggap sebagai masa yang paling sulit dalam sejarah Islam karena menyaksikan konflik saudara antara umat Muslim setelah terjadinya tragedi pembunuhan Khalifah ketiga, Utsman bin Affan.

Setelah Sayyidina Utsman bin Affan gugur, kekacauan melanda kota Madinah. Ini disebabkan oleh kekosongan kepemimpinan setelah wafatnya Sayyidina Utsman, yang belum digantikan oleh siapapun. Kekosongan ini semakin memperparah keadaan di Madinah, sedangkan negara dan masyarakat membutuhkan seorang pemimpin yang dapat menghidupkan kembali umat Islam setelah masa kemerosotan dan kekacauan yang telah terjadi.

Masyarakat Madinah memerlukan pemimpin yang tidak hanya memiliki kekuatan, tetapi juga memiliki kemampuan untuk mengayomi mereka, mengatasi krisis, dan memperbaiki kerusakan yang tengah melanda masyarakat saat itu.

Kaum Muslimin memilih untuk mengarahkan harapannya kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib, karena hanya dia yang dianggap mampu menyelamatkan umat Islam. Setelah kekacauan yang terjadi, tak ada satu pun yang berani mencalonkan diri sebagai pengganti Khalifah Utsman bin Affan. Sosok pemimpin yang diidamkan oleh masyarakat pada saat itu adalah sosok seperti Sayyidina Ali bin Abi Thalib.

Ali bin Abi Thalib adalah seorang yang mempunyai banyak kelebihan. Dia mahir dalam seni pedang dan pena, dan memiliki kecerdasan dalam mengatasi berbagai masalah keagamaan. Kata-katanya dihormati oleh para sahabatnya.

Ali bin Abi Thalib juga terkenal sebagai sosok yang sederhana dan rendah hati. Baik sebelum beliau diangkat sebagai khalifah maupun setelahnya, beliau tidak menunjukkan perbedaan dalam gaya hidupnya di dalam keluarganya. Kesederhanaan ini juga diwariskan kepada anak-anaknya.

Sejatinya, Sayyidina Ali bin Abi Thalib tidak memiliki ambisi untuk menjadi khalifah. Malahan, Ali menolak usulan dari sahabat-sahabat yang berkeinginan menjadikannya khalifah. Ali meyakini bahwa posisi khalifah adalah sesuatu yang sangat berarti, yang memerlukan kesepakatan dan dukungan penuh dari para sahabat yang sebelumnya telah berjuang bersama Nabi Muhammad SAW.

Sesudah Ali bin Abi Thalib menjadi pemimpin yang sah, ia harus mengemban tanggung jawab yang semakin berat. Ali harus memimpin dengan baik dan menghadapi berbagai tantangan yang muncul. Seperti yang kita tahu, Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah dalam situasi yang penuh dengan kekacauan dan konflik. Bahkan, putranya pun mengkritiknya karena bersedia menerima jabatan tersebut. Namun, Ali tidak pernah menarik diri atau menyerah begitu saja karena ia merasa memiliki panggilan dalam hatinya untuk terus memperjuangkan Islam.

Sistem kepemimpinan yang diterapkan oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib berbeda dengan pendekatan yang digunakan oleh Khalifah Utsman bin Affan. Khalifah Ali bin Abi Thalib cenderung mengadopsi suatu sistem yang lebih serupa dengan gaya kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, yang ditandai oleh ketegasan, disiplin, dan keberanian dalam menjalankan kebijakan ekonomi seperti pengumpulan zakat dan berbagai jenis pajak.

Di sisi lain, Khalifah Utsman bin Affan menerapkan pendekatan yang lebih lunak dalam mengelola kebijakan ekonomi, sehingga menyebabkan banyak kelompok yang merasa kurang puas dengan pemerintahan Ali bin Abi Thalib karena dianggap mengancam kesejahteraan dan kepuasan hidup mereka.

Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, seringkali terjadi pemberontakan dan stabilitas sangat kurang. Ali mengambil tindakan untuk mengganti gubernur-gubernur yang telah ditunjuk pada masa kepemimpinan Utsman bin Affan, menganggap bahwa pemberontakan disebabkan oleh kecerobohan mereka. Selanjutnya, Ali mengambil langkah untuk mengambil kembali tanah yang sebelumnya telah diberikan oleh Utsman kepada masyarakat, mengarahkan pendapatan dari tanah tersebut ke kas negara, dan kembali menerapkan sistem distribusi pajak tahunan, mirip dengan kebijakan yang diterapkan pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Khattab.

Dampak dari kebijakan-kebijakan tersebut menyebabkan pemerintahan mengalami gejolak dalam bentuk pemberontakan-pemberontakan. Salah satu insiden pemberontakan yang tercatat pada masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib adalah Perang Jamal. Pemberontakan ini muncul akibat ketidakpuasan beberapa sahabat terhadap Ali, yang menghambat penyelidikan atas pembunuhan Utsman bin Affan.

Selain itu, Perang Siffin juga meletus pada tahun 37 H (656 M), melibatkan Ali bin Abi Thalib dan gubernur Syiria, Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Konflik ini bermula dari dorongan Mu’awiyah untuk membalas kematian Khalifah Utsman bin Affan.

Walaupun terdapat banyak pemberontakan selama pemerintahan Ali bin Abi Thalib, namun dia juga berhasil mencapai beberapa prestasi dalam upayanya untuk memajukan perkembangan Islam. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:

  • Perkembangan dalam bidang pemerintahan melibatkan tindakan Ali bin Abi Thalib yang menggantikan gubernur yang telah ditunjuk selama masa kepemimpinan Utsman bin Affan, serta mengambil kembali tanah milik negara yang sebelumnya telah diberikan kepada masyarakat.
  • Dalam ranah politik dan militer, Ali bin Abi Thalib berhasil merancang struktur polisi dan menetapkan peran-peran mereka, yang menghasilkan perluasan wilayah kekuasaan Islam oleh umat Islam.
  • Pada masa pemerintahan Khalifah Ali, terjadi kemajuan dalam bidang ilmu bahasa, termasuk pengembangan seni kaligrafi serta kelanjutan teknik penulisan al-Qur’an yang telah dimulai pada masa kepemimpinan Utsman bin Affan.
  • Kemajuan dalam sektor pembangunan, menjadi salah satu prestasi Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam konteks pengaturan perkotaan. Kota Kufah di Irak menjadi bukti nyata keberhasilan Ali dalam memperbaiki tatanan perkotaan.
  • Dalam ranah ekonomi, Ali hanya meneruskan beberapa kebijakan yang sebelumnya diterapkan oleh Umar, termasuk pengelolaan tanah yang diambil dari Bani Umayyah dan warga lainnya untuk meningkatkan penerimaan negara, sambil merawat dan mempertahankan Baitul Mal.
  • Dalam perkembangan pendidikan, Ali mendirikan beberapa madrasah untuk menyediakan pembelajaran dan mempromosikan hukum Islam.

Masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib berakhir ketika beliau meninggal pada tanggal 20 Ramadhan tahun 40 H atau tanggal 24 Januari 661 Masehi. Pada saat itu, usianya adalah 63 tahun, dan beliau gugur sebagai syahid setelah memimpin selama hampir 6 tahun. Demikian kisah Ali Bin Abi Thalib sebagai khalifah yang terakhir dalam meneruskan dakwah Nabi Muhammad SAW.

Baca juga : Kisah Nabi Dzulkifli AS Singkat

Kisah Utsman Bin Affan Singkat

Kisah Utsman Bin Affan SingkatSalah satu dari beberapa sahabat Nabi yang kita kenal, yang pernah menggantikan kepemimpinan setelah wafatnya Nabi, adalah Utsman Bin Affan. Ia menjadi khalifah ketiga setelah Abu Bakar dan Umar Bin Khattab, dan melanjutkan tradisi kepemimpinan yang adil dan sejahtera. Berikut ini kisah Utsman Bin Affan singkat.

Utsman bin Affan merupakan Khalifah yang ke-3, yang memerintah dari tahun 644 Masehi hingga 656 Masehi. Ia juga merupakan salah satu dari Khulafaur Rasyidin yang paling lama berkuasa dan juga sebagai sahabat dari Rasulullah SAW. Pernikahannya yang berturut-turut dengan kedua putri Nabi Muhammad, Khadijah, memberinya julukan Dzun Nurain, yang berarti “pemegang dua pelita.”

Pada era pemerintahannya, pemerintah Muslim mengembangkan wilayahnya dengan menaklukkan Fars (saat ini Iran) pada tahun 650 dan sebagian wilayah Khorāsān (saat ini Afghanistan) pada tahun 651. Penaklukan Armenia juga dimulai pada dekade 640-an. Utsman bin Affan adalah keturunan dari Abi Al-Ash bin Umayyah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab.

Utsman dilahirkan dari ayah yang bernama Affan bin Abi al-‘As, berasal dari suku Umayyah, dan ibu yang bernama Arwa bint Kurayz, dari keturunan Abd Shams, suku Quraisy yang terhormat dan berpengaruh di Makkah. Utsman memiliki seorang adik perempuan bernama Aminah. Kelahirannya terjadi di kota Ta’if.

Ia tercatat sebagai salah satu dari 22 individu di Mekkah yang memiliki kemampuan menulis. Sang ayah, Affan, meninggalkan warisan berharga ketika ia meninggal dunia pada usia muda saat bepergian ke luar negeri. Warisan ini menjadi modal penting dalam kehidupan Utsman. Utsman mengikuti jejak ayahnya menjadi seorang pedagang, dan usahanya berkembang dengan cepat, menjadikannya salah satu dari orang-orang terkaya di kalangan suku Quraisy.

Ia terkenal sebagai seorang pengusaha yang sukses dalam bidang ekonomi, tetapi juga sangat dermawan. Utsman sangat berperan dalam membantu perekonomian umat Islam pada awal perkembangan dakwah Islam. Dia dijuluki Dzun Nurain, yang artinya pemilik dua cahaya, karena Utsman menikahi dua putri Rasulullah SAW, yaitu Ruqayyah dan Ummu Kulthum.

Utsman bin Affan dilahirkan pada tahun 574 M dari suku Bani Umayyah. Ibunya bernama Arwa binti Kuriz bin Rabiah. Ia memeluk Islam setelah diundang oleh Abu Bakar dan termasuk dalam golongan As-Sabiqun al-Awwalun, yaitu golongan pertama yang memeluk Islam. Rasulullah SAW sendiri menggambarkan Utsman bin Affan sebagai seorang muslim yang sangat jujur dan rendah hati.

Pada masa Perang Dzaturriqa dan Perang Ghatfahan, ketika Rasulullah SAW memimpin pasukan dalam pertempuran, Utsman diangkat sebagai wali kota Madinah. Selama Perang Tabuk, Utsman memberikan sumbangan besar berupa 950 unta, 70 kuda, dan sumbangan pribadi sebesar 1.000 dirham untuk mendukung biaya perang, yang merupakan sepertiga dari total biaya perang. Selain itu, Utsman bin Affan juga menunjukkan kedermawanannya dengan membeli mata air bernama Rumah dari seorang anggota suku Ghifar dengan harga 35.000 dirham.

Beliau mengalokasikan sumber daya air untuk kepentingan masyarakat. Selama pemerintahan Abu Bakar, Utsman juga menyumbangkan 1000 ekor unta yang diangkut gandum untuk membantu orang-orang yang membutuhkan selama musim kemarau.

Beliau juga pelopor yang memperluas Masjid al-Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah karena meningkatnya jumlah umat Islam yang menjalankan rukun Islam kelima, yaitu haji. Selain itu, dia juga merumuskan kebijakan keamanan yang inovatif bagi rakyatnya, membangun bangunan khusus untuk pengadilan dan penyelesaian perkara yang sebelumnya dilakukan di dalam masjid. Selain itu, dia juga mengembangkan sektor pertanian, berhasil menaklukkan beberapa wilayah kecil di sekitar perbatasan seperti Suriah, Afrika Utara, Persia, Khurasan, Palestina, Siprus, dan Rhodes, serta membentuk angkatan laut yang kuat.

Karya utamanya adalah ketika ia menerapkan kebijakan pengumpulan Alquran dalam mushaf tunggal. Selama masa kepemimpinannya, Utsman seringkali mengganti gubernur di daerah-daerah yang kurang layak atau tidak kompeten, menggantikannya dengan individu yang lebih dapat dipercayai.

Baca juga : Fenomena Jabal Magnet Di Arab Saudi

Awal Mula Memeluk Islam

Kisah Utsman Bin Affan Singkat-Saat Rasulullah SAW menerima wahyu dan memperkenalkan Islam, Abu Bakar adalah yang pertama yang memeluk agama ini. Pada tahun 611 M, setelah melakukan perjalanan bisnis ke Syiria, Abu Bakar mendatangi Utsman bin Affan dan mengajaknya untuk memeluk Islam. Utsman kemudian menerima ajakan ini dan bersama-sama dengan Abu Bakar, mereka mendatangi Nabi Muhammad untuk menyatakan keislamannya.

Dengan metode ini, Utsman menjadi salah satu dari awalnya yang memeluk Islam, setelah Ali, Umar, Abu Bakar, dan beberapa lainnya. Sejak saat itu, dia tetap setia kepada Nabi Muhammad SAW dan menjadi salah satu sahabat utama Nabi. Setelah menerima undangan untuk hijrah ke Madinah, Utsman menjadi salah satu dari mereka yang pergi dan mendampingi Nabi Muhammad SAW dalam penyebaran agama Islam hingga akhir hayat Nabi.

Utsman mendengarkan kisah pengalaman Nabi Muhammad SAW dan situasi di mana kenabiannya diwahyukan. Ia segera menerima Islam dan dengan lancar bergabung dalam lingkaran sahabat Nabi Muhammad SAW.

Saat pesan Nabi Muhammad SAW disampaikan kepada masyarakat, Makkah menjadi riuh rendah. Banyak pemimpin merasa khawatir akan kehilangan pendapatan mereka. Pesan yang mengikuti hanya kepada Allah berarti bahwa aliran peziarah yang datang untuk menyembah berhala di Ka’bah sekarang akan mereda atau bahkan berhenti sama sekali.

Tantangan Setelah Memeluk Islam

Saat barisan pengikut Nabi Muhammad mulai berkembang, kaum Quraisy memulai kampanye penganiayaan dan pelecehan terhadap para Muslim baru. Mereka bersedia bertarung demi melindungi berhala mereka serta menjaga cara hidup ekonomi dan sosial mereka. Kampanye ini segera bermetamorfosis menjadi tindakan kekerasan dan pelecehan, bahkan anggota keluarga mereka tidak terhindar dari ancaman.

Penerimaan Utsman terhadap Islam memicu reaksi negatif dari anggota keluarganya sendiri. Meskipun ayah Utsman telah meninggal, pamannya berusaha untuk menghentikannya. Ia membatasi gerak Utsman dengan mengikat tangan dan kakinya, lalu mengunci Utsman di dalam lemari.

Ibu dan pamannya berharap agar dia menghentikan peluk Islam, tetapi dia menolak. Utsman juga menghadapi dilema dalam pernikahannya. Para istri tidak mau menerima Islam meskipun dia berusaha meyakinkan mereka tentang keindahannya, akhirnya dia harus bercerai.

Menjadi Khalifah

Kisah Utsman Bin Affan Singkat-Pada tahun 632, setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar menjadi khalifah yang berkuasa dalam umat Islam. Selama masa pemerintahannya, Utsman bin Affan dan rekan-rekannya memainkan peran penting sebagai penasehat utama. Kemudian, setelah Abu Bakar meninggal pada tahun 634, Umar bin Khattab menggantikannya sebagai khalifah dan memimpin hingga wafatnya pada tahun 644.

Sesudah Umar memegang sebagai Khulafaur Rasyidin ke-2, Utsman tetap tinggal di Madinah untuk mengelola bisnisnya dan berpartisipasi dalam urusan pemerintahan. Selama masa itu, dia mengalami berbagai peristiwa, termasuk kematian Umar bin Khattab akibat pembunuhan oleh Abu Lu’luah.

Kemudian, ada diskusi untuk memilih khalifah berikutnya. Enam calon diajukan, yaitu Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqas, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah. Tetapi, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqas, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah kemudian mengundurkan diri, meninggalkan Utsman dan Ali sendirian.

Setelah melakukan pemungutan suara, sebagian besar orang menginginkan agar Usman mengambil alih posisi Umar sebagai raja ketiga. Maka, pada bulan Muharram 23 H atau 644 Masehi, Utsman bin Affan resmi menjadi khalifah pada usia 70 tahun.

Masa Pemerintahan Utsman bin Affan

Selama masa pemerintahannya sebagai khalifah, Utsman bin Affan aktif dalam perluasan wilayah dan pendirian armada angkatan laut. Di bawah kepemimpinannya, wilayah kekuasaan yang diperluas mencakup Barqah, Tripoli Barat, bagian selatan negeri Nubah di Afrika, Armenia, Tabaristan, Amu Darya, Balkha, Harah, Kabul, Haznah di Turkistan di Asia, dan Siprus di Eropa. Utsman juga mengorganisir kerajaan Muslim menjadi sepuluh provinsi dengan masing-masing dipimpin oleh seorang emir atau gubernur.

Di bawah kepemimpinan Utsman, umat Islam menikmati era kejayaan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kabarnya, seseorang dapat melaksanakan haji lebih dari sekali. Utsman juga mendirikan sistem kepolisian dan pengadilan yang selalu beroperasi di dekat bekas masjid. Salah satu prestasi paling mengesankan dari Utsman adalah pengkompilasian Alquran, yang kemudian disebarkan ke Mekkah, Suriah, Basrah, Kufah, dan Madinah.

Akhir Masa Pemerintahan

Utsman bin Affan memimpin selama dua periode, dengan masing-masing berlangsung selama enam tahun. Akan tetapi, selama pemerintahannya yang kedua, konflik dan pemberontakan meletus karena ia memberikan posisi strategis dalam pemerintahan kepada anggota keluarganya dari Bani Umayyah. Pada tahun 35 H atau 655 M, sekitar 1.500 orang berkumpul di Madinah untuk mengecam kebijakan Utsman.

Namun, karena tidak ada respons yang diterima, protes tersebut bermetamorfosis menjadi sebuah pemberontakan yang menggulingkan pemerintahannya. Utsman dikepung oleh pasukan tersebut, namun ia menolak untuk terlibat dalam pertempuran karena ia tidak ingin melihat darah saudara-saudara Muslimnya tumpah. Khalifah Utsman bin Affan meninggal pada tahun 656 setelah seorang pemberontak bernama Al-Gafiqi berhasil menyusup melalui atap dan menemukan kamarnya. Penyebab kematian Utsman bin Affan adalah pukulan pada kepalanya.

Keteladanan Utsman Bin Affan

  1. Peduli Kepada Umat dan Agama

Utsman bin Affan dianggap sebagai khalifah ketiga setelah kematian ‘Umar bin Khattab. Utsman bin Affan terpilih karena sikap dan perilaku yang luhur serta ketulusannya dalam upayanya untuk memajukan Islam.

Setelah menjadi Khalifah, banyak tindakan dilakukan untuk mengembangkan Islam. Salah satu sumbangannya adalah pembentukan kelompok penerbit Al-Quran yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit. Ini disebabkan oleh minatnya terhadap bagaimana umat Islam harus membaca Al-Quran karena ketidakberaturan teks-teks yang ada dan perbedaan pendapat mengenai cara membacanya.

Langkah awal melibatkan pengumpulan mushaf Al-Quran yang ditemukan dalam masyarakat. Hal ini dilakukan karena ada kemungkinan bahwa mushaf Al-Quran yang beredar di kalangan masyarakat tidak sesuai dengan versi yang benar. Tindakan selanjutnya adalah menyalin dan menyusun ulang mushaf Al-Qur’an dengan merujuk pada mushaf-mushaf yang disimpan oleh Hafsah binti Umar yang masih terjaga dengan baik dan akurat. Mushaf Al-Qur’an yang telah direkam atau diterbitkan ini kemudian dikenal sebagai “Mushaf Al-Imam” atau Mushaf Utsmaniyah, yang akan digunakan sebagai pedoman untuk membaca Al-Qur’an dengan benar.

  1. Memiliki Sifat Dermawan

Utsman bin Affan terkenal sebagai seorang yang sangat dermawan. Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar, kota Makkah mengalami kelaparan yang parah akibat musim kemarau yang berkepanjangan. Ketika Utsman datang dari Syam, ia membawa kafilah dagang yang terdiri dari 1000 unta yang penuh dengan makanan. Saat akan memasuki kota, rombongan Utsman dihentikan oleh para pedagang Mekkah yang ingin membeli semua barang bawaannya dengan tawaran keuntungan yang besar. Namun, Utsman tidak tergoda sedikit pun, karena niatnya adalah memberikan semua barang yang dibawanya kepada fakir miskin.

  1. Gagah Berani

Khalifah Utsman bin Affan tidak pernah merasa takut, bahkan dihadapan 120.000 tentara Romawi yang siap berperang di Afrika Utara. Saat wilayah Islam terus berkembang dan banyak daerah dikelilingi oleh lautan, Khalifah Utsman mengambil langkah berani dengan mendirikan armada dan pasukan angkatan laut untuk melindungi wilayah Muslim dari serangan musuh. Hasilnya, Islam selalu meraih kemenangan dalam pertempuran laut.

  1. Rendah Hati dan Sederhana

Utsman bin Affan memiliki kekayaan, tetapi ia tidak hidup mewah. Dia menjalani hidup dengan sederhana dalam segala hal, termasuk dalam berpakaian, makanan, dan gaya hidupnya.

Syurahbil bin Muslimin melaporkan bahwa meskipun Utsman sering menikmati hidangan istimewa yang disajikan oleh para penguasa, di rumahnya ia hanya biasa makan roti dengan cuka atau minyak.

  1. Teguh Dalam Iman

Setelah mengetahui bahwa Utsman bin Affan telah memeluk Islam, pamannya Al Hakam bin Abil Ash menjadi sangat marah. Utsman kemudian diikat dan disiksa berulang kali agar mau kembali kepada agama nenek moyangnya. Namun, Utsman tetap teguh pada keyakinannya dan tidak akan meninggalkan agama yang diajarkan oleh Nabi, tidak peduli apa pun yang terjadi.

Saat pamannya menyadari bahwa keyakinan Utsman yang teguh dan tidak tergoyahkan, tidak mungkin dipengaruhi untuk kembali kepada keyakinan nenek moyangnya, Al Hakam akhirnya memutuskan untuk melepaskan Utsman bin Affan.

Itulah kisah Utsman Bin Affan singkat, semoga bisa memetik keteladanan beliau sebagai Khulafaur Rasyidin.

Baca juga : Kisah Nabi Harun AS Dan Mukjizatnya

Butuh Bantuan ?