Arab Saudi Melarang Haji Dan Umrah Backpacker

Arab Saudi Melarang Haji Dan Umrah BackpackerPemerintah Arab Saudi bersama dengan Kementerian Agama RI telah memutuskan untuk melarang pelaksanaan ibadah Haji dan umrah dengan visa turis atau yang sering disebut sebagai backpacker. Bagaimana sebenarnya aturan visa resmi Arab Saudi untuk menjalankan ibadah Haji? Hal mengenai Arab Saudi melarang haji dan umrah backpacker akan kita bahas dalam artikel berikut ini.

Pemerintah Kerajaan Arab Saudi menyatakan melalui situs resminya bahwa warga negara asing (WNA) harus memiliki visa haji untuk melakukan perjalanan ke negara tersebut selama musim haji. Pengecualian dari kebijakan tersebut berlaku bagi WNA yang berasal dari negara-negara anggota Dewan Kerjasama Teluk (GCC), yaitu Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, Oman, Qatar, dan Kuwait.

eskipun demikian, pemerintah Arab Saudi menekankan bahwa warga negara asing dari negara-negara GCC masih harus meminta izin haji selama musim ibadah Haji.

Baca juga : Asal Usul Kota Madinah

“Menurut saudivisa.com, WNA tidak diperbolehkan untuk melakukan perjalanan haji dengan visa turis. Semua WNA harus memperoleh visa khusus haji Saudi sebelum berangkat ke Arab Saudi selama musim haji.”

Pemerintah Arab Saudi menegaskan bahwa visa haji Saudi hanya diperuntukkan bagi pelaksanaan ibadah haji dan berlaku hanya selama periode haji. “Setelah menyelesaikan haji, semua jamaah diwajibkan meninggalkan Arab Saudi dan tidak boleh tinggal lebih dari 10 hari setelah tanggal 10 Muharram.”

Pengajuan Visa Haji

Maka, Pemerintah Arab Saudi menyatakan bahwa WNA yang berencana melakukan perjalanan ke negara tersebut untuk menjalani ibadah haji wajib mengajukan permohonan visa haji. Otoritas Arab Saudi juga mengingatkan beberapa hal terkait proses pengajuan visa haji. Pertama, visa haji tidak bisa diproses di kedutaan atau misi Arab Saudi di luar negeri, melainkan harus diajukan melalui agen perjalanan yang telah disahkan oleh Kementerian Haji & Umrah Arab Saudi.

Pemerintah Arab Saudi menegaskan bahwa semua warga negara asing harus mengajukan visa haji Arab Saudi melalui agen perjalanan yang disahkan oleh Kementerian Haji & Umrah Arab Saudi.

Kelayakan

Untuk mengajukan visa haji dan umrah, calon harus berusia minimal 18 tahun, beragama Islam, dan memenuhi sejumlah persyaratan visa haji. Wanita yang berusia di atas 45 tahun diizinkan menunaikan ibadah haji tanpa wali laki-laki atau Mahram, asalkan mereka menjadi bagian dari rombongan dan mendapat izin dari suami atau ayahnya.

Selagi demikian, anak-anak yang berusia di bawah 18 tahun diwajibkan mengajukan permohonan visa haji bersama orang tua atau wali yang sah.

Keabsahan

Visa haji hanya diberikan untuk keperluan ibadah haji dan berlaku hanya saat periode haji. Semua jamaah haji harus meninggalkan Arab Saudi setelah menunaikan haji, dan tidak boleh tinggal lebih dari 10 hari setelah tanggal 10 Muharram.

Demikian penjelasan mengenai aturan Arab Saudi melarang haji dan umrah backpacker, semoga artikel ini bermanfaat.

Baca juga : 5 STrategi Dakwah Rasulullah SAW Di Madinah

Kemenag Meminta Masyarakat Tidak Umrah Backpacker

Kemenag Meminta Masyarakat Tidak Umrah BackpackerKementerian Agama (Kemenag) menghimbau agar masyarakat tidak melakukan umrah backpacker atau secara mandiri, karena aktivitas tersebut berpotensi berisiko dan tidak diawasi oleh pemerintah. Untuk itulah Kemenag meminta masyarakat tidak umrah backpacker, sebaiknya melalui Travel yang terpercaya yang memiliki izin.

Karena umrah backpacker adalah kegiatan nonprosedural yang diselenggarakan oleh pihak yang diduga tidak memiliki tanggung jawab, maka penyelenggara umrah backpacker ini tidak memiliki izin dari Kemenag sehingga tingkat keamanannya minim.

Menurut Nur Arifin, yang menjabat sebagai Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus Kemenag, himbauan tersebut merupakan wujud tanggung jawab pemerintah terhadap warganya. Hal ini dikarenakan perjalanan umrah bukanlah perjalanan yang sederhana, melainkan suatu perjalanan ke negara dengan bahasa dan budaya yang berbeda.

Untuk itu masyarakat diminta untuk tunduk dan patuh terhadap perundang-undangan yang ada, ketika peraturan itu sudah dibuat. Misalnya ada kasus masalah hukum, keamanan dan kesehatan, nanti siapakah yang bertanggungjawab ?

DPR bersama pemerintah telah menyusun peraturan perundang-undangan. Dalam peraturan tersebut, seseorang yang melakukan perjalanan ke luar negeri diwajibkan memiliki jaminan, termasuk jaminan layanan ibadah, jaminan layanan transportasi, jaminan layanan keamanan, hukum, dan lain sebagainya, yang akhirnya diatur melalui PPIU.

Jika melalui travel PPIU, pemerintah memiliki sarana yang memungkinkan mereka untuk menuntut secara lebih mudah apabila terdapat masalah dalam masyarakat. Di sini, tersedia asuransi kesehatan, asuransi jiwa, dan sebagainya yang memberikan jaminan yang jelas. Namun, ketika melakukan umrah secara mandiri atau sebagai backpacker, tidak ada jaminan yang tersedia. Pertanyaannya adalah, jika terjadi masalah, siapa yang akan bertanggung jawab? Negara memiliki kewajiban untuk melindungi masyarakatnya, termasuk seluruh warganya yang berpergian ke luar negeri.

Kementerian Agama (Kemenag), sebagai bagian dari instansi pemerintah, memiliki tanggung jawab dan peran dalam menjalankan dan mengawasi implementasi peraturan hukum yang terkait dengan pelaksanaan ibadah umrah. Penugasan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah.

Kemenag Meminta Masyarakat Tidak Umrah Backpacker-Dinyatakan bahwa seseorang atau kelompok orang yang menyelenggarakan umrah tanpa izin dari PPIU dapat dikenakan denda sebesar Rp 6 miliar atau hukuman penjara selama 6 tahun, antara lain diatur dalam pasal 122.

Baca juga : Kisah Nabi Yahya AS Dan Mukjizatnya

Ditegaskan bahwa umrah harus diatur melalui PPIU (Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah) di sini. Oleh karena itu, Kemenag memberikan pengetahuan kepada masyarakat untuk mematuhi aturan hukum yang berlaku.

Perlu ditekankan bahwa pelaksanaan ibadah umrah harus diselenggarakan melalui PPIU (Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah) di sini. Karena itulah, Kemenag memberikan edukasi kepada masyarakat untuk patuh terhadap peraturan hukum yang berlaku.

Jika ada agen Travel umrah yang tidak memiliki izin, maka Kemenag akan melimpahkan kepada pihak Kepolisian untuk melakukan langkah tegas.

Risiko Umrah Backpacker

  1. Tidak mendapatkan Visa

Apabila seseorang memilih untuk berangkat umroh secara individu, maka ia tidak akan dapat mengurus visa umroh sendiri. Hal ini disebabkan hanya PPIU yang memiliki wewenang dalam mengurus proses visa umroh. Calon jamaah perlu mengajukan permohonan bantuan pemrosesan visa kepada PPIU, yang mungkin memerlukan lebih banyak waktu dan biaya yang lebih tinggi.

  1. Risiko Barang Hilang atau Tertukar

Jika seseorang yang ingin melakukan umroh secara independen tanpa pemahaman tentang prosedur imigrasi, mereka akan berisiko tinggi mengalami kebingungan atau kehilangan barang saat berada di bandara. Mereka harus mengurus segala hal tersebut sendirian. Namun, jika seseorang memilih untuk melakukan umroh bersama sebuah agen perjalanan, semua aspek tersebut akan menjadi tanggung jawab penuh dari agen perjalanan tersebut.

  1. Sulit Akomodasi

Seandainya calon jamaah memilih untuk pergi umroh dengan travel, mereka tidak perlu khawatir tentang segala urusan akomodasi, termasuk penerbangan, penginapan di hotel, transportasi di Mekah dan Madinah, makanan, dan izin masuk yang diperlukan, seperti tasrih (izin masuk Raudhah). Semua hal tersebut telah diatur dengan baik oleh travel. Namun, jika calon jamaah memutuskan untuk pergi umroh sendiri, mereka akan menghadapi kesulitan dalam mengurus segala urusan akomodasi, terutama jika mereka belum memahami aturan-aturan di Arab Saudi.

  1. Kendala Bahasa dan Budaya

Satu hal risiko yang dapat timbul dalam pengalaman umroh backpacker adalah kesulitan komunikasi yang mungkin dialami oleh calon jamaah. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan bahasa dan budaya, terutama jika calon jamaah tersebut tidak memiliki kemampuan berbahasa Arab dan melakukan perjalanan ke Arab Saudi untuk pertama kalinya. Sebaliknya, jika calon jamaah memilih untuk pergi umroh bersama sebuah travel, mereka akan mendapatkan pendampingan dari sejumlah pihak yang berpengalaman. Termasuk di antaranya adalah Tour Leader yang telah melaksanakan umroh puluhan kali, muthawif atau pembimbing umroh yang tinggal di Arab Saudi dan memiliki pemahaman yang mendalam terkait budaya setempat, serta seorang tour guide yang akan memandu calon jamaah selama perjalanan tur atau ziarah.

  1. Jadwal City Tour Tidak Tentu

Jika calon jamaah memilih untuk pergi umroh sendirian, penting untuk merencanakan itinerary atau daftar tempat wisata yang akan dikunjungi. Selain itu, Sahabat juga perlu memiliki pemahaman yang baik tentang rute-rute di Mekah dan Madinah untuk mencapai lokasi-lokasi tersebut. Perlu diingat bahwa meskipun Sahabat mungkin mengandalkan GPS, ada kemungkinan bahwa GPS tersebut tidak selalu akurat, yang akhirnya dapat menyulitkan perjalanan Sahabat karena bisa tersesat.

  1. Terancam Delay

Jika memutuskan untuk melakukan umrah dengan gaya backpacker, calon jamaah akan harus secara mandiri mengurus serta membeli tiket pesawat. Biasanya, pilihan jatuh pada tiket pesawat dengan harga paling terjangkau. Namun, tiket pesawat yang ekonomis ini seringkali melibatkan beberapa kali transit sebelum mencapai Jeddah. Akibatnya, perjalanan akan memerlukan lebih banyak waktu, dengan waktu transit yang biasanya berkisar antara 1 hingga 3 jam. Belum lagi, risiko keterlambatan pesawat dapat menjadi masalah tambahan. Selama proses ini, energi dan waktu akan terkuras habis, dan sahabat akan merasa lebih lelah, terutama karena berbagai kendala yang mungkin muncul, walaupun ini baru sebatas perihal keberangkatan.

  1. Risiko Sakit atau Meninggal

Perbedaan antara umroh backpacker dan umroh dengan travel terletak pada pengurusan kesehatan dan asuransi selama berada di Arab Saudi. Jika seseorang memutuskan untuk melakukan umroh secara mandiri, maka pertanyaan muncul mengenai siapa yang akan menanggung biaya pengobatan jika terjadi kelelahan atau penyakit yang memerlukan perawatan medis. Terlebih lagi, dalam kehidupan, kematian adalah suatu hal yang tak terduga, bahkan saat sedang menjalankan ibadah umroh. Dalam konteks umroh backpacker, pertanyaan yang timbul adalah siapa yang akan mengurus proses pemakaman dan asuransi jiwa jika hal tersebut terjadi. Di sisi lain, jika seseorang memilih untuk melakukan umroh dengan travel, maka travel tersebut akan bertanggung jawab untuk mengurus jaminan kesehatan dan biaya rumah sakit jika calon jamaah sakit atau bahkan jika terjadi kematian di Arab Saudi.

  1. Risiko Dokumen Hilang

Visa dan Paspor adalah seperti nyawa bagi setiap calon jemaah umroh, karena mereka mengandung informasi identitas utama, terutama asal negara jemaah. Ketika dokumen tersebut hilang atau ada masalah hukum, tugas mengurusnya menjadi sangat sulit bagi calon jemaah yang memilih gaya umroh backpacker.

  1. Tidak ada Pembimbing

Umroh backpacker adalah metode umroh yang melibatkan perjalanan mandiri tanpa pendamping seperti Tour Leader, muthawif, atau tour guide. Bahkan, calon jamaah tidak menerima panduan atau pelatihan umroh sebelum keberangkatan. Semua aspek ibadah umroh dan praktiknya harus dipelajari sendiri. Hal ini bisa menjadi tantangan, terutama jika calon jamaah tidak memiliki pemahaman yang mendalam tentang umroh dan belum memiliki pengalaman umroh sebelumnya.

  1. Biaya yang dikeluarkan bisa lebih mahal

Menyelenggarakan semua urusan sendiri, seperti mengurus visa umroh, memesan tiket pesawat dan hotel dengan harga terbaik, serta menggunakan transportasi umum saat berada di Mekah dan Madinah, bukan hanya dapat menyusahkan diri sendiri, tetapi juga berisiko mengurangi pengeluaran yang lebih besar. Awalnya, memilih umroh dengan gaya “backpacker” karena ingin berhemat, tetapi malah menjadi masalah. Bahkan, hal ini dapat mengganggu kenyamanan dan kedamaian Sahabat saat beribadah.

Demikian pembahasan tentang Kemenag meminta masyarakat tidak umrah backpacker, semoga bermanfaat.

Baca juga : Aturan Baru Pakaian Wanita Saat Umroh

Butuh Bantuan ?